Citra diri (self-image) adalah sebuah gambaran siapa saya (who I am). Citra diri dapat berupa siapa saya menurut saya (private-self image), dan siapa saya menurut orang lain yang saya tangkap atau persepsi saya tentang gambaran orang lain kepada saya (social self-image). Private self-image bisa berbeda jauh dari sosial self-image. Ada orang yang lebih mengutamakan private-self image, adapula yang lebih fokus pada social self-image. Kalangan yang melakukan flexing lