Strategi Korporasi

Pendahuluan | Visi dan Misi Korporasi | Penetapan Unit-unit Bisnis Strategis |Alokasi Sumber Daya pada Unit-unit Bisnis Strategis | Mengidentifikasi Kesempatan-kesempatan Bertumbuh

Pendahuluan

Coba perhatikan skema korporasi PT. Anggada Putra Rekso Mulia (APRM) ini, yang membawahi dua divisi, PT. Sinar Sosro (SS) dan PT. Gunung Slamet (GS).  Awalnya, SS dan GS berdiri sendiri-sendiri, lalu muncullah APRM sebagai induk keduanya (bahasa umumnya: holding company).  Nah, holding company ini dalam bahasa manajemen disebut korporasi.  Pertanyaannya, apa saja yang diurusi APRM? Untuk menjawab pertanyaan kita perlu mempelajari perencanaan korporasi strategis. Ada berbagai istilah terkait perencanaan korporasi strategis, seperti perancanaan jangka panjang (long range planning), pemikiran strategis (strategic thinking), perencanaan strategis korporasi (corporate strategic planning), dan strategi korporasi (corporate strategy). Perhatian para ahli pada bidang ini sudah ada sejak lama.

Dalam catatan Hax dan Majluf (1984), Andrew (1980) mengartikan strategi korporasi sebagai pola keputusan dalam sebuah perusahaan dalam menentukan dan menjelaskan sasaran (objectives), tujuan (purpose), atau keinginan (goals), menghasilkan kebijakan-kebijakan atau rencana mendasar untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, dan mendefinisikan batas-batas bisnis (range business) yang ingin diperoleh perusahaan, rancangan organisasi sumber daya manusia dan ekonomi yang dibutuhkan, dan sifat dasar kontribusi ekonomi dan non-ekonomi yang direncanakan bagi pemegang saham, karyawan, pelanggan dan komunitas.

Strategi korporasi memperjelaskan pada bisnis apa perusahaan berkompetisi, terutama dalam kaitan dengan sumberdaya yang diperlukan untuk menciptakan keunggulan bersaing.  Cravens dan Piercy (2006) juga menyatakan  strategi korporasi sebagai keputusan-keputusan yang dibuat oleh manajemen puncak dan terdiri dari penentuan cakupan dan tujuan bisnis, sasaran-sasarannya, dan inisiatif-inisiatif serta sumber-sumber daya yang diperlukan untuk mencapai sasaran-sasaran.

Kedua pengertian di atas telah memberikan petunjuk tentang keputusan-keputusan apa saja yang dilakukan terkait strategi korporasi  namun, rincian yang lebih detil diberikan oleh  Hax dan Majful (1984). Berdasarkan Hax dan Majful (1984) serta Kotler dan Keller (2016) disimpulkan bahwa komponen strategis dalam korporasi menyangkut: (1) perumusan visi dan misi organisasi, (2) penetapan unit-unit bisnis strategis, (3) alokasi sumberdaya pada setiap SBU dan (4) identifikasi kesempatan-kesempatan bertumbuh.

Pendahuluan | Penetapan Unit-unit Bisnis Strategis |Alokasi Sumber Daya pada Unit-unit Bisnis Strategis | Mengidentifikasi Kesempatan-kesempatan Bertumbuh

Visi dan Misi Korporasi

Visi

Keputusan-keputusan menyangkut visi korporasi mencakup: filosofi korporasi, misi korporasi, identifikasi SBU dan interaksi antar SBU. Menurut Craven dan Piercy (2006), visi korporasi merupakan jawaban atas pertanyaan mendasar: “korporasi apa kita ini? Untuk apa korporasi dibentuk? Mau ke mana korporasi pada masa yang akan dating?” 

Contoh visi PT. Gajah Tunggal:

“To be a Good Corporate Citizen with Solid Financial Standing, Market Leadership in Indonesia and an established Global Reputation as a Manufacturer of Quality Tires.” [PT.Gajah Tunggal Tbk.(n.d.). Company Profile. Retrieved March 02, 2023, from https://www.gt-tires.com/indonesia/corporate.asp?menuid=3&classification=12&subid=36&language=1]

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tampak sederhana, namun menurut Hax dan Majful (1984), sesungguhnya yang dirumuskan pada visi  korporasi adalah: (1) pernyataan misi korporasi, (2) identifikasi unit bisnis strategis (strategic business unit, disingkat SBU), termasuk interaksi dan saling berbagi sumberdaya di antara SBU-SBU dan (3) artikulasi filosofi korporasi yang menunjukkan kebijakan dan budaya perusahaan. Sebagai contoh, filosofi Sosro Group adalah: (1) peduli terhadap kualitas, (2) peduli terhadap keamanan, (3) peduli terhadap kesehatan dan (4) ramah lingkungan.  Nestle membuat visi yang sangat singkat tetapi padat: Good Food Good Life.

Misi

Mari kita simak  pernyataan misi berikut ini.

Nestle: At Nestlé, we believe that research can help us make better food so that people live a better life.  Good Food is the primary source of Good Health throughout life. We strive to bring consumers foods that are safe, of high quality and provide optimal nutrition to meet physiological needs. In addition to Nutrition, Health and Wellness, Nestlé products bring consumers the vital ingredients of taste and pleasure.  As consumers continue to make choices regarding foods and beverages they consume, Nestlé helps provide selections for all individual taste and lifestyle preferences.  Research is a key part of our heritage at Nestlé and an essential element of our future. We know there is still much to discover about health, wellness and the role of food in our lives, and we continue to search for answers to bring consumers Good Food for Good Life” (www.research.nestle.com, 7 Oktober 2011).

Menurut Hirota et al. (2010), pernyataan misi adalah suatu alat untuk meng-artikulasi kepercayaan, keyakinan, pandangan dan pendekatan manajemen tentang tujuan, dan tanggung jawab sosial perusahaan. Kotler dan Keller (2016) menyatakan bahwa secara eksplisit pernyataan misi mengekspresikan identitas korporasi, tujuan, dan strategi dasar korporasi, secara singkat, padat dan jelas. Berdasarkan kedua pandangan tersebut, kita dapat menyatakan bahwa pernyataan misi mengandung: identitas korporasi, kepercayaan, keyakinan, pandangan, tujuan, pendekatan (strategi dasar) mencapai tujuan, dan tanggung jawab sosial korporasi.

Pada pernyataan misi Nestle di atas, kita menemukan:

  • Keyakinan: At Nestlé, we believe that research can help us make better food so that people live a better life.  
  • Nilai: Good Food is the primary source of Good Health throughout life.
  • Strategi dasar: We strive to bring consumers foods that are safe, of high quality and provide optimal nutrition to meet physiological needs.
  • Strategi dasar: In addition to Nutrition, Health and Wellness, Nestlé products bring consumers the vital ingredients of taste and pleasure.  
  • Strategi dasar: As consumers continue to make choices regarding foods and beverages they consume, Nestlé helps provide selections for all individual taste and lifestyle preferences.  
  • Pandangan dan tujuan: Research is a key part of our heritage at Nestlé and an essential element of our future. We know there is still much to discover about health, wellness and the role of food in our lives, and we continue to search for answers to bring consumers Good Food for Good Life.”
  • Vision: Suatu gambaran ideal ke arah mana perusahaan bergerak.

Menurut Kotler dan Keller (2012), ada tiga karakteristik misi yang baik. Pertama, jumlah sasaran atau tujuan (goals) yang ingin dicapai terbatas. Sebagai contoh, misi Nestle di atas fokus hanya pada satu tujuan, yaitu kehidupan konsumen yang baik (good life).  Jelas misi Nestle fokus, yang tercermin dalam slogan: Good Food Good Life.

Kedua, misi menunjukkan kebijakan-kebijakan dan nilai-nilai utama perusahaan. Pada contoh di atas, kebijakan Nestle adalah: makanan atau minuman yang diproduksi harus berkualitas, enak, bergizi. Nilai yang dipercaya adalah: konsumen bebas memberikan pilihan dan peranan perusahaan hanya memberikan pilihan (as consumers continue to make choices regarding foods and beverages they consume, Nestlé helps provide selections for all individual taste and lifestyle preferences).  Ketiga, misi perlu mencakup batas-batas persaingan, dalam mana perusahaan beroperasi. Batas-batas dimaksud mencakup:

  • Industri, yakni pada industri mana korporasi beroperasi. Adakalanya korporasi beroperasi pada industri yang spesifik. Misalnya, Nike yang hanya bergerak dalam industri sepatu. Ada yang beroperasi dalam industri yang masih berhubungan, misalnya Indo Food bergerak dalam berbagai ragam industri makanan. Ada pula yang bergerak di berbagai industri, yang antara industri-industri yang dimasuki, ada kemungkinan tidak saling berhubungan. Misalnya, Astra Internasional memasuki industri pertanian, selain otomotif.
  • Jenis-jenis produk atau aplikasi. Dalam misinya yang disingkat menjadi Good Food Good Life, Nestle membatasi diri pada produk-produk makanan. Gajah tunggal membatasi diri hanya pada produksi berbagai jenis ban.
  • Kompetensi, yakni keahlian atau kemampuan khusus yang dimiliki atau yang ingin dikembangkan perusahaan. Misalnya, Sosro Group memiliki keahlian khusus tentang teh, Aqua Danone memiliki keahlian dalam penemuan mata air pegunungan, pengolahan serta penyimpanan air minum dalam kemasan.
  • Segmen pasar. Tipe pasar atau konsumen yang ingin dilayani perusahaan. Sebagai contoh, Kawasaki Indonesia focus pada sepeda motor tipe Dengan demikian, tipe konsumen yang dilayani adalah penyuka sepeda motor sport yang umumnya berusia muda.
  • Jumlah tingkat saluran yang digunakan, mulai dari bahan baku, produk akhir, sampai saluran distribusi, dalam mana korporasi ingin berpartisipasi. Misalnya, Nike Corporation hanya menangani pemasaran dan pen-desain-an sepatunya. Produksi diserahkan pada pabrik-pabrik sepatu di Asia. Contoh lain, Sosro grup terlibat dalam penyediaan bahan baku melalui perkebunan teh sendiri, produksi, sampai distribusi.
  • Geografis, yakni cakupan wilayah, negara atau kumpulan Negara, dalam mana korporasi beroperasi. Nestle adalah perusahaan global. Oleh karena itu, dalam misinya, seharusnya skop global operasinya tercermin.

Latihan 1

PT. GT, sebuah produsen ban, memiliki misi sebagai berikut:

“To be a leading and dependable producer of an optimal range of competitively priced, superior quality tires while also pursuing brand equity and corporate social responsibilities as well as delivering profitability and returns to shareholders and values to stakeholders.”  [PT.Gajah Mada Tbk.(n.d.). Company Profile. Retrieved March 02, 2023, from https://www.gt-tires.com/indonesia/corporate.asp?menuid=3&classification=12&subid=36&language=1]

Pertanyaan: Analisislah  apakah pernyataan misi ini sudah baik. 

Pendahuluan | Visi dan Misi Korporasi | Alokasi Sumber Daya pada Unit-unit Bisnis Strategis | Mengidentifikasi Kesempatan-kesempatan Bertumbuh

Penetapan Unit-unit Bisnis Strategis

Tugas kedua korporasi adalah mengidentifikasi strategic business unit (SBU). Menurut Hax dan Majluf (1984), tugas kedua ini merupakan jawaban atas pertanyaan sederhana sekaligus menantang: “What business are we in?” Kata ‘business’ dalam pertanyaan tersebut secara konseptual disebut strategic business unit (SBU). Jadi, untuk menjawab pertanyaan tersebut, korporasi perlu mengidentifikasi SBU-SBU yang dimilikinya. Menurut Craven dan Piercy (2006), SBU dapat berupa satu produk atau merek, lini produk atau gabungan berbagai produk terkait, yang dapat memenuhi kebutuhan umum pasar (common market needs) atau sekumpulan kebutuhan yang saling terkait, dan manajemen SBU bertanggung jawab untuk sebagian besar atau semua fungsi-fungsi dasar bisnis. Secara lebih terperinci, Kotler dan Keller (2016) memberian tiga karakteristik SBU sebagai berikut:

    • Merupakan bisnis tunggal (single business) atau kumpulan bisnis-bisnis yang berkaitan yang dapat memiliki rencana tersendiri.
    • Mimiliki pesaing sendiri. Sebagai contoh, Avanza adalah merek di bawah pengelolaan Toyota Astra Motor, selain merek-merek yang sudah disebutkan di depan. Tentu merek ini memiliki pesaing berbeda dari Innova, apalagi dari Alphard. Karena itu, dari sisi kriteria ini, Avanza dapat dijadikan sebagai SBU. Namun, apakah pada kenyataannya menjadi SBU atau tidak tergantung pada pertimbangan manajemen TAM sendiri.
    • Memiliki manajemen tersendiri yang bertanggung jawab terhadap perancanaan strategis dan kinerja keuntungan dan yang mengontrol sebagian besar faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan.

       

Pendahuluan | Visi dan Misi Korporasi | Penetapan Unit-unit Bisnis StrategisMengidentifikasi Kesempatan-kesempatan Bertumbuh

Alokasi Sumberdaya pada Unit Bisnis Strategis

Setelah mengidentifikasi SBU-SBU-nya, korporasi tidak cukup hanya sekedar mengetahui berapa SBU-nya dan pada industri apa saja SBU-SBU itu berada. Menurut Hax dan Majluf (1984), ada berbagai kerjasama antar SBU. Pertama, dalam merumuskan visi korporasi, seperti dijelaskan di depan. Kedua, kerjasama untuk memenuhi kebutuhan sebuah segmen pasar atau merencanakan teknologi yang dapat dipakai SBU-SBU.  Ketiga, kerjasama untuk menggunakan fasilitas atau sumberdaya yang dapat digunakan bersama.  Kerjasama ini dapat meningkatkan efisiensi melalui penggunakan fasilitas bersama maupun skala ekonomi (economic of scale) produksi fasilitas yang produknya digunakan bersama oleh SBU-SBU. Keempat, kerjasama dalam bentuk alokasi dana (investasi) di antara SBU-SBU. Istilah sederhananya adalah kerjasama dalam bentuk “subsidi silang” antar korporasi. Kerjasama pertama sampai ketiga dapat dilakukan atas inisiatif SBU-SBU yang terlibat. Yang perlu melibatkan korporasi adalah kerjasama nomor empat karena ini menyangkut uang. Logikanya, SBU yang kaya tidak begitu saja mau memberikan uangnya untuk membangun SBU yang lemah, sehingga perlu campur tangan korporasi untuk mengaturnya. Pembagian sumberdaya di antara SBU-SBU tentu saja tergantung pada pertimbangan korporasi. Namun, para ahli telah mengembangkan berbagai arahan untuk keperluan tersebut. Dua di antara teknik paling terkenal adalah matrik BCG (Boston Consulting Group) dan matrik GE (General Electric), seperti diuraikan berikut ini.

Matrik BCG

Matrik BCG, yang dihasilkan konsultan Boston Consulting Group, menggunakan dua dimensi, yaitu pertumbuhan pasar (market growth) dan pangsa pasar relatif (relative market share). Penjelasan matrik ini dimulai dari contoh berikut. Sebuah korporasi, yakni Prosperity International Group, memiliki delapan SBU, dengan data-data seperti pada Tabel 1.  Pangsa pasar relatif adalah pangsa pasar SBU (kolom 5) dibagi pangsa pasar pesaing paling besar (kolom 6). Penjualan pesaing terbesar ini bisa saja lebih besar dari SBU (lihat Makmur, Bahagia, Pesona, Abadi), bisa pula lebih kecil dari SBU (lihat Aman, Mantap, Adil dan Jaya), bias pula sama (tidak ada dalam contoh). Pangsa pasar relatif dapat juga dicari dengan langsung membandingkan harga SBU dengan pesaing paling besar, namun contoh ini (Tabel 1) sengaja menggunakan data pangsa pasar dengan maksud mengingatkan kembali cara menghitung pangsa pasar (kolom 5 dan kolom 6).

Data yang digunakan untuk membentuk matrik BCG adalah tingkat pertumbuhan pasar (kolom 1) dan pangsa pasar relatif (kolom 7).  Dalam model ini, pertumbuhan pasar ke dalam dua kategori, yaitu 10% ke bawah dan di atas 10%. Pangsa pasar relatif juga dua kategori, yaitu satu kali dan di atas satu kali. Hasilnya disajikan pada Gambar 2.  Besarnya lingkaran menunjukkan besarnya volume penjualan setiap SBU.

Matrik BCG membagi SBU-SBU ke dalam empat golongan, yaitu star (Mantap dan Jaya). cash cow (Aman dan Adil), dog (Bahagia dan Abadi) dan question mark (Pesona dan Makmur). Setiap golongan memperoleh perlakuan yang berbeda-beda. Posisi star dimiliki SBU-SBU yang berada pada pasar yang pertumbuhannya tinggi dan secara relatif memiliki pangsa pasar lebih besar dibanding pesaing terbesarnya. SBU-SBU yang ada pada posisi ini layak memperoleh investasi untuk mempertahankan pertumbuhan dan mempertahankan posisi kepemimpinan (leadership). 

Seringkali keuntungan star rendah, namun yang diharapkan adalah prospek masa depannya. Opsi-opsi strategis yang dapat dipilih untuk SBU-SBU yang berada pada posisi ini adalah: intergrasi (ke depan, ke belakang atau horizontal), penetrasi pasar, pengembangan pasar, pengembangan produk dan joint ventures.

Cash cow adalah kategori bagi SBU-SBU yang memiliki pertumbuhan pasar rendah, namun termasuk market leader dengan pangsa pasar relatif lebih dari satu kali pesaing terbesarnya.  Umumnya industry pada kategori ini mature, sehingga tidak diperlukan lagi investasi besar untuk meningkatkan penjualan.  Karena itu pula cash cows merupakan kategori paling profitable, karena dengan posisi sebagai pemimpin pasar, menikmati keuntungan akibat skala ekonomi (economic of scale).  Karena itu, secara teori SBU-SBU yang ada pada kategori ini dapat dipakai untuk membiayai SBU-SBU yang berada pada tiga kategori lainnya. Strategi yang dianjurkan untuk SBU yang berada pada kategori ini adalah mempertahankan posisinya (hold the position) sedapat mungkin.  Opsi-opsi strategis yang tersedia adalah: pengembangan produk dan coencentric diversification.

Andaikan posisi melemah akibat kehilangan pangsa pasar, opsi yang dapat dipilih adalah perampingan demi efisiensi (retrenchment). Kalau terpaksa, penutupan SBU (divestment) juga dapat dilakukan. Question marks adalah kategori dalam BCG bagi SBU-SBU yang ebrada pada pasar yang pertumbuhannya tinggi, namun dengan pangsa pasar yang relatif rendah. SBU-SBU yang ada pada kategori ini menghadapi dua plihan, yakni: invest atau divest.

Keputusan invest dipilih apabila terdapat prospek yang baik, terutama apabila SBU-SBU dimaksud punya prospek untuk masuk kategori stars.  Opsi-opsi strategis yang dapat dipilih untuk strategi invest adalah: penetrasi pasar, pengembangan pasar dan pengembangan produk. Semua opsi tersebut termasuk dalam pertumbuhan intensif.

Kategori DOGS dialamatkan bagi SBU-SBU yang memiliki pangsa pasar rendah dan berada pada pasar yang pertumbuhannya rendah.  SBU-SBU demikian memiliki prospek yang suram. Pilihan yang tersedia adalah: (1) direvitalisasi dengan harapan dapat diperbaiki kinerjanya sehingga menjadi cash cows, (2) dipanen (harvest) selama SBU masih memberikan keuntungan dan (3)  dijual (kalau ada yang tertarik membeli).

Pemanenan (harvesting) adalah memanfaatkan sisa-sisa potensi keuntungan yang masih ada dengan investasi kecil atau malah tidak ada sama sekali. Misalnya, restoran berprospek suram tidak langsung ditutup, akan tetapi tetap dipertahankan selama masih ada pelanggan sampai jumlah minimal tertentu.

Latihan 3

Astra Honda Motor (AHM) adalah anak perusahaan Astra Internasional. Andaikan pertumbuhan pasar motor Indonesia tiga tahun ke depan adalah rata-rata 7.5 % tahun, sebagai sebuah SBU, dalam matriks BCG, pada posisi manakah AHM? Petunjuk: Gunakan hasil yang anda peroleh pada Latihan 2.2. Cara menentukan baca pada ulasan di depan.

Matrik General Electric

Sama seperti matrik BCG, matrik General Electric (GE) juga menggunakan dua dimensi, namun dimensi yang digunakan berbeda, yakni kekuatan SBU (strategic business unit strengths, selanjutnya dinyatakan sebagai ‘kekuatan bisnis’) dan daya tarik industri (industry attractiveness).  Kedua dimensi dibagi ke dalam tiga kategori: rendah, sedang dan tinggi. Dengan menggabungkan kedua dimensi diperoleh matrik GE berisikan sembilan sel. Setiap sel berisikan opsi-opsi strategis bagi SBU yang berada di dalamnya.  Oleh karena itu, tugas pertama korporasi adalah melakukan analisis untuk mengetahui pada sel mana masing-masing SBU berada, lalu menerapkan strategi yang disediakan pada sel itu.

Untuk mengetahui posisi dimaksud kita perlu menghitung kekuatan bisnis dan daya tarik setiap SBU. Perhitungan kedua dimensi didasarkan pada berbagai indikator. Contoh perhitungan disajikan pada Tabel 2 untuk kekuatan bisnis dan Tabel 3 untuk daya tarik industri.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada kedua table tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, indikator-indikator kekuatan bisnis maupun daya tarik industri serta bobot masing-masing, dapat berbeda bagi SBU yang berbeda. Pada contoh ini aspek-aspek tersebut disamakan hanya untuk penyedehanaan. Kedua, rating diperoleh dari semantic differential scale dengan interval 1 (rendah) sampai 7 (tinggi). Untuk memahami skala ini pembaca dapat memeriksa buku-buku tentang riset. Ketiga, total kekuatan bisnis maupun daya tarik industri diperoleh dari hasil penjumlahan bobot dikali rating. Sebagai contoh, kekuatan bisnis SBU Aman diperoleh dari perhitungan berikut:

KB Aman=20%x5+20%x4+15%x5+ …+5%x5=4.70


Latihan 4

Hitunglah kekuatan bisnis dan daya tarik industry dengan menggunakan data yang terdapat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Petunjuk: Apabila anda memperoleh angka-angka seperti pada kedua table berarti perhitungan anda sudah benar.


Setelah memperoleh skor kekuatan bisnis untuk masing-masing SBU, persoalan selanjutnya adalah: bagaimana menerjemahkan skor-skor tersebut ke dalam kategori rendah, sedang dan tinggi? Ambil contoh SBU Aman. Dengan skor 4.7, termasuk kategori mana kekuatan bisnis SBU ini, apakah rendah, sedang atau tinggi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita gunakan aturan umum terkait semantic differential scale sebagai berikut. Pertama-tama, dalam skala rating yang digunakan, angka terendah adalah 1 dan tertinggi 7, selisihnya 7-1=6. Bagi tiga angka 6 tersebut didapat interval=2. Dengan demikian, bila skor adalah 1 sampai 3, termasuk rendah. Di atas 3 sampai 5 termasuk sedang dan di atas 5 termasuk tinggi.  Secara matematis penulisannya adalah: 1 ≤X≤3=rendah, 3<X≤5=sedang, dan X>5=tinggi, di mana X adalah skor kekuatan bisnis.

Cara yang sama dilakukan untuk menerjemahkan skor daya tarik industri. Dengan demikian kita dapat memetakan seluruh SBU ke dalam matrik GE, seperti diperlihatkan pada Gambar 3.   Ukuran lingkaran menyatakan besar-kecilnya penjualan SBU.

Sekarang kita sudah mengetahui posisi masing-masing SBU. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang dilakukan korporasi pada setiap SBU?  Matrik GE menyediakan jawaban atas pertanyaan tersebut, seperti ditampilkan pada Gambar 4. Terlihat bahwa matrik GE memberikan arahan jelas pada setiap sel. Kita ambil SBU “Aman” sebagai contoh. Pada Gambar 4 diperlihatkan bahwa SBU ini berada pada sel 1, yang ditandai oleh daya tarik industry yang tinggi dan kekuatan bisnis yang tinggi. Strategi yang diberikan matrik GE untuk SBU ini adalah: (1) lakukan investasi maksimum, (2) lakukan diversifikasi, (3) konsolidasikan posisi agar focus dengan sumberdaya yang dimiliki dan (4) keuntungan sebagian diinvestasikan kembali untuk memaksimalkan pangsa pasar. Untuk SBU “Abadi”, arahan strategi yang diberikan matrik GE adalah: (1) lakukan investasi yang benar-benar penting, (2) siap-siap untuk menutup usaha dan (3) alihkan sumberdaya pada segmen-segmen yang lebih menarik.

Gambar 4. Alternatif Strategi berdasarkan Matrik GE


Latihan 5

Periksa arahan strategi bagi keenam SBU lainnya. Petunjuk: Gunakan Gambar 2.3 sebagai titik awal. Kemudian, periksa strategi bagi masing-masing SBU pada Gambar 2.4, sesuai posisi masing-masing SBU pada Gambar 3.


Pendahuluan | Visi dan Misi Korporasi | Penetapan Unit-unit Bisnis Strategis |Alokasi Sumber Daya pada Unit-unit Bisnis Strategis

Mengidentifikasi Kesempatan-kesempatan Bertumbuh

Strategi stabilitas adalah sebuah strategi korporasi yang bercirikan tidak adanya perubahan yang berarti dalam hal-hal yang sedang dikerjakan oleh organisasi pada saat ini.

Sedangkan strategi pembaharuan adalah sebuah strategi korporasi yang didisain untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan organisasi yang menyebabkan kinerjanya menurun. Menurut mereka, ada dua pilihan strategi pembaharuan yaitu strategi pengurangan (retrenchment strategy) yang bersifat jangka pendek dan strategi berbalik arah (turnaround strategy) untuk masalah-masalah kinerja organisasi yang lebih serius.

Strategi bertumbuh adalah sebuah strategi korporasi yang digunakan bila sebuah organisasi ingin bertumbuh baik dengan cara menambah jumlah produk yang ditawarkannya atau memperluas pasar yang dilayaninya, baik melalui bisnis atau bisnis-bisnisnya yang ada sekarang ataupun melalui bisnis atau bisnis-bisnis baru. Dengan gaya bahasa berbeda Kotler dan Keller (2016) menyatakan bahwa  apabila terjadi kesenjangan antara “portofolio penjualan yang diprediksi akan terjadi tanpa upaya pertumbuhan” dan “penjualan yang diinginkan (desired sales)”, korporasi memerlukan pertumbuhan untuk mengatasinya.  Untuk itu, menurut keduanya, sebuah korporasi dapat mengidentifikasi kesempatan-kesempatan bertumbuh melalui: (1) bisnis saat ini (intensive opportunities), (2) bukan bisnis saat ini tetapi masih berkaitan dengan bisnis saat ini (integrative opportunities) dan (3) bisnis yang tidak berhubungan dengan bisnis saat ini (diversification opportunities).

Intensive Growth

Perumusan strategi bertumbuh dengan mengefektifkan kesempatan bisnis saat ini (intensive growth) dapat menggunakan matrik Ansoff (1957).  Matrik ini menggunakan dua dimensi untuk merumuskan strategi, yakni dimensi produk (product) dan pasar (market). Dengan membagi kedua dimensi menjadi: saat ini (existing) dan baru (new), diperoleh empat strategi. Menurut Kotler dan Keller (2016), tiga strategi di antaranya, yakni penetration strategy, market development strategy dan product development strategy, dapat digolongkan sebagai strategi bertumbuh melalui intensive opportunities. Strategi keempat, yakni diversification strategy, merupakan strategi bertumbuh melalui diversification opportunities, sesuai dengan namanya.

Market penetration strategy memasarkan produk saat ini pada pasar saat ini.  Peningkatan produk diharapkan terjadi melalui peningkatan penjualan produk saat ini dan berarti juga peningkatan pembelian konsumen saat ini.  Peningkatan pembelian konsumen saat ini untuk produk saat ini hanya dapat terjadi melalui konsumsi yang lebih banyak (more usage) (misalnya keramas dua kali sehari menjadi keramas setiap hari) dan pangsa pangsa pasar lebih besar.  Untuk memperoleh tujuan tersebut perusahaan dapat melalukan promosi, repositioning, modifikasi produk maupun peningkatan kualitas produk.

Dalam market development strategy penjualan dinaikkan dengan memasarkan produk-produk saat ini pada segmen pasar yang baru. Langkah tersebut dapat dilakukan melalui ekspor, pemasaran ke wilayah serta segmen baru. Langkah terakhir, yakni ‘pemasaran ke segmen baru’, merupakan sebuah bentuk ‘resegmentation’ yang tentunya juga perlu diikuti oleh ‘repositioning’. Misalnya, sebuah sepeda motor yang sebelumnya ditujukan untuk perempuan, dirubah sasarannya menjadi bagi ‘perempuan dan laki-laki’.

Strategi bertumbuh melalui product development strategy dilakukan dengan menawarkan produk baru kepada konsumen saat ini. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pasar dompet (share of wallet) konsumen. Untuk produk-produk yang sering dibeli dan konsumen menginginkan variasi produk-produk yang dibelinya (seperti mi instan) pendekatan ini efektif. Untuk itu perusahaan perlu berinovasi untuk menemukan produk baru.

Diversification Growth

Strategi diversifikasi cocok (make sense) apabila ada kesempatan di luar bisnis saat ini yang digeluguti korporasi.  Sebuah kesempatan yang baik diperoleh apabila industri menarik dan korporasi memiliki sumberdaya yang diperlukan.

Ada beberapa variasi strategi diversifikasi yang dapat dilakukan perusahaan. Pertama adalah coencentric diversification, yakni: apabila dalam memasuki industri baru, korporasi membuat produk baru yang secara teknologi berkaitan dengan produk yang sudah ada atau secara pemasaran bersinergi dengan pemasaran saat ini, sekalipun produk baru tersebut menarik bagi segmen konsumen yang berbeda. Kedua adalah horizontal strategy, yakni strategi diversifikasi di mana produk baru tidak memiliki kaitan teknologi dengan produk saat ini, sekalipun dapat menarik konsumen saat ini. Conglomerate strategy adalah yang ketiga, yakni diversifikasi, di mana korporasi memasuki bisnis baru, yang secara teknologi, produk maupun pasar tidak memiliki keterkaitan dengan bisnis saat ini.

Integrative Growth

Cara lain untuk memperoleh pertumbuhan adalah melalui pertumbuhan integratif (integrative growth), yang dapat dilakukan ke belakang (backward integration), ke depan (forward integration) dan ke samping (horizontal integration). Grup Indofood melakukan forward integration. Selain menghasil produk-produk makanan, grup ini juga memiliki distributor Indomarco dan pengecer Indomart.  Integrasi horisontal adalah mengakuisisi perusahaan-perusahaan sejenis, misalnya Goup MNC mengakuisisi Global TV serta TPI yang sekarang dinamakan MNC TV.

Terkait dengan strategi pertumbuhan korporasi, yang menarik adalah: apakah ketiga strategi dapat dilakukan sekaligus? Kotler dan Keller (2016) menyatakan ketiga strategi tersebut dapat dilakukan sendiri-sendiri maupun kombinasi dua atau tiga strategi sekaligus. Titik berangkatnya adalah kesenjangan penjualan korporasi yang diprediksi dan yang diharapkan.  Pilihan yang tersedia bagi korporasi adalah dengan strategi apa kesenjangan tersebut diatasi paling efektif? Jawabannya tentu bisa merujuk pada satu, dua atau tiga strategi sekaligus.


Referensi

Andrews, Jonlee, & Smith, Daniel C. (1996). In Search of The Marketing Imagination: Factors Affecting the Creativity of Marketing Programs for Mature Products. In Hax, A.C. & Majluf, N.S.  (1984). The Corporate Strategic Planning Process. Interfaces, Vol. 14, No. 1, Strategic Management (Jan. – Feb.), pp. 47-60. Published by: INFORMS, stable URL: http://www.jstor.org/stable/25060519. Accessed: 03/10/2011, 07:21.

Ansoff, H. (1957). Strategies for diversification. Harvard Business Review, 35(5), 13-124.

Craven, D.W. & Piercy, N.F. (2006). Strategic Marketing. 9th Edition. McGraw-Hill/Irwin, New York.

Hax, A.C. & Majluf, N.S.  (1984). The corporate strategic planning process. Interfaces, 14(1),  47-60.

Hirota, S., Kubo, K., Miyajima, M., Hong, P. & Park, Y.W. (2010). Corporate mission, corporate policies and business outcomes: Evidence from Japan. Management Decision,  48(7), 1134-1153. DOI: 10.1108/00251741011068815.

Kotler, P. & Keller, K.L. (2016). Marketing Management. 15th Edition. Prentice-Hall Inc.

Public Relation

Public Relation (selanjutnya disingkat dengan PR dan dibaca pi ar) adalah berbagai program untuk mempromosikan atau melindungi citra perusahaan (company image) atau produk (product image). PR tidak berurusan dengan transaksi dengan pembeli. Untuk itu, PR perlu melibatkan diri dalam perumusan rencana strategis perusahaan. PR juga perlu memahami konflik antar bagian dalam perusahaan. Yang lebih penting, mengetahui rencana setiap bagian perusahaan.  PR turut membentuk arah perusahaan dengan memberikan pandangan tentang masa depan serta opini masyarakat terhadap perusahaan.

Public relation dan pemasaran merupakan dua disiplin ilmuyang berbeda. Berdasarkan definisi American Marketing Association (2007), dapat dikatakan bahwa pemasaran adalah sejumlah aktifitas yang bertujuan untuk menciptakan, mengomunikasikan, memberikan (delivering) nilai bagi pasar sasaran, rekanan, klien, dan masyarakat secara keseluruhan. Sementara menurut International Public Relation Association (n.d.), public relation adalah fungsi manajemen yang bertugas membangun hubungan dan kepentingan antara organisasi dan publiknya berdasarkan penyampaian informasi melalui metode komunikasi yang tepercaya dan etis. Bagi public relation specialistpublic relation bukan bagian dari pemasaran, justru pemasaran adalah salah satu fungsi yang mereka jalankan (Turney, 2001). Sebagai jalan tengah, marketing specialist akhirnya menggunakan nama marketing public relation (MPR) (Kotler dan Keller, 2016).

Mengutip Kotler dan Keller (2016), daya tarik MPR didasarkan pada tiga kelebihan metoda komunikasi ini.  Pertama, kredibilitasnya yang tinggi. Publikasi tentang perusahaan atau produk terkesan lebih otentik dan terhormat dibanding iklan. Soalnya, pemuatan berita baik tentang perusahaan atau produknya terkesan sebagai inisiatif wartawan media, walaupun untuk pemuatan berita itu, perusahaan mengeluarkan sejumlah biaya. Selain itu, publikasi media menimbulkan kesan bereputasi tinggi karena perusahaan sudah menjadi pembuat berita.

Kedua, kemampuan menembus pertahanan audiens.  Apabila merasa tidak penting, orang-orang memiliki mekanisme pertahanan diri terhadap iklan maupun penjualan personal.  Caranya adalah menghindar. PR dapat menjangkau orang-orang yang menghindari itu, sebab pesan yang disampaikan dalam bentuk berita, terkesan bukan berita komersial.

Ketiga, adanya unsur dramatisasi.  Sebagaimana iklan, perusahaan dapat mendramatisasi kejadian positif  terkait perusahaan atau produknya.  Pada tahun 1998, saat krisis ekonomi mulai memuncak, para nasabah bank ramai-ramai menarik uangnya. Masih pada saat krisis itu, pada satu titik, nasabah BCA mulai kembali.  Walaupun nasabah yang sempat keluar dan balik lagi baru mencapai 2000 orang, namun arus balik ini didramatisir dengan berita:

Ribuan nasabah BCA yang sempat hengkang kembali lagi. Kenyataan ini sekali lagi membuktikan bahwa BCA adalah bank yang sangat terpercaya masyarakat dan tahan banting. Pada waktu bank-bank lain berguguran, BCA mampu bertahan dari terpaan krisis ekonomi yang maha dashyat.

Apakah dengan dramatisasi berita perusahaan melakukan kebohongan publik? Tidak juga. Kata ribuan merupakan konsep yang tidak jelas. Bisa 1000, bisa 5000, bisa 9000, dan seterusnya.  Jadi, walaupun baru mencapai angka 2000, penggunaan kata ribuan tidak salah. Namun, penyebutan kata ribuan jauh lebih dramatis dibanding 2000 orang.  Terus, kata-kata terpercaya, tahan banting, dan mampu bertahan, adalah konsep yang bersifat kualitatif, yang penilaiannya didasarkan pada standar yang dapat diperdebatkan, tetapi tidak dapat disalahkan.

PROSES PUBLIC RELATION

Karena menyangkut opini publik, proses MPR sebaiknya dimulai dan diakhiri dengan riset.  Pihak yang berurusan dengan MPR perlu mengetahui opini sebelum dan setelah MPR dilakukan.

Proses MPR terdiri atas lima kegiatan, yaitu: (1) mengumpulkan fakta, (2) mendefinisikan permasalahan, (3) perencanaan dan program, (4) aksi dan komunikasi, dan (5) evaluasi program PR.  Karena pengumpulan fakta dilakukan sebelum dan setelah proses dan sifatnya juga berkesinambungan, kegiatan bukan sebagai tahap untuk menyiapkan tahap berikutnya, melainkan dasar bagi dsetiap tahap.  Karena itu, sesungguhnya, proses MPR terdiri empat tahap, seperti dibahas berikut ini.

Mendefinisikan Permasalahan

Seorang praktisi MPR harus mampu mengenal gejala dan penyebabnya. Dalam tahap ini, praktisi MPR perlu melibatkan diri dalam penelitian dan pengumpulan fakta. Selain itu,  para praktisi MPR juga perlu memantau terus-menerus pengertian, opini, sikap, dan perilaku publik yang terpengaruh oleh sikap dan perilaku perusahaan.  Singkatnya, tahap ini merupakan penerapan fungsi intelijen perusahaan.  Pada tahap ini, pertanyaan yang perlu dijawab adalah: “Apa yang terjadi saat ini (what’s happening now).”

Perencanaan dan Program

Pada tahap ini, para praktisi MPR sudah menemukan penyebab timbulnya permasalahan dan sudah siap dengan langkah-langkah pemecahan atau pencegahan.  Langkah-langkah itu dirumuskan dalam bentuk rencana dan program, termasuk anggarannya. Sangat penting bagi praktisi PR untuk mendapat dukungan dari pimpinan puncak perusahaan karena besar kemungkinan langkah yang diambil sangat strategis dan melibatkan partisipasi banyak bagian.

Adakalanya pelaksanaan program membutuhkan peranan langsung CEO atau pemegang saham mayoritas. Maka, rencana dan program yang menyangkut sasaran, prosedur, dan strategi yang diarahkan pada setiap khalayak sasaran, perlu disepakati kalangan tersebut. Tahap ini memberi jawaban: “Apa yang perlu kita lakukan dan mengapa (what should we do and why)?”

Aksi dan Komunikasi

Tahap ini menjawab pertanyaan: “Bagaimana kita melakukan rencana serta program yang telah diputuskan dan mengomunikasikannya (how do we do it and say it)?” Idealnya, dilakukan secara terencana.  Namun, yang sering terjadi, praktisi PR sering melakukan aksi dan komunikasi tanpa perencanaan terlebih dahulu dan juga tidak didahului pengumpulan fakta dan pendefisian masalah berdasarkan fakta.

Evaluasi Program

Seperti telah disebutkan, proses MPR selalu dimulai dari pengumpulan fakta dan diakhiri pula dengan pengumpulan fakta. Untuk mengetahui apakah proses sudah selesai atau belum, praktisi MPR perlu mengevaluasi langkah-langkah yang telah diambil.  Caranya adalah mengevaluasi hasil tindakan MPR yang dilakukan. Bagaimana opini publik saat ini? Bagaimana opini publik sebelumnya? Apakah terjadi perbaikan yang signifikan seperti diharapkan. Tahap ini menjawab pertanyaan: ”How did we do?”

Riset dibutukan untuk mengumpulkan fakta. Berbekal fakta, para praktisi MPR dapat mendefinisikan permasalahan.  Apabila dilakukan setelah proses MPR, para praktisi MPR dapat mengetahui hasil kegiatan MPR yang dilakukan.

Ada beberapa pendekatan yang dapat dipilih para praktisi MPR dalam melakukan riset.  Pertama, riset informal dengan mewawancara orang-orang berkompeten. Kedua, penelitian data sekunder, yaitu dengan mempelajari data sekunder dari berbagai sumber, seperti skripsi mahasiswa, surat kabar, jurnal ilmiah, berita televisi, dan sebagainya.  Ketiga, riset formal yaitu riset yang dilakukan secara terencana dan sistematis. Riset ini menggunakan sampel besar dan representatif.  Riset ini dapat dilakukan sendiri atau menggunakan jasa konsultan.


REFERENSI

International Public Relation Association. (n.d.). A new definition of public relations. ipra.org [Official Website]. https://www.ipra.org/member-services/pr-definition/

Kotler, P., & Keller, K.L. (2016). Marketing Management. 15th Edition. Pearson Education.

Turney, M. (1998). Public relations and marketing: The boundaries blurred and the functions blended. On-line Readings in Public Relations by Michael Turney. https://www.nku.edu/~turney/prclass/readings/mkting2.html

MDS berbasis Preferensi Komparatif

DS dapat menggunakan data preferensi untuk membentuk peta persepsi. Karena merupakan sikap relatif terhadap satu merek dibanding merek lain, maka dalam pengambilan preferensi, objek yang diambil adalah yang setara, yaitu yang masuk sebagai merek-merek pertimbangan para responden.
Preferensi dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu paired comparison, direct judgement dan compensotory model.

Paired Comparisons

Misalkan kita punya delapan stimuli (disebut juga objek), yaitu A, B, C, D, E, F, G, H. Kedelapan stimuli tersebut kita pasangkan. Hasilnya akan ada 8(9-1)/2=28 pasangan. Kita minta responden memberikan tanda 1 ataupun 0. Instrumen demikian dinamakan paired comparisons. Tujuan kita adalah untuk mengetahui preferensi responden terhadap merek-merek city car dengan metoda tidak langsung.
Data Tabel 1 diperoleh hanya dari seorang responden, yaitu responden 1.

Tabel 1. Memperoleh Peferensi dengan Paired Comparisons untuk Responden 1

AtozAvanzaKarimunPicantoSparkXeniaKalah
Atoz111014
Avanza000000
Karimun011013
Picanto010012
Spark111115
Xenia010001
Menang152304
RANKING514362

Keterangan: Tanda  ‘’ menyatakan jangan diisi.

Dengan cara yang sama diperoleh ranking merek-merek yang dilibatkan dari sembilan responden lainnya. Akhirnya diperoleh data preferensi pada Tabel 2, yang berasal dari 10 responden. Merek-merek yang dilibatkan harus disusun berdasarkan abjad sesuai ketentuan SPSS.

Tabel 2.  Hasil Preferensi dengan Paired Comparisons

RespondenAtozAvanzaKarimunPicantoSparkXenia
1514362
2154236
3254316
4243561
5524361
6164236
7621453
8516243
9621543
10645123

Langkah-langkah Analisis dengan SPSS:

  1. Masukkan data Tabel 2 ke dalam SPSS. Ingat, merek harus disusun sesuai urutan abjad.
  2. Dari menu utama, pilih Analyze, scale lalu klik Multidimension scaling, karena kita mau menggunakan ASCALL (Catatan: Program ini cocok untuk menganalisis MDS dengan data preferensi karena selain merek, posisi responden juga dipetakan).
  3. Pada kotak dialog yang muncul, masukkan semua merek ke ruang Variables. Lalu, pada pilihan shape, pilih Rectangular (Catatan: Bentuk matrik kali ini adalah persegi empat, di mana baris menyatakan responden dan kolom menyatakan merek dan keduanya dipetakan).
  4. Pada kotak dialog, klik Model. Lalu, pada kotak dialog model, untuk Level of measurement pilih Ordinal, karena memang jenis data kita adalah ordinal. Kemudian, pada Conditionality, pilih Row, karena kita tidak membandingkan responden, tetapi terhadap merek berdasarkan preferensi responden.
  5. Jangan lupa meng-klik Option, lalu meminta Group plots pada kotak dialog, agar program memberikan perceptual map yang kita butuhkan.
  6. Klik OK pada kotak dialog utama. Dariperoleh perceptual map seperti Gambar 1.  Gambar ini sudah diedit untuk memperbaiki penampilan.  Interpretasi Gambar 1 tidak diberikan. Pembaca dapat menyimak interpretasi Gambar 2.

Hasil dan Interpretasi

Program Ascal memberikan dua peta, yaitu peta merek dan peta responden. Kedua peta dibuat dengan model berbeda. Untuk peta merek, kualitas model dinyatakan oleh output Stress yang diperoleh melalui 12 kali iterasi atau penghalusan model, seperti di bawah ini.

Iteration     S-stress      Improvement
1           ,16289
2           ,15359         ,00930
3           ,14580         ,00779
4           ,13929         ,00652
5           ,13382         ,00546
6           ,12925         ,00457
7           ,12568         ,00357
8           ,12298         ,00270
9           ,12096         ,00202
10          ,11950         ,00146
11          ,11836         ,00114
12          ,11739         ,00097

Iterasi ke-12 menghasilkan Stress sebesar 0.11739. Berdasarkan Dugard et al. (2010) yang dijelaskan di sini, maka goodness-fit model termasuk fair (cukup baik).

Output berikut ini menjelaskan Stress untuk setiap responden (dinamakan Stimus). Terlihat bahwa Stress terendah dimiliki responden 8 senilai 0.013. Stress tertinggi sebesar 0.328 dimiliki oleh responden 4. Rata-rata Stress adalah 0.143 dan termasuk fair (cukup baik) menurut kriteria Dugard et al. (2010), yang dijelaskan pada link ini.

(Row Stimuli Only)

       Stimulus    Stress      RSQ   Stimulus    Stress      RSQ   Stimulus    Stress      RSQ   Stimulus    Stress      RSQ
           1         ,065     ,997       2         ,174     ,971       3         ,010    1,000       4         ,328     ,909
           5         ,056     ,998       6         ,161     ,974       7         ,066     ,996       8         ,013    1,000
           9         ,080     ,995      10         ,145     ,985
       Averaged (rms) over stimuli
    Stress  =   ,143      RSQ =  ,983

Perceptual Map

Koordinat setiap merek dan responden dinyatakan dalam output SPSS berikut.

Dimension

Stimulus   Stimulus      1        2
 Number      Name
 Column
    1      Atoz       1,4564   -,8872
    2      Avanza    -1,4372    ,3445
    3      Karimun    -,4356  -1,6378
    4      Picanto     ,9054    ,9182
    5      Spark      1,5327    ,1771
    6      Xenia     -1,4104    ,2753
  Row
    1                -1,2580    ,3521
    2                 1,4683    ,0548
    3                 1,5433   -,3047
    4                 -,3303   -,6586
    5                -1,1958    ,3185
    6                 1,6342   -,0813
    7                -1,0225   -,6733
    8                 -,4196   1,3881
    9                -1,0172   -,8207
   10                 -,0136   1,2350

Kemudian, berdasarkan titik-titik koordinat tersebut diberikan peta berikut. Untuk merek-merek peta tersebut dapat dinyatakan sebagai perceptual map. Semain dekat posisi merek, semakin tinggi kesamaan di antara mereka. Untuk responden, maka posisi yang ditempati menyatakan titik ideal ideal bagi mereka. Semakin dekat posisi responden dengan responden lain, semakin serupa selera mereka.

Logikanya, setiap responden memiliki harapan tentang produk ideal.  Semakin dekat sebuah merek terhadap harapan tersebut, maka preferensi konsumen terhadap merek tersebut semakin tinggi.  Masalahnya, bagaimana menilai kedekatan merek dengan titik ideal tersebut?

Caranya adalah menghitung jarak titik ideal responden dengan setiap merek. Rumus berikut dapat digunakan.

di mana, D=jarak geometri (jarak euclidean), xi=nilai x ke-i dan yi=nilai y ke-i.

Sebagai contoh, jarak geometri responden 1 dengan setiap merek adalah sebagai berikut:

xyxy(xi-xi-1)2(yi-yi-1)2DRanking berbasis DRanking hasil observasi
Atoz1.4564-0.8872-1.2580.35217.3679671.5358642.983955
Avanza-1.43720.3445-1.2580.35210.0321135.78E-050.179421
Karimun-0.4356-1.6378-1.2580.35210.6763423.9597022.153134
Picanto0.90540.9182-1.2580.35214.68030.3204692.236243
Spark1.53271.771-1.2580.35217.7880062.0132773.130766
Xenia-1.41040.2753-1.2580.35210.0232260.0058980.170712

Apabila dilihat dari tabel di atas, ranking preferensi berdasarkan perhitungan jarak titik ideal dengan setiap merek dan hasil observasi adalah berbeda sedikit, namun punya pola yang sama, seperti dipertegas oleh gambar berikut.

Sebenarnya, penghitungan jarak titik ideal dengan merek tidak dimaksudkan untuk memeriksa jarak sebuah merek dengan setiap individu. Yang paling penting adalah menginvestigasi konsumen terdekat dan potensial. Perhatikan peta di atas. Responden 8 dan 10 relatif jauh dari merek-merek yang tersedia. Artinya, bagi segmen tersebut belum memiliki merek ideal. Katakanlah kedua responden itu mewakili suatu segmen. Picanto yang relatif jauh dari responden-responden yang dilibatkan dapat menyesuaikan produknya dengan kebutuhan segmen tersebut. Segmen tersebut juga bisa ditarget produk baru.

Persaingan juga tergambar dari peta di atas. Avanza dan Xenia memiliki posisi berdekatan dan sama-sama dekat dengan responden 1 dan 5. Artinya, kedua merek bersaing memperebutkan segmen yang diisi responden 1 dan 5. Karimun, Avanza dan Xenia masih memiliki kesempatan yang sama untuk memperebutkan responden 4, 7 dan 9. Spark dan Atoz memperbutkan responden 2, 3 dan 6.

Sebagai catatan, sebenarnya kesimpulan dari peta persepsi dan konfigurasi responden lebih bermakna untuk sampel berukuran besar. Untuk sampel berukuran 10, seperti yang dipakai saat ini, tidak memberikan hasil bermakna tentang segmentasi pasar, namun setidaknya dapat memberikan gambaran tentang kemampuan MDS untuk memenuhi kebutuhan dimaksud.

MDS Preferensi Berbasis Sikap

Preferensi sebenarnya ranking merek berdasarkan pilihan responden. Banyak cara memperolehnya. Bisa secara langsung, yaitu  responden membuat ranking merek, bisa pula secara tidak langsung dengan pair-wise comparison maupun sikap. Dengan sikap berlaku premis bahwa, pertama, merek yang disikapi sama memiliki preferensi sama. Kedua, semakin tinggi sikap, semakin tinggi preferensi.



REFERENSI

Dugard, P., Todman, J., & Staines, H. (2010). Approaching Multivariate Analysis. A Practical Introduction. Second Edition. Routledge: New York. This text has example analyses using SPSS.

Menghitung Perceived Value


Data pada halaman ini dapat di-download untuk keperluan latihan melalui link Latihan-Perceived-Value


Praktek bisnis pada akhirnya akan bermuara pada produk yang dihasilkannya. Dengan kata lain, sebuah perusahaan yang unggul pada satu praktek bisnis, seperti bahan baku yang berkualitas, jaringan bengkel yang luas dan rapi, ataupun proses produksi yang efisien, harus tercermin pada nilai  konsumen (perceived value, disingkat PV).

Nilai tersebut dapat dinyatakan atribut per atribut, dapat secara keseluruhan.  Misalkan Edy membuka usaha martabak di  Kota Legenda.  Di perumahan itu ada dua usaha sejenis lainnya, yaitu martabak Rossy dan martabak Budi.  Martabak Edy dilabeli harga Rp 6750, Martabak Rossy  Rp 6450 dan martabak Budy  Rp 7800. Edy melakukan survai kecil-kecilan kepada para pelanggannya.  Ternyata, atribut produk yang dipertimbangkan dari martabak adalah warna, aroma, rasa dan ukuran.  Lalu, dia mencari tingkat kepentingan setiap atribut produk serta rating performance ketiga martabak yang bersaing.  Hasilnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1.  Peringkat Martabak Edy, Martabak Rossy dan Martabak Budi.

AtributImportancePerforma
Martabak EdyMartabak RossyMartabak Budi
Warna7555
Aroma7745
Rasa7654
Ukuran5765

Tabel 1.2.  Peringkat Relatif Rating Martabak Edy, Martabak Rossy dan Martabak

AtributImportanceRATING PERFORMANCETotal Skor
MartabakMartabakMartabak
EdyRossyBudi
Warna0.26933.3333.3333.33100
Aroma0.26943.7525.0031.25100
Rasa0.26940.0033.3326.67100
Ukuran0.19238.8933.3327.78100
39.0031.0929.91100

Pada Tabel 1 terlihat bahwa martabak Edy unggul pada atribut aroma, rasa, dan ukuran.  Taruhlah martabak Edy unggul pada ketiga atribut, namun bagaimana keunggulan secara keseluruhan, mengingat komponen harga belum dimasukkan?  Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mencari perceived value setiap merek.  Untuk itu, pertama-tama, kita rubah importance ke dalam skala relatif yang skornya 1.  Skor importance warna yang tadinya 7 sekarang menjadi 0.269.  Skor baru ini diperoleh dengan: 7/(7+7+7+5)=0.269.

Kedua, performance rating (peringkat kinerja) per atribut juga perlu dirubah secara relatif berbasis  skala tetap 100.  Untuk atribut aroma, skor relatif Martabak Edy adalah: 7/(7+4+5) X 100= 43.75. Martabak Rossy: 4/(7+4+5) X 100=25.  Martabak Budi: 5/(7+4+5) X 100=31.25.  Apabila dijumlahkan, maka 43.75 + 25 + 31.25 = 100.

Langkah selanjutnya adalah mencari berapa harga seharusnya (price worth) dari setiap merek.  Rumus yang digunakan adalah:

PW=RPR/APR X AP …….. (1)

Di mana, PW=price worth (harga yang layak), RPR=relative performance rating (peringkat kinerja relatif), APR=average performance rating (rata-rata peringkat kinerja), dan AP=average price (rata-rata harga).

PWEdy=39.00/33.33 X (Rp 6750+Rp 6450+Rp 7800)/3=Rp 8190

Catatan: Perhitungan dalam contoh ini dilakukan menggunakan excel yang menggunakan 12 angka di belakang koma. Apabila dihitung menggunakan kalkulator dengan dua angka di belakang koma, hasilnya bisa beda tipis.

Dengan cara yang sama diperoleh bahwa harga seharusnya (price worth) martabak Rossy adalah Rp 6563, dan martabak Budi adalah Rp 6282.  Anda bisa coba mencarinya dengan menggunakan tabel terlampir pada link di atas.  Apabila melakukan perhitungan dengan benar, anda akan menemukan angka yang sama. Apabila belum berhasil, perhitungan diulang kembali.

Nilai konsumen (PV) diperoleh dengan membandingkan harga seharusnya dengan harga yang berlaku.  Untuk martabak Edy, PV=8190–6750=Rp 1440. Martabak Rossy: PV=6563–6450=Rp 79.  Martabak Budi: PV=6282–7800= –Rp 1519. Terlihat bahwa martabak Edy memiliki nilai konsumen paling tinggi. Dengan demikian, keunggulan bersaingnya juga paling tinggi.

Menghitung Nilai Relatif

Satu lagi metoda untuk mengetahui suatu produk termasuk fair, mahal atau murah adalah melalui nilai relatif. Metoda ini diberikan oleh Cleland dan Bruno (1996). Nilai yang diperoleh dari metoda ini bukan nilai nominal, seperti pada hitungan perceived value di atas, melainkan nilai relatif. Artinya, melalui metoda ini informasi yang diperoleh adalah berapa persen suatu produk lebih murah atau lebih mahal dari harga fair.

Untuk keperluan ini, kembali kita gunakan data pada Tabel 1 di atas. Namun, kali ini data tersebut kita jadikan sebagai nilai relatif, seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Yang juga dimasukkan dalam Tabel 3 adalah nilai relatif harga.  Pertanyaannya adalah bagaimana memperoleh nilai-nilai tersebut?

Bobot dicari dengan cara, pertama jumlahkan semua angka tingkat kepentingan dan hasilnya adalah 26. Selanjutnya, bagilah tingkat kepentingan masing-masing atribut dengan angka itu. Sebagai contoh, tingkat kepentingan atribut aroma adalah 7. Dengan demikian bobotnya adalah 7/26=0.27.

Harga relatif dan kinerja relatif juga dicari dengan cara yang sama, namun penjumlahan dilakukan per atribut. Sebagai contoh, pada Tabel 1, kinerja atribut rasa adalah: martabak Edy 6, martabak Rossy 5 dan martabak Budi 4 dan rata-ratanya adalah 5. Dengan demikian, kinerja relatif ’rasa’ martabak Edy adalah 6/5=1.20, martabak Rossi: 5/5=1.00 dan martabak Budi: 4/5=0.80. Dengan cara demikianlah harga relatif dan kinerja atribut-atribut lainnya diperoleh. Silakan coba sendiri.

Tabel 3. Tabel Harga, Tingkat Kepentingan dan Kinerja Relatif

ATRIBUTBOBOTPERFORMANCE RATING
Martabak EdyMartabak RossyMartabak Budi
Harga0.960.921.11
Warna0.271.001.001.00
Aroma0.271.310.750.94
Rasa0.271.201.000.80
Ukuran0.191.171.000.83
PQ RELATIF1.170.930.90

Sumber: Tabel 1

Persepsi kualitas relatif diperoleh dengan menjumlahkan hasil perkalian antara bobot dengan kinerja relatif pada setiap atribut. Notasi matematikanya adalah:

Di mana Wi = bobot atribut ke-i, Rpi= kinerja relatif atribut ke i, i=1, 2, .. n.

Dengan rumus (2), maka untuk martabak Edy, persepsi kualitas relatif atau PQ relatif adalah:  0.27 X 1.00 + 0.27 X 1.31 + 0.27 X 1.20 + 0.19 X 1.17 = 1.17. Dengan cara yang sama diperoleh PQ relatif untuk martabak Rossy dan martabak Budi (Tabel 4).

Tabel 4. Penentuan Koordinat Setiap Usaha

Merek atau PerusahaanAbsisOrdinatKoordinat
PQ rel.Rata-rata PQSkorHarga rel.Rata-rata harga relatifSkor
(1)(2)(1)-(2)(3)(4)(3)-(4)
Martabak Edy1.171.000.170.961.00-0.04(0.17, -0.04)
Martabak Rossy0.931.00-0.070.921.00-0.08(-0.07, -0.08)
Martabak Budi0.901.00-0.101.111.000.11(-0.10, 0.11)

Sumber: Diolah dari Tabel 3

Sekarang kita mau memetakan ketiga perusahaan kecil martabak di atas ke dalam diagram kartesius. Namun, kita memerlukan koordinat (x,y) agar dapat menempatkan sesuatu ke dalam diagram kartesius.    Untuk keperluan ini harga relatif dijadikan sebagai sumbu Y (absis) dan PQ relatif dijadikan sebagai sumbu X (ordinat). Penentuan koordinat ditunjukkan pada Tabel 4.  Berdasarkan koordinat tersebut kita bisa memetakan ketiga usaha kecil tersebut ke dalam diagram kartesius.

Setelah pemetaaan dilakukan, apakah nilai relatif sudah bisa dihitung? Jawabannya: belum. Kita membutuhkan satu informasi lagi, yakni: bagaimana perbandingan aspek harga dan kualitas produk dalam pengambilan keputusan? Untuk keperluan pembelajaran, kita umpamakan perbandingan tersebut 60 : 40. Jadi harga lebih berpengaruh dibanding kualitas produk.  Rumus matematika perbandingan tersebut adalah: Y : X = 60: 40 —> 40Y=60X —> Y=1.5X.

Persamaan Y=1.5X dapat kita gambar ke dalam diagram. Menurut kaidah-kaidah matematika, posisinya seperti pada Gambar 1. Kita menamakan garis itu ’kurva keinginan pasar’.

Apabila berada pada garis tersebut berarti sebuah produk atau merek telah berhasil menyeimbangkan persepsi kualitas dengan harga. Kalau berada di sebelah kanan atau di bawah kurva, sebuah merek atau produk memberikan nilai positif. Sebaliknya, pada area di sebelah kiri, nilai sebuah produk atau merek adalah negatif.  Pada Gambar 1 terlihat bahwa martabak Edy memiliki nilai relatif positif, sedangkan dua martabak lainnya memiliki nilai relatif negatif.

Pertanyaannya, berapa nilai relatif setiap merek? Nilai relatif digambarkan sebagai jarak tegak lurus antara posisi setiap merek dengan kurva keinginan pasar. Secara matematis, untuk menghitung jarak geometri sebuah titik dengan garis lurus.  Rumus (3) dapat digunakan menjawab pertanyaan ini.

Di mana, DP=jarak tegak lurus yang dicari, X=ordinat titik, dan Y = absis titik A, B, dan C adalah koefisien garis lurus (dalam hal ini kurva keinginan pasar). Begini cara mencarinya A, B, dan C dari persamaan kurva keinginan pasar Y=1.5X.


Jadi, A=1, B=-1.5 dan C=0. Sekarang, kita cari nilai relatif martabak Edy yang memiliki koordinat (0.17, -0.04) atau X = 0.17 dan Y= -0.04.  Dengan rumus (6) dihitung:


Dengan cara yang sama, kita akan temukan angka untuk  martabak Rossy=0.03 dan martabak Budi=0.15.  Kedua angka tersebut adalah positif. Namun, karena kedua merek berada di sebelah kiri atau pada area nilai negatif, maka nilai relatif  martabak  Rossy = -0.03 dan martabak Budi = -0.15.

Untuk pembelajaran, silakan lakukan perhitungan nilai relatif untuk martabak Rossy dan martabak Budi dengan rumus (3) sampai ditemukan angka-angka tersebut. Petunjuk: Gunakan rumus (3) dan ikuti contoh perhitungan di atas, yang disajikan untuk martabak Edy. Apabila nilai relatif adalah -0.03 untuk martabak Rossy dan -0.15 untuk martabak Budi, perhitungan anda sudah benar. Kalau belum mendapat angka demikian, silakan diulang kembali.


REFERENSI

Cleland, A. S., & Bruno, A.V. (1996). The Market Value Process: Bridging Customer & Shareholder Value. San Francisco, Jossey-Bass Publishers.

Hirarki Nilai

Menurut beberapa ahli, antara lain Woodruff (1977), Bagozzi dan Dholakia (1999), nilai  produk berkaitan satu sama lain. Sebuah nilai dapat menyebabkan nilai yang lain, juga dapat menjadi konsekuensi nilai lainnya. Karena itu, nilai-nilai suatu produk dapat disusun secara berjenjang.  Woodruff (1997) menyatakan bahwa hierarki tersebut pada dasarnya tersusun atas tiga jenjang, yaitu: atribut  —> konsekuensi —> nilai akhir.

Pada masing-masing jenjang terdapat nilai yang lebih spesifik. Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian, sebuah minuman yang mengandung cola memiliki nilai-nilai atribut sebagai berikut: berkarbonasi, dingin, manis, aroma, warna, harga, ukuran, dan ukuran. Konsekuensi dari keberadaan atribut adalah: segar, mengigit, enak, memberikan tenaga, menarik, bervariasi, terjangkau, mahal-murah, bersama, mubazir, semangat, ceria, meringankan beban, tanggung jawab, berkarya, prestasi, kewajiban. Sedangkan nilai akhir dari semuanya itu adalah: bahagia dan bangga.

Tunggu dulu, dari mana nilai-nilai spesifik tersebut muncul?  Penggunaan pendekatan ini, yang disebut juga means-end theory, memerlukan wawancara mendalam (deep interviews) untuk menggali nilai.         Dalam wawancara mendalam ini peneliti perlu melihat keterkaitan antar nilai. Misalnya, kepada orang-orang yang puas terhadap layanan sebuah hotel ditanyakan:

Tanya: “Kenapa anda puas terhadap hotel ini?”

Jawab: ”Karena layanan hotelnya baik”.

Tanya: “Bisa diperinci layanan hotel yang baik dimaksud”, pertanyaan dilanjutkan kembali.

Jawab: “Layanan hotel yang baik itu, maksudnya, para pelayan bersikap baik  dan ruangan bersih”.

Tanya: “Pelayanan yang baik dari para personil memberikan manfaat apa bagi anda”.

Jawab: ”Dengan pelayanan yang baik dari para personil saya merasa diperhatikan dan saya menyenangi hal itu.”

Tanya: ”Dengan kebersihan ruangan dan fasilitas, segala sesuatunya menjadi sedap dipandang lainnya saya merasa tenang dan rasa tenang tersebut memberikan kesenangan tersendiri bagi saya.”

Dari contoh wawancara ini kita bisa menghasilkan dua jalur yang menunjukkan hirarki nilai, seperti diperlihatkan pada Gambar 1.

Pada Gambar 1 di atas terdapat lima hubungan langsung yang ditandai oleh ’tanda panah’ penghubung dan satu hubungan tidak langsung yang ditandai oleh panah putus-putus. Implikasinya, dari seorang responden, dapat diperoleh sejumlah hubungan langsung dan tidak langsung.

Dalam penelitian Orsingher dan Marzocchi (2003), yang dilakukan terhadap 79 responden, ditemukan 790 hubungan langsung dan 393 hubungan tidak langsung. Pada Gambar 1, yang berasal dari seorang responden, teridentifikasi enam faktor yang mempengaruhi kepuasan, yaitu pelayanan personil yang baik, perasaan diperhatikan, kebersihan ruangan, kesedapan ruangan dipandang, rasa tenang dan perasaan senang. Semakin banyak jumlah responden, semakin banyak pula faktor yang dapat diidentifikasi. Pada penelitian Orsinger dan Marzocchi yang telah disebutkan, teridentifikasi 20 faktor yang menentukan kepuasan terhadap hotel.  Mungkin muncul pertanyaan: dari seorang responden saja terinditifikasi enam faktor, kenapa dari 79 responden hanya terindentifikasi 20 faktor? Bukankah seharusnya 79 X 6 = 474 faktor? Jawabnya, dalam penelitian demikian, terdapat banyak kesamaan antar responden, sehingga jumlah faktor yang teridentifikasi tidak bertambah sebanding dengan pertambahan jumlah respoden.  Sebagai contoh, responden kedua memberikan hasil sama seperti pada Gambar 1.10, sehingga dengan dua responden, tetap saja yang teridentifikasi hanya enam faktor.

Kembali pada penelitian Orsingher dan Marzocchi (2003).  Hasil penelitian mereka disajikan pada Tabel 1. Tabel ini berisikan hubungan antar faktor atau alasan (reasons) kepuasan. Perhatikan alasan pertama (no.1): “Keramahan dan profesionalisme staf”.  Sel yang dibentuk alas an ini dengan kolom 1 di bawah “reasons” kosong atau diberi tanda ‘-‘.  Ini menandakan bahwa sebuah alasan tidak berhubungan dengan dirinya sendiri. Kemudian, dengan nomor 14 (di bawah kolom ‘reasons’), alasan ini membentuk sel berisikan angka 43. Angka ini menunjukkan bahwa keramahan dan profesionalisme staf menyebabkan timbulnya perasaan santai. Hubungan ini dinyatakan oleh 43 orang. Demikianlah cara menginterpretasi angka pada setiap sel.

Tabel  1. Matrik Implikasi bagi Alasan-alasan Kepuasan terhadap Hotel X

Reasons Out-degreesOD signifikan
1234567891011121314151617181920
No.In degrees00000002525336186148307241465182
1Keramahan dan profesionalisme staf0000000001084322100000844
2Kenyamanan kamar000000000154323200710913
3Kebersihan00000000030104100100371
4Kualitas makanan000000002500027000000522
5Lokasi000000000015200120100662
6Kualitas layanan secara keseluruhan0000002000023240000130
7Garasi00000005000110000200181
8Kenyamanan lobbi000000000000121031910362
9Keamanan000000000000000050050
10Nikmatnya makanan enak00000000000090002212252
11Merasa dihargai00000000001018000904322
12Pentingnya istirahat000000000001400012381562
13Penyelesaian masalah000000000000104502820762
14Merasa santai000000000013220148434952
15Merasa dibutuhkan0000000000000100207101
16Menghemat waktu dan uang000000000000500– 0810141
17Sosialisasi0000000000000000– 10230
18Tidak ada stress, relaksasi00000000000122010222301
19Efisiensi kerja000000000000010001020
20Kesenangan0000000000000000000– 00
In-degress signifikan00000000001136030713
TOTAL790 

Perasaan santai, yang disebut di depan, menyebabkan apa selanjutnya? Perhatikan alasan ke-14 di bawah kolom ‘in degrees’. Ternyata, terlihat pada Tabel 1, atribut ini menyebabkan:

  1. Merasa jadi orang penting (atribut 11, dinyatakan 1 orang).
  2. Pentingnya istirahat (atribut 12, dinyatakan 3 orang).
  3. Penyelesaian masalah (atribut 13, dinyatakan 2 orang).
  4. Merasa dibutuhkan (atribut 15, dinyatakan 2 orang).
  5. Sosialisasi (atribut 17, dinyatakan 1 orang).
  6. Tidak ada stress atau relaksasi (atribut 18, dinyatakan 48 orang).
  7. Efisiensi kerja (atribut 19, dinyatakan 4 orang).
  8. Kesenangan (atribut 20, dinyatakan oleh 34 orang).

Kalau ada delapan nilai lanjutan ‘merasa santai’, kenapa pada Gambar 1 hanya dua panah yang keluar dari atribut ini, satu menuju ‘tidak ada stress ata relaksasi” dan satu lagi menuju ‘kesenangan”? Jawabannya dijelaskan berikut ini.

Hubungan yang diperhitungkan adalah yang memenuhi batas (cut-off point) tertentu. Merujuk pada Orsingher dan Marzocchi (2003), dalam penelitian ini batas yang digunakan adalah tujuh responden dalam setiap sel (lihat Tabel 1). Dengan demikian, sel yang diperhatikan atau sel signifikan adalah yang berisikan angka tujuh atau lebih, seperti ditandai dengan sel berwarna lebih gelap pada Tabel 1.  Hanya dua dari delapan konsekuensi ‘merasa santai’ (atribut 14) yang signifikan, karena itu, hanya dua pula anak panah yang keluar dari atribut ini.

Demikianlah cara memperoleh seluruh hubungan pada Gambar 1. Perlu dicatat bahwa pembuatan gambar tersebut memerlukan kreatifitas. Maksudnya, setiap atribut perlu ditempatkan sedemikian, sehingga jumlah panah yang saling tidak ada atau sesedikit mungkin.  Dengan menyusun hubungan-hubungan berdasarkan sel-sel signifikan tersebut diperoleh hirarki nilai, seperti diperlihatkan pada Gambar 1.

Selain menelusuri hubungan-hubungan signifikan, pembentukan Gambar 2 juga dibantu oleh abstractness, yakni adalah rasio in-deegress (ID) terhadap frekuensi ID ditambah out-degrees (OD). ID sendiri adalah frekuensi yang menyatakan berapa kali suatu faktor atau variable menjadi tujuan, sedangkan OD menyatakan berapa kali suatu faktor menjadi asal.  Contoh, pada Tabel 1, in degress atribut nomor 1 (keramahan dan profesionalisme staf) adalah 0, sedangkan out degress-nya adalah 84. Dengan demikian, ID=0:84=0.00.

Atribut pertama sampai ketujuh sama sekali tidak punya nilai in-degress (Tabel 1), sehingga nilai abstractness otomotis nol (Tabel 1).  Dengan demikian, ketujuh faktor tersebut sama sekali tidak pernah menjadi tujuan atau konsekuensi. Tiga belas atribut lainnya memiliki angka in-degress, yang berkisar antara 2 sampai 148, sehingga berdasarkan abstractness (Tabel 2), pernah dinyatakan sebagai tujuan oleh paling tidak seoran responden.

Faktor pertama sampai ketujuh sama sekali tidak punya nilai in-degress (Tabel 1), sehingga nilai abstractness mereka otomotis nol (Tabel 2).  Dengan demikian, ketujuh faktor tersebut sama sekali tidak pernah menjadi tujuan atau konsekuensi. Tiga belas atribut lainnya memiliki angka in-degress, yang berkisar antara 2 sampai 148, sehingga berdasarkan abstractness (Tabel 2), pernah dinyatakan sebagai tujuan oleh paling tidak seoran responden.

Tabel 2. Keutamaan Setiap Faktor

No.ReasonsAbstractnessPrestigeCentrality
1Keramahan dan profesionalisme staf0.0000.0000.106
2Kenyamanan kamar0.0000.0000.115
3Kebersihan0.0000.0000.047
4Kualitas makanan0.0000.0000.066
5Lokasi0.0000.0000.084
6Kualitas layanan secara keseluruhan0.0000.0000.016
7Garasi0.0000.0000.023
8Kenyamanan lobbi0.0500.0030.048
9Keamanan0.5000.0060.013
10Nikmatnya makanan enak0.5000.0320.063
11Perasaan penting0.5220.0420.082
12Pentingnya istirahat0.5250.0770.148
13Penyelesaian masalah0.5390.1090.205
14Merasa santai0.5970.1870.308
15Merasa dibutuhkan0.6320.0380.051
16Menghemat waktu dan uang0.7640.0910.109
17Sosialisasi0.8130.0050.009
18Tidak ada stress, relaksasi0.8360.1850.213
19Efisiensi kerja0.9620.0650.067
20Kesenangan1.0000.1040.104

Pada kolom out-degrees terlihat bahwa semua atribut berisikan angka, kecuali atribut ke-20 (kesenangan). Dengan demikian, semua atribut pernah menjadi asal atau penyebab bagi atribut (nilai) lainnya.

Menurut kriteria means-end value, ketujuh faktor seharusnya ditempatkan di bagian dasar.  Namun, satu faktor di antaranya, yakni kualitas layanan secara keseluruhan, tidak memiliki tujuan yang berhubungan berisikan sel signifikan.  Kemudian, ujungnya yang paling atas sudah pastilah ‘kesenangan’, sebab faktor ini memiliki abstractness=1,000.  Pada Tabel 1.11 terlihat pula bahwa abstractness faktor 1 sampai faktor 7 bernilai nol. Hasil ini menunjukkan bahwa memang ketujuh faktor tersebut, minus faktor enam (kualitas layanan secara keseluruhan), merupakan atribut, sehingga berada paling dasar pada Gambar 2.

Nilai ID dan OD hanya berbicara bahwa suatu atribut pernah dijadikan sebagai tujuan (kalau ID lebih besar dari 0) atau sebagai asal (kalau nilai OD lebih besar dari 0). Kriteria lainnya yang dibuat penulis adalah ID signifikan dan OD signifikan. Kriteria ini menyatakan berapa kali sebuah atribut dianggap menjadi tujuan signifikan (nilai sel lebih besar atau sama dengan cut-off point) atau asal signifikan (nilai sel lebih besar atau sama dengan cut-off point). Sebagai contoh, pada Tabel 1 terlihat bahwa nilai OD atribut 1 (keramahan dan profesionalisme staf) adalah 84. Angka ini hanya menunjukkan bahwa 84 responden menyatakan atribut 1 menjadi penyebab (asal) atribut lainnya. Namun, berapa atribut yang dipengaruhinya, belum diketahui dan baru diketahui melalui OD signifikan. Cara menginterpretasi in-degrees dan ID signifikan juga demikian.  Nilai OD signifikan dan ID signifikan dapat dipakai untuk memeriksa apakah hirarki nilai yang kita buat (Gambar 2) sudah benar atau belum.

Yang menarik adalah: mana di antara nilai-nilai yang dipaparkan pada Gambar 2 yang paling penting?  Perlu dicatat bahwa dalam hirarki nilai, penting-tidaknya sebuah nilai, didasarkan pada seberapa sering sebuah nilai menjadi asal ataupun tujuan dalam hirarki nilai.  Orsingher dan Marzocchi (2003) memberikan dua ukuran untuk keperluan tersebut, yaitu prestige dan centrality (Tabel 2).  Centrality adalah rasio antara hasil penjumlahan in-degrees dan out-degrees dengan jumlah keseluruhan entri dalam matrik implikasi. Cara menghitungnya begini. Kita ambil satu faktor saja, yaitu ‘tidak ada stress, relaksasi’ (faktor 18). Pada Tabel 1 terlihat bahwa in degrees=146, out-degress=22, dengan demikian total kedua adalah 146+22=168. Jumlah keseluruhan entri=790. Dengan demikian, centrality untuk faktor 18 adalah 168/790=0.213. Dengan cara demikianlah nilai centrality seluruh faktor diperoleh.

Nilai prestige dihitung sebagai rasio antara in-degrees faktor tertentu dengan nilai entri matrik aplikasi. Untuk faktor 18, misalnya, nilai prestige adalah 146/790=0.185.

Pada Tabel 2 terlihat bahwa nilai centrality tertinggi, yaitu 0.308, dimiliki oleh faktor 14, yaitu merasa santai.  Ternyata, nilai prestige tertinggi juga dimiliki faktor tersebut. Oleh karena itu, faktor ini dianggap nilai Hotel X paling penting dan dengan demikian, nilai ini dapat direkomendasikan sebagai selling point Hotel X.

Untuk proposisi nilai yang argumentatif, tentu tiga nilai asal yang terkait, yaitu: kerahaman dan profesionalisme staf, kenyaman kamar dan makanan berkualitas, dapat dijadikan sebagai alasan.  Kemudian, kesenangan (happiness) dapat dijadikan sebagai tujuan akhir ini.  Misalnya, kata-kata iklannya adalah sebagai berikut:

“Nikmati suasana santai di Hotel kami. Staf kami yang ramah dan professional selalu siap melayani anda. Kamar kami menyajikan kenyamanan berkelas. Kami tidak kompromi terhadap kualitas makanan. Semuanya demi kesenangan anda semata.”

Bagaimana kalau nilai centrality dan prestige tidak dimiliki oleh faktor yang sama, akan tetapi oleh faktor yang berbeda. Mana yang dijadikan patokan untuk menentukan nilai paling penting. Orsingher dan Marzocchi (2003) tidak memberikan arahan pada masalah demikian. Namun, karena centrality memperhatikan nilai in-degrees dan out-degrees sekaligus, maka kriteria ini dianggap lebih relevan, sehingga dalam menghadapi masalah demikian, dapat dijadikan sebagai patokan.

Menghitung Perceived Value

Praktek bisnis pada akhirnya akan bermuara pada produk yang dihasilkannya. Dengan kata lain, sebuah perusahaan yang unggul pada satu praktek bisnis, seperti bahan baku yang berkualitas, jaringan bengkel yang luas dan rapi, ataupun proses produksi yang efisien, harus tercermin pada nilai  konsumen (perceived value, disingkat PV).  Nilai tersebut dapat dinyatakan atribut per atribut, dapat pula … read more


REFERENSI

Bagozzi, R.P. & Dholakia, U. (1999). Goal setting and goal striving in consumer behavior. Journal of Marketing, 63, 19-32. https://psycnet.apa.org/doi/10.2307/1252098

Orsingher, C. & Marzocchi, G.L. (2003). Hierarchical representation of satisfactory consumer service experience.  International Journal of Service Industry Management, 14(2), 200 – 216

Woodruff, R. (1997).  Customer value: The next source for competitive advantage. Journal of the Academy of Marketing Science, 25 (2), 139–153

Value Map

Value Map


Catatan: Apabila mau dipakai sebagai pembelajaran, data Excel halaman ini dapat di-download melalui link Latihan Value Map


Value map yang diperkenalkan Gale tahun 1994, merupakan alat untuk menganalisis apakah sebuah produk atau perusahaan telah memberikan nilai superior kepada para pelanggannya. Caranya dengan membandingkan market perceived quality (MPQ) dengan market perceived price (MPP) dalam peta dua dimensi.

MPQ merupakan penjumlahan hasil perkalian antara skor kinerja dan skor tingkat kepentingan pada setiap atribut kualitas, seperti kehandalan (reliability), tingkat lama dipakai (durability), tingkat keamanan (safety) dan lain-lain. MPP dihitung dengan cara yang sama, hanya saja MPP didasarkan pada atribut-atribut harga, seperti harga beli, harga jual kembali, diskon, tingkat suku bunga, dan lain-lain. Contoh dapat dilihat pada ulasan tentang P-I matrik yang digerakkan nilai (value-driven P-I matrix) berikut ini.

Value-Driven P-I Matrix

Pendekatan ini ditemukan pada Setijono dan Dahlgaard (2007) dan merupakan pengembangan dari P-I matrix gagasan Martilla dan James (1977). Dalam pendekata ini tingkat kepentingan (importance) dianggap sebagai perwakilan harapan (expectation).  Oleh karena itu, perbandingan antara kinerja dan tingkat kepentingan, berdasarkan teori diskonfirmasi (Oliver, 1993; 1999), mencerminkan kepuasan konsumen.

Sebagai sebuah perbandingan, selalu ada tiga kemungkinan hasil perbandingan ’kinerja’ dengan ’harapan’.  Pertama, kinerja melebihi harapan. Inilah keadaan yang menghasilkan keadaan sangat puas (delighted) (Oliver, 1993; 1999).  Pada Gambar  1 keadaan ini tergambarkan dalam delighment area. Kemungkinan kedua adalah ’kinerja’ sama dengan ’harapan’, yang menghasilkan kepuasan. Keadaan ini digambarkan dalam satisfaction interval. Kemungkinan ketiga adalah kinerja lebih kecil dari harapan atau kinerja tidak memenuhi harapan yang berada pada yakni dissatisfaction area.


Sebagai ilustrasi, bayangkanlah ada dua produk yang bersaing pada segmen yang sama, yaitu produk A dan produk B.  Hasil penelitian tentang kinerja dan tingkat kepentingan atribut-atribut kedua produk disajikan pada Tabel 1.  Pada tabel ini disajikan skor atribut-atribut kinerja dan biaya. Sebelum melangkah lebih jauh, perlu diketahui adalah bahwa skor tinggi pada atribut-atribut biaya menunjukkan kenyamanan konsumen yang tinggi pada atribut-atribut tersebut. Misalnya, skor yang tinggi pada diskon menunjukkan bahwa diskon adanya yang tinggi, sedangkan pada harga, semakin tinggi skor menunjukkan harga yang semakin rendah.


Setelah memperoleh data yang ditampilkan pada Tabel 1, tahap berikutnya adalah menganalisis bobot (weight) kualitas dan biaya (cost) masing-masing atribut. Caranya adalah dengan menjumlahkan tingkat kepentingan atribut  konsumen produk A dan konsumen produk B atau ’importance A + importance B’. Dari hasil penjumlahan tersebut, dicari bobot sedemikian, sehingga total bobot adalah 1.0 (Tabel 2).

Untuk mencari bobot total 1.0, apabila setiap atribut produk diukur menggunakan skala yang sama, maka perhitungan bobot bisa dilakukan dengan langsung menjumlahkan skor semua atribut. Misalnya, jumlah importance A adalah: 4.15 + 5.67 + … + 4.34 = 46.58. Kemudian, kita cari bobot kepentingan atribut dengan membagikan skor dengan skor total. Sebagai contoh, bobot Q1 produk A adalah: 4.15/46.58=0.09. Dengan cara itulah bobot importance semua atribut produk A dan produk B diperoleh (Tabel 2).

Bobot komponen biaya produk A dan produk B juga diperoleh dengan cara yang sama. Pertama-tama, skor importance dijumlahkan. Kemudian, dicari bobot dengan membagi importance setiap komponen biaya dan importance total. Untuk produk A, bobot C1 adalah: 3.37/20.93=0.16. Dengan cara demikianlah bobot komponen biaya produk A dan produk B diperoleh.

Selanjutnya, dicari hasil penjumlahan ’importance A + importance B’ untuk atribut quality dan komponen cost. Untuk atribut Q1, misalnya, perhitungannya adalah 0.09+0.07=0.16. Setelah dilakukan perhitungan untuk semua atribut, dicarilah totalnya: 0.16+0.25 + … + 0.18=2.00.  Bobot artibut diperoleh dengan membagi skor setiap atribut dengan skor total dimaksud. Untuk Q1, bobotnya adalah 0.16/2.00=0.08. Cara yang sama dilakukan untuk komponen cost. Hasilnya disajikan pada Tabel 2.


Kemudian dengan cara yang sama, diperoleh juga rating performance (R) produk A dan Produk B yang disajikan pada Tabel 3.  Misalnya, untuk Q1 RA adalah: 3.08 / 3.47 = 0.89. Sebaliknya, RB untuk Q1 adalah 3.47/3.08=1.13. Dengan cara demikianlah performance relatif pada Tabel 3 diperoleh.

Langkah berikutnya adalah menghitung customer cognitive judgment on quality (CCJQ) dan customer cognitive judgment on cost (CCJC) setiap produk.

Perhitungan CCJQ dan CCJC untuk produk A ditampilkan pada Tabel 4. Kolom weight (W) diambil dari Tabel 2.  Kolom RA adalah hasil perbandingan kinerja produk A terhadap kinerja produk B, yang datanya ada pada Tabel 3.  CCJQ dan CCJC adalah penjumlahan hasil perkalian antara W dan R. Perhitungan untuk produk A ditunjukkan pada Tabel 4.  Tabel 5 adalah untuk produk B.

Dengan menjadikan skor-skor CCJQ dan CCJC sebagai absis dan ordinat atau x dan y, diperoleh titik koordinat pada setiap produk, seperti ditampilkan pada Gambar 2.  Segera tampak bahwa posisi kedua produk yang berbeda.  Produk A berada di sebelah kiri dan produk B berada di sebelah kanan garis ”fairnes”.  Dalam posisi demikian, produk B memberikan nilai pelanggan (customer value) lebih tinggi dibanding produk A.

Gambar 2. Pemosisian Produk A dan Produk B berdasarkan CCJQ dan CCJC

Kalau memang nilai pelanggan produk A lebih rendah dari nilai pelanggan produk B, pertanyaannya adalah atribut-atribut dari produk A yang perlu dibenahi?  Karena dalam pendekatan ini nilai adalah hasil perbandingan antara kinerja dan biaya, maka cara untuk meningkatkannya adalah dengan meningkatkan kinerja dan atau menurunkan biaya.

Pertama-tama kita bahas dulu cara meningkatkan kinerja. Yang menjadi pertanyaan adalah kinerja atribut mana yang perlu ditingkatkan? Jawabannya adalah kinerja atribut yang belum memenuhi harapan. Untuk itu, merujuk pada Setijono dan Dahlgaard (2007), kita cari terlebih dahulu selisih antara kinerja (performance) dan tingkat kepentingan (importance). Harap dicatat bahwa tingkat kepentingan di sini dipakai sebagai pengganti harapan (expectation), sesuai petunjuk kedua penulis. Rumus yang dipakai adalah:

Di mana, Dj = Perbedaan skor kinerja dan tingkat kepentingan pada atribut j, Pj= Rata-rata skor kinerja atau kualitas atribut j, Ij= Rata-rata tingkat kepentingan kinerja atau kualitas atribut j, Pi= Skor kinerja atribut produk tertentu yang diberikan pelanggan i, Ii= Skor tingkat kepentingan atribut produk tertentu menurut pelanggan i dan n= Jumlah keseluruhan konsumen.

Pembuatan peta pengendalian didasarkan pada asumsi bahwa untuk memperoleh nilai penggunaan (value in use), maka kinerja musti sama dengan harapan atau Dj=Pj-Ii=O. Tentu saja kinerja dan tingkat kepentingan tidak harus sama persis, berbeda sedikit boleh juga, asalkan perbedaan tersebut tidak melebihi batas tertentu. Pertanyaannya, mana batas tertentu dimaksud?

Setijono dan Dahlgaar (2007) menyatakan bahwa pembatas zona kepuasan dimaksud dapat diketahui melalui σ, yang dihitung melalui s, dengan cara:

Perhitungan Dj sampai s dilakukan pada Tabel 6.

Dari perhitungan tersebut dihasilkan bahwa s = 0.109. Dengan angka ini, merujuk pada Setijono dan Dahlgaard (2007),  pembatas zona kepuasan (zone of satisfaction, disingkat ZOS) adalah:

ZOS = 3 X σ dan – ZOS = 3 X (-σ) ……………………………………………………………….. (4)

Dengan menggunakan rumus (2) dan (3), diperoleh bahwa σ, yang diwakili oleh s=0.109.  Dengan demikian, ZOS=3 X 0.109 = 0. 326 dan –ZOS=-0.326. Kedua angka ini kemudian kita pakai untuk sebagai batas zona kepuasan untuk mengambil kesimpulan pada setiap atribut berdasarkan nilai Dj dan batas zona kepuasan.

Cara membacanya seperti berikut ini. Di atas batas atas (ZOS=0.3263)  termasuk zona sangat memuaskan atau deligtment. Pada selang ZOS=-0.326 sampai  ZOS=0.3263 termasuk memuaskan. Di bawah ZOS=-0.3263 adalah zona tidak memuaskan (dissatisfaction).  Atribut Q1 memiliki D=-1.07. Karena negatif, maka kita harus menggunakan batas bawah -0.3263 sebagai perbandingan untuk atribut ini. Karena -1.07 lebih rendah dari -0.3263, maka Q1 berada pada zona dissatisfaction. Untuk Q3 nilai D=0.59, yang berada di atas 0.3263. Karena itu, kepuasan terhadap Q3 termasuk delightment. Yang masuk zona satisfaction adalah Q8. Demikianlah cara mengambil kesimpulan untuk semua atribut pada Tabel 7. Atribut-atribut yang berada pada zona ini  perlu dibenahi, yaitu adalah Q1, Q2, Q4 dan Q7.

Tabel 7. Kepuasan terhadap Atribut-atribut Produk A berdasarkan Zona Kepuasan

Tabel 6 memperlihatkan kesimpulan atas setiap atribut berdasarkan nilai Dj dan batas zona kepuasan. Di atas batas atas (ZOS=0.3263)  termasuk zona sangat memuaskan atau deligtment. Pada selang ZOS=-0.326 sampai  ZOS=0.3263 termasuk memuaskan. Di bawah ZOS=-0.3263 adalah zona tidak memuaskan (dissatisfaction).  Atribut-atribut yang berada pada zona ini  perlu dibenahi, yaitu adalah Q1, Q2, Q4 dan Q7.

Dengan cara yang sama dapat kita lakukan manajemen atribut berdasarkan kepuasan terhadap produk B (Tabel 8). Dengan rumus (4) diperoleh ZOS=0.1055 dan –ZOS= -0.1055. Penghitungan ZOS (zone of satisfaction) tidak diperlihatkan di sini. Silakan dicoba sendiri untuk pembelajaran.

Tabel 8. Kepuasan terhadap Atribut-atribut Produk B berdasarkan Zona Kepuasan

Terlihat pada Tabel 8 bahwa atribut yang dissatisfied adalah Q2 dan Q7. Kedua atribut tersebut perlu dibenahi.

Hirarki Nilai

Menurut beberapa ahli, antara lain Woodruff (1977), Bagozzi dan Dholakia (1999), nilai  produk berkaitan satu sama lain. Sebuah nilai dapat menyebabkan nilai yang lain, juga dapat menjadi konsekuensi nilai lainnya. Karena itu, nilai-nilai suatu produk dapat disusun secara berjenjang.  Woodruff (1997) menyatakan bahwa hierarki tersebut … read more

Referensi

Bagozzi, R.P. & Dholakia, U. (1999). Goal setting and goal Striving in consumer behavior. Journal of Marketing, 63, 19-32.

Gale, B.T. (1994). Managing Customer Value: Creating Quality and Service That Customers Can See. The Free Press, New York.

Oliver, R.L. (1993). Cognitive, Affective, and Attribute Bases of the Satisfaction Response. The Journal of Consumer Research, Vol. 20, No. 3 , Dec.,  pg. 418-430.

Oliver, R.L. (1999). Whence consumer loyalty?. Journal of Marketing, 63, 33-44.

Setijono, D. & Dahlgaard, J.J. (2007). Customer value as a Key Performance Indikator (KPI) and A Key Improvement Indicator (KII). Measuring Business Excellence, 11(2), 44-61. https://doi.org/10.1108/13683040710752733.

Woodruff, R. (1997).  Customer value: The next source for competitive advantage. Journal of the Academy of Marketing Science, 25 (2), 139–153.

Konsep Nilai dalam Pemasaran

Semua keputusan pemasaran harus dimaksudkan untuk menciptakan superior customer value. Seperti dikatakan Wenstein (2018):

“Superior Customer Value is a state-of-the-art guide to designing, implementing, and evaluating a customer value strategy in service, technology, and information-based organizations.”

Pertanyaannya, apa itu customer value? Kita akan temukan beragam pengertian. Bahkan, istilah yang digunakan juga beragam.  Selain value, ada juga customer value, customer-delivered value, dan perceived value. Namun, apapun definisi dan istilah yang digunakan, semua mengarah pada dua poin. Pertama,  bertujuan memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi konsumen. Kedua, konsumen menjatuhkan pilihan pada alternatif yang memberikan nilai terbaik (superior customer value) bagi dirinya.

Nilai (value) adalah konsep yang sangat populer dalam berbagai bidang ilmu. Dalam bidang ekonomi nilai dikenal sebagai utilitas (utility), yakni kegunaan produk bagi konsumen. Dalam pemasaran nilai dianggap sebagai alasan konsumen membeli produk (reasons to buy).

Perhatian terhadap nilai akhir-akhir ini semakin besar dalam pemasaran. Nilai  dianggap menjadi sumber utama keunggulan bersaing saat ini, bahkan menjadi kunci sukses  perusahaan untuk bertahan dalam jangka panjang (Khalifa, 2004; Kotler dan Keller, 2012). Perusahaan-perusahaan global saat ini, yang sudah berusia puluhan sampai ratusan tahun, seperti Nestle, Unilever, Coca Cola, Toyota dan lain-lain, dapat menjadi besar dan mampu bertahan dalam waktu yang demikian lama, adalah karena memberikan nilai bagi para pelanggannya.  Sebaliknya, merek-merek yang sebelumnya berjaya lalu hilang dari peredaran dapat dipercaya tidak memberikan nilai  yang tepat. Atau, sekalipun memberikan nilai, tetapi nilai tersebut lebih kecil dari nilai yang diberikan oleh pesaing.

Perusahaan-perusahaan bukan berbasis pemasaran pun semakin menyadari bahwa kunci keberhasilan mereka adalah memberikan nilai bagi pelanggan.Bahkan Microsoft, sebuah perusahaan pembuat perangkat lunak, percaya bahwa alasan konsumen membeli produknya adalah nilai (customer value).

Pasar bukanlah ruang hampa.  Selain oleh perusahaan kita, nilai juga diberikan oleh perusahaan-perusahaan lainnya (Seggie et al., 2007). Sering kali persaingan memperebutkan pelanggan sangat tinggi, seperti digambarkan D’Aveni (1997) sebagai hypercompetition. Artinya, dalam persaingan demikian, perlombaan memberikan nilai paling menarik juga sangat tinggi.

Pada dasarnya persaingan adalah perlombaan memperebutkan pilihan  konsumen.  Karena pilihan konsumen didasarkan pada nilai (Kotler dan Keller, 2016), maka persaingan dapat juga diterjemahkan sebagai perlombaan memberikan nilai. Oleh karena itu, nilai menjadi kunci keberhasilan pemasaran dan pemasaran strategik harus didasarkan pada nilai.

Pengertian Nilai Pelanggan

Konsep nilai semakin banyak digunakan saat ini. Defisini pemasaran juga menyangkut nilai. Definisi pemasaran American Marketing Association (AMA) yang dipertegas American Marketing Association (AMA) tahun 2017 menyatakan:

Marketing is the activity, set of institutions, and processes for creating, communicating, delivering, and exchanging offerings that have value for customers, clients, partners, and society at large.

Dengan terjemahan bebas, definisi tersebut menyatakan bahwa pemasaran adalah kegiatan, seperangkat institusi, dan proses untuk menciptakan, mengomunikasikan, mengantarkan, dan mempertukarkan tawaran yang memiliki nilai bagi pelanggan, klien, mitra dan masyarakat secara luas. Tujuan pemasaran adalah menciptakan, mengantarkan dan mempertukarkan nilai dengan konsumen.

Dari definisi di atas terlihat peran penting ‘nilai’ dalam pemasaran. Permasalahannya adalah: Apa itu nilai? Banyak istilah tentang nilai dalam pemasaran. Sebagian ahli (e.g., Day, 2002; Vargo & Lusch, 2004; 2008) menggunakan istilah  ‘nilai’, sebagian menggunakan istilah customer value (Lam et al., 2004; Khalifa, 2004), value for the customer (Woodall, 2003), customer perceived value (Eggert dan Ulaga, 2002), consumer value (Sánchez-Fernández & Iniesta-Bonillo, 2006).  Pada Tabel 1 dipaparkan istilah-istilah terkait nilai dan definisinya.  Pada tabel tersebut terlihat berbagai istilah tentang nilai dengan pengertian yang berbeda-beda pula.

Menurut Scanchez-Fernandea dan Iniesta-Bonillo (2006), konsep nilai pelanggan yang berbeda-beda tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu:

  1. Nilai sebagai harga rendah (value as low price).
  2. Nilai sebagai apa saja yang diinginkan konsumen pada produk (value as whatever the consumer wants in a product).
  3. Nilai sebagai kualitas yang diperoleh konsumen sebagai imbalan atas harga yang dibayarkan (value as the quality the consumer gets for the price she/he pays).
  4. Nilai sebagai apa yang diperoleh konsumen untuk apa yang telah mereka berikan (value as what the consumer gets for what he/she gives).

Pada umumnya, para ahli menerima ada dua dimensi terkait nilai, yaitu apa yang diperoleh konsumen (GET) dan apa yang dikorbankan konsumen (GIVE). Kategori pertama yang mengasosiasikan nilai sebagai harga rendah tententunya fokus pada GIVE. Kategori kedua yang menganggap nilai sebagai ”apa saja yang diinginkan konsumen pada produk (value as whatever the consumer wants in a product)”  fokus pada GET. Kategori ketiga yang menganggap nilai sebagai ”kualitas yang diperoleh konsumen sebagai imbalan atas harga yang dibayarkan (value as the quality the consumer gets for the price she/he pays)”, fokus pada perbandingan antara GET dan GIVE.  Kategori keempat, yang menganggap nilai sebagai ”apa saja yang diperoleh konsumen untuk apa yang telah mereka berikan (value as what the consumer gets for what he/she gives)”,  juga membandingkan GET versus GIVE, namun lebih lengkap dari kategori ketiga.

Tabel 1. Berbagai Definisi tentang Nilai Pelanggan

PENULISDEFINISI
Holbrook dan Corfman (1985); Holbrook (1994, 1995:5)Nilai (value) adalah pengalaman preferensi relatifistik dan interaktif (value as an interactive relativistic preference experience)
Zeithalm (1988:14)Perceived value adalah penilaian konsumen secara keseluruhan terhadap utilitas suatu produk berdasarkan apa yang diterima dan apa yang diberikan
Lichtenstein, Netemeyer dan Burton (1990: 54)“Kami mendefenisikan nilai (value) sebagai rasio antara kualitas terhadap harga”
Monroe (1990: 51)Persepsi pembeli tentang nilai mewakili keseimbangan antara kualitas atau persepsi manfaat produk dibandingkan dengan persepsi pengorbanan
Dodds et al. (1991: 308)Persepsi nilai (perceptions of value) dihasilkan oleh keseimbangan kognitif antara persepsi kualitas dan persepsi pengorbanan
Liljander dan Strandvik (1993)Perceived value sama dengan persepsi manfaat dibagi persepsi harga
Gale (1994)Customer value adalah persepsi kualitas menurut pasar (market-perceived quality) yang di-adjust terhadap harga relatif produk anda
Rust dan Oliver (1994)Value adalah kombinasi antara apa yang diterima dan apa yang dikorbankan
Hunt dan Morgan (1995)Value berkaitan dengan total semua manfaat yang dipersepsikan konsumen akan diperoleh apabila mereka menerima tawaran pasar
Butz dan Goodstein (1996)Customer value adalah ikatan emosional yang dibentuk antara pelanggan dan produsen setelah pelanggan menggunakan produk atau layanan yang diberikan pemasok dan menganggap bahwa produk memberikan nilai tambah
Fornell, Johnson, Anderson, Cha dan Bryant (1996)Perceived value adalah persepsi tingkat kualitas relatif terhadap harga yang diberikan
Woodruff (1997)Customer value adalah preferensi dan evaluasi konsumen terhadap atribut-atribut produk, kinerja atribut, dan konsekuensi yang muncul dari penggunaan yang mem-fasilitasi (atau menghalangi) pencapaian tujuan dan maksud konsumen dalam situasi penggunaan.
Sinha dan DeSarbo (1998)Value adalah kualitas yang terjangkau (dapat dibeli) oleh konsumen
Sirohi, McLaughlin dan Wittink (1998)Nilai adalah apa yang anda peroleh untuk apa yang anda bayarkan
Oliver (1999)Value adalah fungsi positif dari apa yang diterima dan fungsi negatif dari apa yang dikorbankan
(Bersambung)

 

Tabel 1 (Sambungan)
PENULISDEFINISI
Lapierre (2000)Customer-perceived value adalah perbedaan antara manfaat dan pengorbanan (yaitu biaya total berupa biaya moneter dan biaya non-moneter) menurut persepsi konsumen, dikaitkan dengan harapan mereka, yaitu kebutuhan dan keinginan
McDougall dan Levesque (2000)Perceived value adalah hasil atau manfaat yang diterima konsumen dalam hubungan dengan biaya total (yang meliputi harga yang dibayar ditambah biaya-biaya lain terkait pembelian). Dalam istilah sederhana, nilai adalah perbedaan antara persepsi manfaat dan persepsi biaya
Oliva (2000)Customer value adalah harga hipotetis bagi tawaran pemasok (supplier’s offering), pada mana konsumen tertentu berada pada situasi kembali modal (break-even), relatif terhadap alternatif terbaik yang tersedia bagi konsumen untuk melakukan fungsi yang sama
Slater dan Narver (2000)Customer value tercipta pada saat manfaat bagi pelanggan terkait produk atau layanan melebihi biaya yang dikeluarkan konsumen
Kothandaraman dan Wilson (2001)Nilai adalah relasi antara tawaran pasar dan harga sebuah perusahaan, yang dibandingkan oleh konsumen terhadap tawaran pasar dan harga dari pesaing
Van der Haar et al. (2001)Konsep customer value memperhingkan (assessess) nilai yang ditawarkan suatu produk pada pelanggan, dengan memperhitungkan seluruh fitur nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible)
Walter, Ritter dan Gemunden (2001)Value adalah persepsi keseimbangan (perceived trade-off) antara berbagai manfaat dan pengorbanan, yang diperoleh melalui relasi pelanggan dengan pengambil keputusan kunci dalam organisasi pemasok
Afuah (2002)Value tergantung pada tingkat mana suatu karakteristik berkontribusi pada utilitas maupun kesenangan pelanggan
Chen dan Dubinski (2003)Perceived customer value adalah persepsi konsumen tentang manfaat bersih yang diperoleh sebagai imbalan bagi biaya yang dicurahkan untuk memperoleh manfaat tersebut
Vargo dan Lusch (2008)Value adalah segala sesuatu yang berharga bagi konsumen yang diperoleh dari produk atau layanan saat mereka menggunakannya (value-in-use)

Pertanyaannya, apa saja yang diinginkan (GET) dan yang dikorbankan (GIVE) konsumen?  Ada berbagai pendapat tentang GET dan GIVE ini.  Smith dan Colgate (2007) telah mempelajari berbagai literatur tentang GET dan GIVE. Pada intinya, menurut mereka, dari sisi GET, ada tiga manfaat yang yang membentuk nilai, yaitu: nilai fungsional atau instrumental (functional/instrumental value), nilai pengalaman atau hedonik (experiential/hedonic value) dan nilai simbolik atau ekspresif (symbolic/expressive value).  Dari sisi GIVE, keduanya mengidentifikasi nilai biaya atau pengobanan (cost/sacrifation value). Mereka memberikan kerangka lengkap tentang sumber-sumber nilai tersebut. Namun, sebelum menjelaskan kerangka tersebut, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian masing-masing tipe nilai.

Nilai fungsional atau utilitarian terkait dengan seberapa baik karakteristik, kegunaan, atau kinerja produk (barang atau layanan) atau seberapa baik produk (barang atau layanan) berfungsi.  Seperti dikatakan Woodruff (1997), ada tiga sumber nilai fungsional atau utilitarian, yaitu:

  1. Ketepatan, keakuratan serta kesesuaian fitur, fungsi, atribut atau karakteristik (seperti estetika, kualitas, kastemisasi atau kreatifitas).
  2. Kesesuaian kinerja (seperti reliabilitas, kualitas kinerja atau kualitas layanan pendukung).
  3. Kesesuaian konsekuensi atau hasil (seperti nilai strategis, keefektifan, manfaat operasional dan manfaat lingkungan).

Ketepatan pengiriman barang pada alamat yang dituju dan waktu yang ditentukan, merupakan nilai yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan kurir, seperti PT. Pos Indonesia, PT. Titipan Kilat, Federal Expres dan lain-lain. Keakuratan waktu dan desain merupakan nilai yang diandalkan jam tangan Rolex.  Reliabilitas atau keadaan untuk selalu dalam keadaan baik atau jarang rusak, merupakan nilai yang penting bagi mesin foto kopi. Kesesuaian manfaat dengan keinginan merupakan nilai yang sangat penting untuk produk obat-obatan.

Tipe kedua adalah nilai pengalaman atau hedonik. Nilai ini terkait dengan seberapa mampu produk memberikan pengalaman, perasaan dan emosi yang diinginkan konsumen.  Berbagai perusahaan, seperti hotel, penerbangan serta eceran, memberikan perhatian khusus pada nilai-nilai indrawi (sensory value), seperti estetika, pencahayaan, pengaturan suasana ruang atau kabin, aroma dan musik. Sebagian besar perusahaan travel maupun pertunjukan (entertainment) mengutamakan nilai emosional, seperti kesenangan, ketenangan, keasyikan, petualangan dan humor. Sebagian perusahaan, seperti perusahaan layanan dan  perusahaan yang melayani bisnis (business to business marketing), lebih mengutamakan nilai relasi sosial (social relationship value). Terakhir, beberapa perusahaan atau organisasi, seperti Ancol dan Taman Safari Indonesia serta Museum Rekor Indonesia (MURI), memberikan nilai epistemik (epistemic value), seperti keingintahuan, pengetahuan, hal-hal baru atau fantasi.

Nilai simbolik atau ekspresif berkaitan dengan seberapa besar kecenderungan konsumen mengasosiasikan diri dengan makna psikologis produk.  Produk-produk tertentu, seperti barang-barang mewah, memiliki nilai prestis (prestige value) yang dapat mencerminkan ’siapa’ pemilik atau penggunanya (Vigneron dan Johson, 1999).

Tipe keempat nilai, sekaligus merupakan indikator GIVE, dalam terminologi Smith dan Colgate (2007) adalah nilai biaya atau pengorbanan (cost/sacrifice value). Sebenarnya, nilai ini merupakan ’pengurang’, akan tetapi dapat pula dijadikan sebagai bahan jualan (selling point) apabila biaya atau pengorbanan untuk memperoleh produk lebih rendah dibanding pesaing. Pusat perbelanjaan Carrefour menggunakan pendekatan ini. Perusahaan ini menyatakan: ”Apabila ada harga yang lebih murah, kami berani membayar selisihnya”.

Sumber Nilai Pelanggan

Sampai sejauh ini sudah dijelaskan empat kategori pengertian  nilai pelanggan. Kemudian telah dibahas pula bahwa keempat kategori pengertian tersebut didasarkan pada fokus yang berbeda-beda, apakah terhadap GET, GIVE atau GET dan GIVE sekaligus. Terhadap dimensi GET dapat dikaitkan nilai fungsional/utilitarian, hedonik/pengalaman maupun simbolik/ekspresif. Terhadap dimensi GIVE dapat dikaitkan nilai biaya/pengorbanan. Pertanyaan selanjutnya adalah dari mana keempat tipe nilai tersebut diperoleh? … read more


Referensi

American Marketing Association. (2017). Definition of Marketing. Retrieved from https://www.ama.org/the-definition-of-marketing-what-is-marketing/

Chen, Z., & Dubinsky, A.J. (2003) A conceptual model of perceived customer value in e-Commerce: A preliminary investigation. Psychology & Marketing, 20, 323-347.
https://doi.org/10.1002/mar.10076

D’Aveni, R..A. (1997). Waking Up to the New Era of Hypercompetition. The Washington Quarterly, 21(1), 183–195.  Retrieved from  http://www.twq.com/98winter/daveni.pdf

Eggert, A. & Ulaga, W. (2002). Customer Perceived Value: A Substitute for Satisfaction in Business Markets? Journal of Business & Industrial Marketing, Vol. 17 Iss: 2/3, pg.107 – 118.

Khalifa, A.S. (2004). “Customer value: A review of recent literature and an integrative configuration. Management Decision, 42(5), 645-666.

Kothandaraman, P. and Wilson, D.T. (2001). The future of competition: Value-creating networks. Industrial Marketing Management, 30, 379-389.
https://doi.org/10.1016/S0019-8501(00)00152-8

Kotler, P. & Amstrong, G. (2016). Principles of Marketing. 15-th Edition. Upper Saddle River: Prentice-Hall, Inc.

Lam, S.Y., Shankar, V., Eramilli, M.K., Murthy, B. (2004). Customer value, satisfaction, loyalty, and switching costs: An illustration from a business-to-business service context.  Journal of the Academy of Marketing Science,  32(3), 293-311.

Lapierre, J. (2000).  Customer‐perceived value in industrial contexts.  Journal of Business & Industrial Marketing, 15(2/3), 122-145. https://doi.org/10.1108/08858620010316831McDougall, G.H.G., & Levesque, T. (2000) Customer satisfaction with services: Putting perceived value into the equation. Journal of Services Marketing, 14, 392-410.
https://doi.org/10.1108/08876040010340937Oliver, R.L. (1999). Whence consumer loyalty?. Journal of Marketing, 63, 33-44.

Sánchez-Fernández, R., & Iniesta-Bonillo, M. A. (2006). Consumer perception of value: Literature review and a new conceptual framework. Journal of Consumer Satisfaction, Dissatisfaction and Complaining Behavior, 19, 40-58.

Slater, S., & Narver, J. (2000). The positive effect of a market orientation on business profitability: A balanced replication. Journal of Business Research, 48 (1):69-73. DOI: 10.1016/S0148-2963(98)00077-0

Smith, J.B. & Colgate, M. (2007). Customer value creation: A practical framework. Journal of Marketing Theory and Practice, 15, 7-23. https://doi.org/10.2753/MTP1069-6679150101

Van der Haar, J.W., Ron, G. M. Ke., & Onno, O. (2001). Creating value that cannot be copied. Industrial Marketing Management, 30, 627-636.

Vargo, S. L. & Lusch, R.F. (2004). Evolving to a new dominant logic for marketing. Journal of Marketing, 68(1), 1-17. https://doi.org/10.1509%2Fjmkg.68.1.1.24036

Vargo, S. L. & Lusch, R.F. (2008). Service-Dominant Logic: Continuing the evolution. Journal of the Acadamy of Marketing Science, 36, 1–10. http://dx.doi.org/10.1007/s11747-007-0069-6

Vigneron, F., & Johnson, L.W. (1999) A review and conceptual framework of prestige seeking consumer behavior. Academy of Marketing Science Review, 1, 1-15.

Walter, A., Ritter, T., & Gemunden, H. (2001) Value-creation in buyer-seller relationships: Theoretical considerations and empirical results from a supplier’s perspective. Industrial Marketing Management, 30, 365-377. http://dx.doi.org/10.1016/S0019-8501(01)00156-0

Wenstein, A. (2018). Superior Customer Value Finding and Keeping Customers in the Now Economy.  Routledge Francis & Taylor Publisher.

Woodall, T.  (2003). Conceptualization ‘value for the customer’: An attributional, structural and dispositional analysis.  Academy of Marketing Science Review, 12. Retrieved from www. am review. org/articles/woodall12-2003.pdf.

Woodruff, R. (1997).  Customer value: The next source for competitive advantage. Journal of the Academy of Marketing Science, 25 (2), 139–153.

Masihkah Teori S-O-R Relevan?

Teori S-O-R (stimulus-organism-response) dikembangkan dari teori S-R (stimulis-response). Teori S-R menyatakan bahwa stimuli yang datang dari lingkungan dapat menimbulkan respon berupa perubahan perasaan dan perilaku. Teori ini mudah dipahami, namun kekurangannya, teori ini tidak membuat pertimbangan dari sisi organisma. Teori S-R menganggap bahwa respon adalah reaksi otomatis dalam mekanisme ‘jika-maka’ sederhana: Jika S (stimuli datang dari lingkungan), maka respon Y (perubahan perasaan dan perilaku) akan terjadi. Teori S-O-R melakukan perbaikan dengan mengusulkan bahwa respon tergantung pada keadaan perasaan atau pikiran organisma saat menerima stimulus.

Teori S-O-R awalnya adalah bagian dari psikologi lingkungan (general environmental psychology).  Mehrabian dan Russel (1974) membawanya ke ranah perilaku konsumen dengan pertimbangan bahwa rangsangan adalah anteseden yang mempengaruhi keadaan emosional konsumen (organisme) dan selanjutnya dapat mempengaruhi perilaku atau niat mereka. Lebih terperinci mereka menyatakan bahwa stimuli lingkungan (S) dapat menyebabkan dua jenis respon perilaku, yaitu approach dan avoidance, tergantung pada bagaimana individu mengevaluasi stimuli lingkungan (O), seperti dimodelkan pada Gambar 1.

Mehrabian dan Russel (1974) menyatakan bahwa respon emosional terhadap lingkungan dapat berupa:

  1. Kesenangan (pleasure), yang ditentukan berdasarkan judgment terhadap kebahagiaan, kegembiraan, atau kepuasan terhadap lingkungan.
  2. Gairah (arousal), yang ditentukan berdasarkan judgment tingkat keaktifan atau antusiasme seseorang akibat situasi lingkungan tertentu.
  3. Dominance, yang diukur berdarkan kecenderungan seseorang menonjol dalam situasi lingkungan tertentu.

Menurut Donovan dan Rositer (1982), emosi tersebut dihasilkan interpretasi sadar atau tidak sadar atas lingkungan. Emosi tersebut selanjutnya menghasilkan dua respon, yaitu:

  1. Keinginan untuk tetap tinggal di dalam (approach) atau keluar (avoid) dari lingkungan.
  2. Keinginan berkeliling (melihat-lihat) dan mengekplor lingkungan (approach) atau lewat saja dan cenderung merasa bosan dengan lingkungan (avoidance).

Sebagai catatan, walaupun keduanya dapat diterjemahkan sebagai pendekatan dan penghindaran, untuk mencegah terjadinya bias makna, kita tetap menggunakan bahasa aslinya. Dalam konteks ritel misalnya, terkait dengan atmosfir toko, konsep approach dan avoidance dapat dijabarkan sebagai berikut:

  • Approach. Kita akan mendekati lingkungan yang memberikan rasa gembira (joy), senang (happy), nyaman (comfortable), dan semangat (excited). Misalnya, kita ada di sebuah apotik. ruangannya sejuk, bersih, obat ditata rapi dan pelayan ramah dan tanggap. Kita akan terdorong membeli obat di tempat itu dan mungkin akan kembali lagi di kemudian hari.
  • Avoidance. Kita akan menjauhi lingkungan yang mendatangkan rasa tidak senang, tidak nyaman dan membosankan. Apabila tidak ada kewajiban atau tekanan untuk hadir, kita akan tinggalkan tempat demikian. Contohnya, kita datang ke apotik yang ruangannya kotor, obat-obat berdebu, dan pelayannya tidak ramah dan tanggap. Kemungkinan kita akan membatalkan niat membeli obat di tempat itu dan segera pergi.

Stimulus: Singular atau Plural?

Dalam kerangka S-O-R, sebenarnya rangsangan itu adalah kumpulan berbagai atribut  yang mempengaruhi persepsi konsumen (Mazursky dan Jacoby, 1986), yang akan membangkitkan tindakan individu (organisma) secara sadar atau tidak sadar (Oh et al., 2008). Dalam konteks ritel, atribut mencakup faktor sosial (orang-orang di toko, pelanggan dan karyawan lain), faktor desain (misalnya, kebersihan dan warna tata letak), dan faktor lingkungan (misalnya bau dan suara) (Eroglu et al., 2003).  Jacoby (2002) menyatakan bahwa semua stimuli eksternal, seperti produk, merek, logo, iklan, kemasan, harga, toko, lingkungan toko, word-of-mouth communication, surat kabar, televisi, dan lain-lain, dapat dianggap sebagai stimulus. Stimuli tersebut dianggap sebagai sebuah paket berbagai stimulus yang berinteraksi, bahkan berkompetisi satu sama lain, bukan stimulus tunggal. Dengan demikian, untuk meneliti pengaruh stimulus tunggal (misalnya endorser, iklan, atau harga) terhadap perilaku konsumen, teori S-O-R tidak tepat digunakan.

Masihkah Teori S.O.R Relevan?

Banyak penelitian terbaru yang masih menggunakan teori S-O-R. Sebagian di antaranya menggunakan stimuli sebagai kumpulan dalam konteks lingkungan (misalnya: Bloomer & de Ruyter, 1997; Jeong et al., 2020; Hetharia et al., 2019; Wu & Li, 2017), sebagian hanya menggunakan stimuli tunggal (misalnya: Yu et al., 2021). Pendekatan pertama, tentu masih setia pada esensi teori S-O-R sebagai psikologi lingkungan dengan konsekuensi stimuli sebagai kumpulan (plural). Pendekatan kedua, yang fokus pada dampak stimuli tunggal, telah menyimpang dari esensi tersebut. Sekalipun, secara statistik hasil dapat diperoleh, namun studi yang menggunakan pendekatan kedua tidak dapat diterima secara ilmiah.

Sebenarnya, S-O-R bukan satu-satunya teori yang menjelaskan pengaruh stimuli terhadap perilaku konsumen. Banyak model yang dapat digunakan untuk tujuan yang sama, misalnya Elaboration of Likelihood Model (ELM), Theory of Planned Behavior (TPB), Model of Goal-Directed Behavior (MGB), Technology Acceptance Model, Prototype Willingness Model, Generic Communication Model, Hierarchy of Effect Model, Attitude of Trying Model, Attitude toward Ad Model dan masih banyak lagi.  Teori S-O-R relevan bagi penelitian yang mempelajari dampak psikologi lingkungan pada perilaku (Mehrabian dan Russel, 1974) dan memperlakukan stimuli sebagai kumpulan stimulus yang berinteraksi satu sama lain (Jacoby, 2002).

References

Bloemer, J., & de Ruyter, K. (1997). On the relationship between store image, store satisfaction
and store loyalty.  European Journal of Marketing, 32 (5/6), 499-513.

Donovan, R.J., & Rossiter, J.R. (1982). Store atmosphere: an environmental psychology approach, Journal of Retailing, 58 (1), 34-57.

Eroğlu, S., Machleit, K.A., & Davis, L.M. (2003). Empirical testing of a model of online store atmospherics and shopper responses. Psychology & Marketing, 20, 139-150.

Hetharia, J.A., Surachman, Hussein, A.S., & Puspaningrum, A. (2019). SOR (Stimulus-Organism-Response) model application in observing the influence of impulsive buying on Consumers’ post-purchase regret. International Journal of Scientific & Technology, 8(11), 2019

Jacoby, J. (2002). Stimulus-Organism-Response Reconsidered: An evolutionary step in modeling (consumer) behavior. Journal of Consumer Psychology, 12(1), 51–57. https://doi.org/10.1207/S15327663JCP1201_05

Jeong, Y., Kim, E., & Kim, S.-K. (2020). Understanding active sport tourist behaviors in
small-scale sports events: Stimulus-Organism-Response approach. Sustainability, 12, 8192; doi:10.3390/su12198192

Mazursky, D. & Jacoby, J. (1986). Exploring the development of store images. Journal of Retailing,  62 (2), 145-165.

Mehrabian, A., & Russel, J.A. (1974). An Approach to Environmental Psychology. Cambrige, Mass: MIT Press.

Yu, Z., Klongthong, W.,  Thavorn, J., & Ngamkroeckjoti, C. (2021). Understanding rural Chinese consumers’ behavior: A stimulus–organism–response (S-O-R) perspective on Huawei’s brand loyalty in China. Cogent Business & Management, 8:1, 1880679. DOI: 10.1080/23311975.2021.1880679

Wu, Y.-L., & Li, E.Y. (2018). Marketing mix, customer value, and customer loyalty in social
commerce: A stimulus-organism-response perspective. Internet Research, 28 (1),
74-104, https://doi.org/10.1108/IntR-08-2016-0250

Strategi, Adaptasi dan Pertimbangan Khusus Harga

Harga bukan sesuatu yang kaku dan statis. Harga dinamis, dapat digunakan untuk menstimulasi respon pembeli serta perlu disesuaikan dengan situasi tertentu. Ada pula pertimbangan-pertimbangan khusus harga. Dinamika harga tersebut dituangkan lebih terperinci dalam daftar isi berikut ini.

Daftar Isi

A. Strategi Harga

1. Skimming price strategy
2. Penetration price strategy

B. Price Adaptation

1. Geographical pricing
2. Price discount and allowance

Mind Mapping Adaptasi Harga

a. Cash discount
b. Quantity discount
c.  Functional discountd.  Seasonal discount
e.  Allowances
3. Promotional pricing

a. Loss-leader pricing
b. Special event pricing
c. Cash-rebate
d. Low-interest financing
e. Longer payment terms
f. Warranties and service contract
g. Psychological discounting

4. Differentiated pricing

a. Segment-based pricing
b. Product-form pricing
c. Image pricing
d. Channel pricing
c. Location pricing
d. Time-based pricing

5. Product-mix pricing

a. Product-line pricing
b. Optional-feature pricing
c. Captive-product pricing
d. Two-part pricing
e. Byproduct pricing
f. Product-bundling pricing

C. Special considerations in pricing

  1. Penurunan Harga
  2. Penaikan Harga
  3. Penetapan harga untuk perantara
  4. Penetapan harga untuk pasar bisnis
  5. Fleksibilitas harga
  6. Harga tetap versus harga negosiasi

 

SATU: Strategi Harga

Sebagaimana telah disebutkan, strategi adalah keputusan atau rencana strategik yang dirumuskan untuk mencapai tujuan. Keputusan-keputusan tersebut dapat dibuat dalam bentuk poin-poin pernyataan, bisa pula dibuat dalam satu rumusan. Keputusan tentang harga ada yang strategik, ada pula yang non-strategik. Ingat kembali ciri-ciri keputusan strategik di sini (link masih dibuat). Bagi sebuah merek mobil yang baru masuk ke Indonesia, misalnya, maka penentuan harga atau rentang harga merek mobil itu adalah keputusan strategik. Namun,  diskon yang diberikan adalah non-strategik karena mudah ditiadakan, diturunkan ataupun dinaikkan.

Selama ini, banyak perusahaan yang menggunakan harga sebagai komponen strategi, berdasarkan mana para ahli merumuskan teori strategi harga, seperti dipaparkan berikut ini.

 

Penetapan Harga Produk Baru

Sebuah perusahaan dapat meluncurkan produk baru dengan harga tinggi (skimming pricing) ataupun harga rendah (penetration pricing).

1. Skimming Pricing

Dengan skimming price, bukan berarti harga tinggi selamanya.  Cukup pada masa perkenalan saja.  Pada saat persaingan mulai ketat, barulah harga diturunkan.

Harga tinggi perlu untuk menutup biaya riset serta pengembangan produk secepatnya.  Dengan harga tinggi, perusahaan dapat berjaga-jaga terhadap kemungkinan kekeliruan penetapan harga.  Kalau keliru, turunkan saja harganya.  Ini lebih mudah ketimbang menaikkan harga.

Strategi ini baru berjalan baik bila konsumen tidak sensitif terhadap harga, akan tetapi lebih memperhatikan keunikan-keunikan produk yang terkait dengan kualitas, brand image, personil maupun layanan tambahan.

Setelah non-price sensitive customer terlayani, perusahaan dapat membuat versi lebih murah untuk melayani price-sensitive customer.  Keputusan demikian dapat bersamaan dengan strategi perluasan lini produk ke hilir (down-ward stretching) dengan meluncurkan produk-produk berbiaya lebih rendah.  Perusahaan yang awalnya menjual buku edisi hard-cover, dapat meluncurkan edisi soft-cover yang lebih murah.

Kondisi lain yang dibutuhkan agar strategi ini berjalan baik adalah adanya hambatan masuk (entry-barrier) yang tinggi untuk pesaing.  Teknologi, investasi awal yang besar, hak paten maupun konsumen yang loyal dapat menjadi penghambat masuknya pesaing.  Kalau pesaing mudah masuk, strategi harga tinggi justru akan menghancurkan perusahaan, sebab pesaing berkesempatan meluncurkan produk dengan harga lebih murah.

2. Penetration Pricing

Dengan strategi ini, perusahaan meluncurkan produk baru dengan harga rendah dengan harapan akan memperoleh volume penjualan yang besar dalam waktu yang relatif singkat.   Dengan volume besar, tentu biaya rata-rata akan menurun.  Selanjutnya, biaya rendah ini dapat menghambat masuknya pesaing.  Keunggulan biaya inilah yang disebut sebagai strategi cost-leadership oleh Porter (1985).

Strategi ini masuk hitungan kalau pasar sensitif terhadap harga.  Itu yang pertama.  Yang kedua, terdapat korelasi negatif antara kenaikan volume penjualan dengan biaya, di mana volume penjualan yang tinggi akan akan menurun biaya.  Ketiga, harga rendah bisa menjadi keunggulan bersaing.  Sekali lagi, untuk kondisi ketiga ini, pasar harus sensitif terhadap harga.  Kalau pesaing bisa mendidik pasar menomorduakan harga dalam mengambil pertimbangan, maka strategi ini lebih baik dilupakan.

DUA: Adaptasi Harga

Ada dua kemungkinan motif yang mendorong perusahaan meninggalkan kebijakan satu harga.  Motif pertama adalah penyesuaian dengan situasi tertentu.  Disini perusahaan bersifat reaktif terhadap situasi yang mengharuskan. Motif kedua adalah menggunakan harga sebagai stimulus untuk memperoleh respon tertentu dari konsumen.

Ada lima strategi harga yang berasal dari adaptasi harga, yaitu: geographical pricing, price discount and allowance, promotional pricing, discriminatory pricing dan product-mix pricing.  Dalam penjelasan berikut konsep-konsep tersebut ditulis dalam istilah aslinya agar tidak kehilangan makna.

1. Geographical Pricing

Strategi ini dilakukan dengan menetapkan harga berbeda untuk area geografis ataupun negara berbeda.  Pertimbangan yang digunakan bisa berupa faktor biaya, daya beli penduduk maupun daur hidup produk di daerah atau negara yang bersangkutan.

2. Price Discount and Allowance

Kebanyakan perusahaan akan memodifikasi harga dasar sebagai imbalan untuk perbuatan-perbuatan pembeli yang dianggap baik oleh perusahaan, seperti pembayaran di muka, pembelian dalam jumlah besar dan pembelian di luar musim (off-season-buying).  Sebelum dibahas lebih jauh, perlu diingat terlebih dahulu bahwa tindakan ini dapat mengurangi keuntungan perusahaan.  Jadi, sebelum melakukan memberikan diskon, perusahaan perlu menghitung untung-ruginya secara akurat.

a. Cash-discount.  Ini adalah penurunan harga kepada pembeli yang cepat membayar tagihan.   Kode yang umum adalah “2/10, net 30”.  Artinya, masa pembayaran tagihan adalah 30 hari.  Tetapi kalau pembeli membayar dalam 10 hari atau kurang, maka perusahaan akan memberikan diskon 2 %.  Keuntungannya bagi perusahaan adalah meningkatnya likuiditas, menurunnya biaya penagihan serta jumlah bad-debt.

b. Quantity-discount.  Ini adalah penurunan harga yang diberikan karena volume pembelian yang besar.  Ini biasa terjadi antar-pedagang, bisa juga antara toko dengan konsumen.  Malah, kadang-kadang, pembeli sendiri yang meminta potongan harga kalau tahu volume pembeliannya besar.

c. Functional-discount.  Ini merupakan pemotongan harga oleh penjual karena pembeli melakukan fungsi-fungsi tertentu, seperti pencatatan, penagihan maupun fungsi-fungsi lain.  Konsekuensinya, pemotongan harga bisa berbeda kalau fungsi yang dilakukan pembeli berbeda.

d. Seasonal Discount.   Ini adalah potongan harga yang diberikan di luar musim.  Misalnya, tempat rekreasi memberikan diskon untuk hari Senin sampai Jumat karena pada hari-hari tersebut pengunjung sepi.  Telkom juga melakukan strategi ini untuk telepon statis.  Pada jam sibuk antara jam 18.00 sampai jam 23.00, harga pulsa dipotong 50%.  Potongan lebih besar lagi (yaitu 75 %) antara jam 23.00 sampai jam 06.00, karena pemakai telepon lebih sepi pada selang waktu tersebut.

Tujuan dari diskon ini adalah agar kapasitas tidak menganggur pada masa sepi.  Sebagian perusahaan menggunakan strategi ini sebagai bagian dari manajemen permintaan, yaitu memindahkan sebagian permintaan yang tidak terlayani pada masa puncak (peak season) ke masa sepi (off-season).

5. AllowancesIni juga merupakan bagian dari penurunan harga.  Trade-in allowances adalah penurunan harga yang diberikan untuk penggantian item lama dengan yang baru.  Misalnya, ada perusahaan otomotif menawarkan seperti ini: “Tukar mobil lama anda dengan yang baru. Kami beri diskon 5 %”.  Tujuannya tentu agar perputaran produk lebih tinggi.  Selain itu, untuk mengikat pemakai produk lama menjadi pembeli yang loyal.

Yang perlu diperhatikan dari praktek ini adalah produk lama yang ditukarkan pembeli mau diapakan?  Banyak perusahaan otomotif membuka anak perusahaan yang khusus menjual mobil bekas.  Nah, kesanalah mobil -mobil bekas itu diputar.

Penurunan harga ini juga diberikan kalau pembeli berpartisipasi dalam promosi maupun usaha-usaha penjualan lainnya.

3. Promotional Pricing

Perusahaan dapat menggunakan teknik harga untuk menstimulasi pembelian awal.  Teknik-teknik tersebut adalah sebagai berikut.

  • Harga penglaris (loss-leader pricing). Caranya adalah toko menurunkan harga merek terkenal atau produk yang sensitif terhadap harga untuk meningkatkan kunjungan.  Misalnya, sebuah toko bisa menurunkan harga beras, tetap produk lain tetap.  Karena dalam masa krisis konsumen sensitif terhadap harga beras, maka dengan menurunkan harga sedikit saja, maka konsumen akan terpengaruh.  Biasanya produsen tidak suka kalau produknya dijadikan sebagai penglaris oleh supermarket atau toko-toko.
  • Special-event pricing. Prakteknya adalah menurunkan harga untuk menyambut even-even tertentu.  Sepatu Bata sering menurunkan harga untuk menyambut Lebaran.  Ada juga yang mengaitkan penurunan harga dengan ulang tahun kemerdekaan RI.  Tujuannya tentu adalah untuk menciptakan image yang baik, bahwa perusahaan peduli terhadap even-even yang bermakna khusus bagi masyarakat.
  • Cash-rebate. Konsep ini disebut juga cash-back. Dari pada menurunkan harga, ada juga perusahaan yang memberikan sejumlah uang untuk pembelian produknya. Untuk mendongkrak penjualannya, Isuzu Panther tahun 1996 membuat iklan:  “Beli Panther tipe apa saja,  maka Rp 1.000.000 langsung anda dapatkan”.  Teknik ini dapat membantu produsen menurunkan persediaan tanpa menurunkan daftar harga (Price-list).
  • Low-interest financing. Kalau kita amati iklan-iklan mobil belakangan ini, sering ditawarkan bunga rendah, misalnya 8% per tahun.  Malah, sebelum krisis, Astra pernah menawarkan kredit satu tahun tanpa bunga untuk pembelian Kijang. Namun, hati-hati menyikapi iklan begini.  Begitu sampai di showroom, seringkali calon pembeli merasa terkecoh karena suku bunga rendah tersebut harus memenuhi kondisi tertentu, misalnya uang muka 30% atau jangka waktu kredit yang singkat.
  • Longer payment terms. Tujuannya adalah untuk menurunkan bayaran bulanan.  Waktu pertama diluncurkan, Nissan Grand Livina menawarkan kredit sampai 5 tahun.  Konsekuensinya tentu suku bunga lebih tinggi.  Tetapi, yang menjadi faktor penarik adalah bayaran per bulan yang lebih rendah.
  • Warranties and service contract. Daripada menurunkan harga, perusahaan dapat menawarkan kontrak servis.  Teknik ini pernah digunakan PT. Kramayudha Tiga Berlian untuk mobil-mobil Mitsubishi yang dipasarkannya di Indonesia.  Perusahaan ini menawarkan paket bernama KONSER, yaitu kontrak servis yang berlaku dalam jangka waktu tertentu.  Fasilitas yang ditawarkan dalam KONSER adalah bebas harga untuk service tertentu serta penurunan harga untuk service lainnya.
  • Psychological discounting. Dengan teknik ini, perusahaan ingin menciptakan kesan adanya penghematan dari penurunan harga. Lihat contoh di bawah ini. Angka Rp 150.000 yang dicoret dapat menimbulkan persepsi bahwa harga dulu atau harga seharusnya adalah Rp Rp 150.000 dan sekarang adalah Rp 75.000. Dengan demikian ada diskon sebesar Rp 75.000. Sebenarnya, diskon ini bersifat psikologis karena tidak ada pernyataan bahwa harga sebelumnya adalah Rp 150.000. Kesimpulan tentang diskon Rp 75.000 itu hanya bersifat psikologis dan karena itu disebut diskon psikologis (psychological discounting).

  • Misalnya:  “Dulu Rp 100.000, sekarang Rp 60.000”.  Yang menjadi persoalan, apa benar sebelumnya harga Rp 100.000?  Bila benar, berarti pembeli memang dapat menghemat Rp 40.000.  Kalau tidak, praktek ini merupakan suatu praktek pengelabuan.  Namun, pembeli jarang mempertanyakan kebenaran itu.

 

4. Diferensiasi Harga

Perusahaan seringkali memodifikasi harga dasar untuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan yang menyangkut konsumen, produk, lokasi dan lain-lain. Pratek demikian disebut diferensiasi atau diskriminasi harga. Diferensiasi harga terjadi pada saat perusahaan menjual produk dengan dua atau lebih tingkat harga, di mana perbedaan harga tidak mencerminkan perbedaan biaya.  Beberapa teknik diskriminasi adalah seperti dijelaskan berikut ini.

  • Diferensiasi harga berdasarkan segmen. Kelompok pembeli yang berbeda dikenakan harga yang berbeda. Misalnya, tiket masuk museum, lebih murah untuk anak sekolah daripada umum.
  • Diferensiasi harga berdasarkan bentuk produk (product-form pricing). Versi produk yang berbeda dikenakan harga berbeda, tetapi tidak mencerminkan perbedaan harga secara proporsional.  Harga mineral Aqua ukuran gelas 220 ml adalah Rp 600.  Sedangkan ukuran botol ukuran 600 ml adalah Rp 1500.  Tentu, dengan harga demikian, harga air per ml kedua produk sudah berbeda.
  • Diferensiasi harga berdasarkan lokasi (location pricing). Produk sama, tetapi tempat berbeda, harga berbeda.  Misalnya, kalau menonton konser, beda tiket untuk VVIP (very very important person), VIP (very important person) dan kelas biasa.  Di kapal laut juga demikian.  Ada kelas ekonomi, Kelas III, Kelas II, Kelas I dan Kelas VIP.
  • Diferensiasi harga berdasarkan image (citra). Produk yang sama dapat memiliki image berbeda karena lokasi produksi, bahan baku, dan asosiasi sekunder yang berbeda. Akibatnya dapat dikenakan harga berbeda. Sebagai contoh, harga paket McDonald versi BTS dan non BTS berbeda, walaupun menunya identik.
  • Diferensiasi harga berdasarkan channel (saluran pemasaran). Harga produk dibedakan pada saluran pemasaran yang berbeda. Misalnya, harga Aqua di Indomaret berbeda dari hotel berbintang.
  • Diferensiasi harga berdasarkan waktu (time pricing). Ini adalah penetapan harga berbeda untuk waktu yang berbeda.  Misalnya, hotel menetapkan harga berbeda untuk weekend serta hari libur dan hari-hari biasa.  Lho, kalau begitu, apa bedanya dengan seasonal discount?  Ada bedanya, walaupun jatuh-jatuhnya sama saja.  Kalau seasonal discount, daftar harga sama untuk semua musim. Hanya saja waktu off-season diberikan diskon, sehingga yang dibayarkan lebih murah.  Dengan diskriminasi harga, perusahaan memang menerapkan harga yang berbeda untuk waktu yang berbeda.  Yang namanya diskon tidak diberlakukan karena memang daftar harganya sudah diturunkan untuk off-season.

Agar diferensiasi harga berjalan baik, ada beberapa kondisi yang perlu diperhatikan.  Pertama, pasar harus tersegmentasi (segmentable) dan setiap segmen menunjukkan perilaku yang berbeda.  Kedua, pembeli pada segmen berharga murah harus tidak bisa menjual kembali produk kepada segmen berharga mahal.  Ketiga, pesaing harus tidak bisa memasuki segmen berharga mahal dengan menjual menjual produk substitusi yang lebih murah.  Keempat, biaya tidak lebih tinggi dari penerimaan yang diperoleh dari diskriminasi harga.  Kelima, diskriminasi tidak mengecewakan konsumen.  Keenam, diferensiasi harga tidak melanggar aturan.

Diferensiasi harga sebenarnya justru sering dipicu oleh peraturan.  Misalnya, di Indonesia, pemerintah mengharuskan pengembang perumahan untuk menerapkan sistem 1-3-5.  Artinya, setiap membangun satu rumah mewah, maka pengembang harus membangun tiga rumah menengah dan lima rumah sederhana.

Listrik juga demikian.  PLN diharuskan membedakan tarik untuk pelanggan kecil (sampai daya 900 watt), menengah (di atas 900 watt sampai 3000 watt) dan atas (di atas 3000 watt).  Selain itu, PLN juga menerapkan tarif berbeda untuk rumah tinggal, perusahaan komersil, perusahaan nirlaba dan institusi-institusi sosial.

5. Penetapan Harga Bauran Produk

Untuk bagian ini, sekali lagi, marilah kita bayangkan perusahaan PT. UNIJAYA memasarkan beberapa item produk.  Kalau harga produknya disamakan semua, walaupun dari segi biaya tidak masalah, resikonya akan terjadi kanibalisasi produk.  Artinya, produk-produk PT. UNIJAYA justru bersaing satu sama lain.  Jadi, harga sekumpulan produk dari satu perusahaan harus diatur sedemikian untuk memperoleh keuntungan yang optimal.  Karena itulah dikenal penetapan harga lini produk (product-line pricing), penetapan harga fitur opsional (optional-feature pricing), penetapan harga untuk pasangan produk yang ‘wajib’ dibeli (captive-product pricing), penetapan harga dua bagian produk (two-part pricing), penetapan harga untuk produk sampingan (byproduct pricing) dan penetapan harga untuk sekumpulan produk sekaligus (product-bundling pricing).

1. Product-line pricing

Umumnya perusahaan menawarkan beberapa item produk sekaligus.  Perusahaan otomotif dari Korea Hyundai, misalnya, langsung menawarkan 12 item produk pada awal expansinya.  Produk-produk tersebut kalau diamati dapat diurutkan mulai dari yang paling sederhana (bottom-line) ATOZ M/T sampai yang paling mewah (upper-line) Grandeur 3.0 A/T.

Manajemen tentu menetapkan selisih harga yang teratur (price-steps) mulai dari item sederhana sampai ke yang paling mewah.  Adapun selisih harga itu perlu mempertimbangkan perbedaan biaya antar tipe, evaluasi perbedaan fitur dan harga-harga pesaing.  Jika jarak harga terlalu rendah, maka pembeli akan cenderung membeli versi yang lebih mewah.  Sebaliknya, kalau terlalu jauh, maka versi lebih sederhana menjadi pilihan.

2. Optional Feature Pricing

Teknik ini merupakan penawaran harga akhir yang didasarkan pada perlengkapan tambahan (fitur) yang diinginkan pembeli. Banyak produk yang harga akhirnya ditentukan berdasarkan perlengkapan tambahan yang diinginkan pembeli.  Misalnya, harga mobil Kijang standar adalah Rp 115.000.000.  Harga itu bisa meningkat menjadi Rp 125.000.000, misalnya, dengan tambahan tanduk depan, electric window, power steering, dan air conditioner.

3. Captive-product pricing

Misalkan anda membeli printer laser HP.  Secara rutin, anda harus membeli perlengkapan printer tersebut (misalnya toner) yang hanya dari HP, tidak bisa dari perusahaan lain.  Inilah yang disebut captive product.

Kalau sudah membeli produk utamanya, mau tidak mau pembeli harus membeli produk pelengkapnya. Pada umumnya, strategi yang digunakan perusahaan-perusahaan untuk menghadapi masalah ini adalah menetapkan harga murah untuk produk utamanya dan harga tinggi untuk produk pelengkapnya. Menurut Kotler dan Keller (2012), memang pembeli kurang sensitif terhadap harga produk pelengkap. Pertanyaannya adalah: apakah semau perusahaan untuk menetapkan harga produk pelengkap?

Jawabannya tidak.  Sebab, keputusan konsumen tidak hanya didasarkan atas harga produk utama, akan tetapi juga produk pelengkap.  Jadi, kalau produk pelengkapnya terlalu mahal, akan mengurangi minat pembeli untuk membeli produk utama.  Kenapa mobil-mobil Toyota laris manis?  Salah satu alasannya adalah harga spare part-nya yang murah. Selain itu, harga produk pelengkap orisinil yang mahal dapat memancing munculnya produk pengganti (‘kawe’) yang justru mengalahkan produk orisinil itu.

4. Two-part Pricing

Kalau anda pergi ke Ancol, maka anda akan dikenakan tiket masuk.  Kemudian untuk menikmati fasilitas yang disediakan, maka anda harus membeli tiket lagi, bahkan kencing saja harus bayar.  PLN dan Telkom juga menerapkan hal yang sama.  Selain bayaran tetap (abonemen), ada pula biaya pulsa (untuk telepon) dan biaya beban pemakaian (untuk listrik).  Kalau ada dua macam harga seperti ini, maka sebaiknya harga tetap dibuat lebih rendah dari biaya variabel agar total harga tergantung pada banyaknya pemakaian.

5. Byproduct Pricing

Produksi dari beberapa barang sering menghasilkan produk sampingan.  Misalnya, produksi kopra menghasilkan batok kelapa sebagai sampingan.  Pabrik pakaian menghasilkan alas kaki (keset) dari guntingan-guntingan pakaian yang tidak terpakai.  Kalau memang produk sampingan itu punya nilai, maka harga yang ditetapkan sebaiknya sesuai dengan nilai tersebut di mata konsumen.  Apabila mendatangkan pendapatan yang berarti, maka produk sampingan dapat mengurangi harga produk utama.

6. Product-bundling pricing

Beberapa produk yang dijual sekalgus umumnya lebih murah dibanding kalau dijual satu-satu.  Misalnya, tiket terusan ke Ancol lebih murah dibanding total harga semua fasilitas.  Sering pula barang yang berbeda dikemas menjadi satu bungkusan, kemudian dijual dengan satu harga.  Katakanlah deterjen Daia 1 kg harganya Rp 7500, Giv harganya Rp 1000, dan Omo Biru harganya Rp 2500.

Ketiga merek dikemas dalam satu bungkusan kemudian dihargai Rp 10.000.  Selain merangsang konsumen untuk membeli lebih banyak, tujuan bundling pricing ini adalah untuk memperkenalkan item kurang laku, yang didomplengkan dengan item yang laku.  Produk baru sering didomplengkan dengan produk lama yang laku.

TIGA: Pertimbangan-Pertimbangan Khusus Adaptasi dan Penetapan Harga

Pada bagian pertama, kita dihadapkan pada sistematika penetapan harga awal untuk sebuah produk.  Bagian kedua dilandasi oleh sifat harga yang dinamis, sehinga kita perlu melakukan penyesuaian dan pengelolaan sesuai situasi yang dihadapi.  Persoalan yang belum dibahas pada bagian pertama dan kedua adalah pertimbangan-pertimbangan khusus dalam strategi harga, yaitu: inisiasi pemotongan dan penaikan harga (Kotler dan Keller, 2016), penetapan harga untuk pasar bisnis,  fleksibilitas harga (Cravens dan Piercy 2012), dan harga kaku ataukah harga yang dapat dinegosiasikan (Ferrel, Hartline, dan Lucas 2010).

Inisiasi Pemotongan Harga

Bayangkan sebuah situasi persaingan, dimana harga-harga sedang stabil.  Tiba-tiba sebuah perusahaan memulai pemotongan harga.  Nah, untuk perusahaan dalam posisi seperti itulah penjelasan berikut ini.

Hampir tidak ada pemotongan harga yang didorong oleh niat baik perusahaan untuk memberikan keuntungan bagi konsumen.  Motif dibaliknya umumnya adalah adanya kelebihan produksi, penurunan pangsa pasar serta keinginan untuk mendominasi pasar.

Hati-hati memulai pemotongan harga.  Yang jelas, tindakan demikian akan membangkitkan persaingan harga.  Kalau memang perusahaan kita paling kuat dan efisien beroperasi, ancaman pesaing mungkin tidak jadi masalah.  Akan tetapi, kalau perusahaan kita hanya sebagai penantang atau pengikut pasar, pemotongan harga bisa berdampak fatal, apalagi kalau pesaing merasa terancam.

Selain itu, ada beberapa resiko yang mesti dicermati, yaitu:

  1. Kesan kualitas rendah. Bisa jadi, dengan pemotongan harga, konsumen menganggap kulitas produk kita lebih rendah dari kualitas produk pesaing yang harganya lebih tinggi.
  2. Pangsa pasar yang rentan. Bisa saja dalam jangka pendek pangsa pasar meningkat, akan tetapi konsumen tidak memiliki loyalitas, sehingga mudah berpindah apabila muncul produk lain yang lebih murah.
  3. Pemiskinan diri-sendiri. Kalau pemotongan harga diikuti oleh pesaing-pesaing yang lain, apalagi perusahaan berskala lebih besar, akibatnya bisa merugikan perusahaan kalau rugi bersaing.

Menaikkan Harga

Kenaikan harga selalu diklaim oleh perusahaan karena terpaksa.  Beberapa alasan yang santer terdengar adalah inflasi dan melemahnya nilai tukar mata uang Rupiah yang berdampak pada meningkatnya biaya produksi.  Padahal, sering juga peningkatan harga didorong oleh motif mencari keuntungan, misalnya karena permintaan yang terlalu tinggi atau karena konsumen tidak punya pilihan lain.  Ini lazim dalam situasi monopoli.

Dalam situasi  bersaing, sebenarnya penaikan harga memiliki resiko berpindahnya konsumen ke produk pesaing.  Untuk menghaindari resiko itu, ada beberapa pilihan untuk menaikkan harga tanpa menaikkan price list-nya, seperti berikut ini:

  1. Mengurangi volume efektif atau isi produk. Syaratnya,  penurunan volume tidak dipedulikan konsumen serta tidak melanggar peraturan  dan etika. Sebuah permen yang beratnya 25 gr dihargai Rp 100, atau Rp 4 per gram. Setelah beratnya dikurangi menjadi 20 gram, dengan harga tetap Rp 100, sebenarnya perusahaan sudah menaikkan harga sebesar Rp 20, karena sekarang harganya menjadi Rp 5 per gram.
  2. Mengurangi layanan. Sebuah restoran yang sebelumnya menyajikan sendiri makanan di meja makan, merubah pola pemesanan dimana konsumen sendirilah yang mengambil makanan dan minuman yang dipesannya (swalayan).  Sebenarnya, secara tidak langsung, tindakan begini termasuk menaikkan harga.  Sebab, walaupun harga tetap, tetapi harga tersebut dikenakan untuk komponen produk yang lebih sedikit.
  3. Membayar di muka. Selama krisis, pembelian mobil Kijang umumnya indent selama tiga bulan.  Artinya, bayar lunas sekarang, tetapi mobil baru bisa diperoleh pembeli tiga bulan mendatang.  Sebenarnya, harga mobil bukanlah harga yang dibawarkan pembeli sekarang, akan tetapi uang yang diberikan sekarang disertai bunga uang selama jangka waktu mobil belum diserahkan.  Misalnya, harga mobil Rp 100 Juta. Bunga tabungan 12 % per tahun.  Maka, harga mobil untuk penyerahan tiga bulan yang akan datang adalah Rp 100 juta + Rp 3 juta (berupa bunga) = Rp 103 juta.
  4. Harga yang tidak mengikat. Banyak perusahaan otomotif di Indonesia memberikan daftar harga dengan catatan tambahan: harga tidak mengikat.  Kondisi ini memungkinkan perusahaan menaikkan harga sewaktu-waktu tanpa bisa diprotes oleh konsumen, terutama untuk mobil yang penyerahannya indent.  Contohnya, terjadilah deal sekarang dengan harga Rp 100 juta.  Pembeli memberikan tanda jadi Rp 2,5 juta.  Karena harga tidak mengikat, bisa saja harga menjadi Rp 105 juta saat penyerahan.  Kalau konsumen membatalkan pembelian, hilanglah tanda jadi yang dibayarkannya.
  5. Mengurangi atau menghilangkan diskon-diskon yang diberikan sebelumnya. Misalnya, selama ini diskon diberikan sebesar 30 %.  Sekarang, diskon dikurangi menjadi 27,5 %.  Sebenarnya, ini sudah menaikkan harga sebesar 2,5 %.

Penetapan Harga untuk Perantara

Pembahasan sebelumnya berkaitan dengan penetapan harga untuk konsumen akhir.  Apabila penyampaian produk dari produsen ke konsumen melalui perantara (misalnya toko), tentu harus diatur berapa harga ke perantara agar harga akhir ke konsumen yang direncanakan tercapai.  Misalnya, harga pompa air Sanyo pada konsumen akhir ditetapkan Rp 400.000.  Pompa dijual melalui toko. Perusahaan harus menetapkan berapa harga ke toko.  Apabila merek kita sudah kuat, harga ke toko bisa lebih tinggi.  Sebab, tanpa rekomendasi pihak toko pun konsumen dapat memilih produk kita. Untuk produk yang belum punya nama, harga lebih rendah dapat berfungsi sebagai insentif agar perantara (toko) merekomendasikan produk kita.  Toko tentu mengutamakan produk yang lebih menguntungkan, entah karena lebih banyak dicari konsumen atau karena marjin keuntungan toko yang lebih besar.

Penetapan Harga untuk Pasar Bisnis

Pasar bisnis ditandai oleh hubungan dekat dan terus-menerus antara penjual dan pembeli, terutama untuk produk-produk berupa bahan baku maupun komponen. Harga dari penjual merupakan komponen biaya pembeli, sehingga mempengaruhi keunggulan bersaing produk yang dihasilkan pembeli.  Apabila produk keluaran pembeli banyak terjual karena unggul, dengan sendirinya permintaan terhadap bahan baku atau komponen dari penjual juga meningkat.  Karena itu, penentuan harga, yang dalam penjelasan sebelumnya terkesan dilakukan secara sepihak oleh penjual, pada pasar bisnis, sering dilakukan bersama-sama antara penjual dan pembeli, untuk kekepntingan bersama pula.

Fleksibilitas Harga

Berdasarkan kesamaan setiap waktu dan situasi, ada dua pilihan harga, yaitu harga sama atau harga fleksible untuk semua kondisi dan situasi.  Harga tetap memberikan kepastian bagi konsumen tentang uang yang disiapkan untuk membeli produk.  Pendekatan ini juga mengefektifkan proses penciptaan citra produk maupun perusahaan.

Pada sisi lain, banyak juga perusahaan yang melakukan penyesuaian harga berdasarkan situasi yang dihadapi.  Untuk mudahnya, bayangkan tiket pesawat terbang. Harga tiket bisa berbeda dalam hitungan menit, tergantung pada permintaan.  Pada saat permintaan tinggi, harga langsung dinaikkan. Namun, pada saat sepi, harga diturunkan.

Harga Tetap Versus Harga Negosiasi

Mirip dengan poin ketiga di atas.  Perusahaan perlu memutuskan apakah kaku dengan daftar harganya ataukah dapat dinegosiasi pelanggan.  Pengenaan harga berdasarkan daftar harga secara kaku membuat semua konsumen mendapat harga yang sama. Namun, unsur insentif harga hilang dalam praktek ini, sehingga tidak dapat dipakai untuk memancing pembelian.

Harga negosiasi memunculkan unsur insentif. Daftar harga sudah ada. Yang dinegosiasikan adalah berapa diskon yang diperoleh pembeli.  Penjual memiliki limit diskon yang tersedia. Besar-kecilnya diskon tergantung pada kuat-kuatan negoasiasi antara pembeli dan penjual.  Pembeli merasa puas kalau dapat menegosiakan diskon yang besar. Namun, kepuasan tersebut dapat berkurang kalau mereka mengetahui bahwa pembeli lain memperoleh diskon lebih besar lagi.  Resiko lain, diskon menurunkan persepsi kualitas.

RINGKASAN

Pada produk baru dapat diterapkan skimming pricing maupun penetration pricing. Adaptasi harga menghasilkan  lima strategi harga, yaitu: geographical pricing, price discount and allowance, promotional pricing, discriminatory pricing dan product-mix pricing.

Price discount and allowance dapat mengambil bentuk sebagai cah-discount, quantity discount, functional-discount, seasonal-discount, allowances.

Promotional pricing memiliki variasi: loss-leader pricing, special-event pricing, cash-rebate, low-interest financing, longer payment terms, warranties and service contract, psychological discounting.

Diskriminasi harga merupakan modifikasi tingkat harga untuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan konsumen, produk, lokasi, dan lain-lain. Diskriminasi harga dapat dilakukan berdasarkan segmen, bentuk produk, lokasi, waktu.

Penetapan harga untuk sejumlah produk terdiri dari penetapan harga lini produk (product-line pricing), penetapan harga fitur opsional (optional-feature pricing), penetapan harga untuk produk yang telah dipegang (captive-product pricing), penetapan harga dua bagian (two-part pricing), penetapan harga untuk produk sampingan (byproduct pricing) dan penetapan harga untuk sekumpulan produk sekaligus (product-bundling pricing).

Pemotongan harga harus mencermati resiko yang mungkin terjadi, yaitu persaingan harga, kesan kualitas rendah, pangsa pasar yang rentan, dan pemiskinan diri-sendiri.

Kenaikan harga dapat dilakukan dengan menaikkan price-list.  Cara lainnya adalah mengurangi volume efektif produk, mengurangi layanan, membayar di muka, harga yang tidak mengikat, dan mengurangi atau menghilangkan diskon-diskon yang pernah diberikan.

Secara khusus perlu pula dipertimbangkan seberapa besar marjin harga untuk perantara, harga untuk pasar bisnis, fleksibilitas harga, dan apakah menerapkan harga tetap ataukah harga negosiasi.

Referensi

Cleland, A.S. & Bruno, A.V. (1996). The Market Value Process. San Fransico: Jossey-Bass.

Craven, D.W. & Piercy, N.F. (2012). Strategic Marketing. Teenth Edition. McGraw-Hill/Irwin, New York.

D’Aveni, R..A. (1997). Waking up to the new era of hypercompetition. The Washington Quarterly, 21(1), 183–195.  Retrieved from:  http://www.twq.com/98winter/daveni.pdf,  December 14, 2011.

Ferrel, O.C, Michael D. Hartline, dan George H. Lucas. 2010. Marketing Strategy. Second Edition. South-Western Thomson Learning, Natorp Boulevard, Mason, Ohio.

Keegan, Warren. J. 2006. Global Marketing Management. Apper Saddle River: Prentice-Hall, Inc.

Khalifa, A.S. (2004). “Customer Value: A Review of Recent Literature and An Integrative Configuration. Management Decision, Vol. 42 No.5, pp.645-66.

Kotler, P. & Amstrong, G. (2012). Principles of Marketing. Thirtenth Edition. Upper Saddle River: Prentice-Hall, Inc.

Kotler, P. & Keller, K.L. (2016). Marketing Management. Twelveth Edition. Apple-Sadle-River: Prentice-Hall, Inc.

Kotler, P. & Keller, K.L. (2012). Marketing Management. Fourtenth Edition. Pearson Education Limited, London.

Porter, Michael. 1985.  Competitive Advantage. New York: Harvard University Press.

Seige, S.H., Cagusvil, E. & Phelan, S.E. (2007). Measurement of return on marketing investment: A conceptual framework and the future of marketing metrics. Industrial Marketing Management 36, 834–841. doi:10.1016/j.indmarman.2006.11.001.

Woodruff, R. (1997).  Customer value: The next source for competitive advantage. Journal of the Academy of Marketing Science, 25 (2), 139–153.

Mengutip Postingan Sebuah Blog

Istilah website umumnya dialamatkan untuk situs yang halaman-halamannya bersifat statis. Website bisnis, misalnya, terdiri dari uraian tentang profil, sejarah, visi dan misi, dan produk-produk yang ditawarkan. Website tidak mengutamakan kebaruan konten untuk menarik pembaca.

Blog adalah sebuah tipe website yang kontennya sering di-update, sekalipun ada juga yang mengombinasikan postingan berkala dengan halaman statis. Yang menonjol pada blog adalah terasanya unsur personal pengelola.  Sebagai contoh, kita bandingkan tmcblog.com dan otomotifnet.com. Keduanya merupakan website  otomotif. Bedanya adalah tmcblog.com dikelola atas nama pribadi dan karenanya kita sebut sebagai blog, sedangkan otomotif.net dikelola oleh sebuah badan usaha dan karena itu kita sebut online otomotif newspaper.

Bagaimana mengutip sebuah blog? Misalkan kita mengutip artikel ini. Data-data yang kita peroleh adalah:

  • Judul tulisan: Alasan Kawasaki KLX230SM tidak pakai nama ” D-Tracker“
  • Penulis: Muhammad Taufik
  • Nama blog: Tmcblog.com
  • Jenis blog: Blog Otomotif
  • Link: https://tmcblog.com/2022/06/14/alasan-kawasaki-klx230sm-tidak-pakai-nama-dtracker/

APA 

Taufik, M. (2022, June 14). Alasan Kawasaki KLX230SM tidak pakai nama ”Tracker“. Tmcblog.Com [Automotive blog]. https://tmcblog.com/2022/06/14/alasan-kawasaki-klx230sm-tidak-pakai-nama-dtracker/

MLA

Taufik, Muhammad. “Alasan Kawasaki KLX230SM Tidak Pakai Nama ”Tracker“.” Tmcblog.Com, 14 June 2022, https://tmcblog.com/2022/06/14/alasan-kawasaki-klx230sm-tidak-pakai-nama-dtracker/.

ASA

Taufik, Muhammad. 2022. “Alasan Kawasaki KLX230SM Tidak Pakai Nama ”Tracker“.” Tmcblog.Com. Retrieved (https://tmcblog.com/2022/06/14/alasan-kawasaki-klx230sm-tidak-pakai-nama-dtracker/).

Chicago

Taufik, Muhammad. “Alasan Kawasaki KLX230SM Tidak Pakai Nama ”Tracker“.”  Tmcblog.Com (Automotive blog), June 14, 2022. https://tmcblog.com/2022/06/14/alasan-kawasaki-klx230sm-tidak-pakai-nama-dtracker/.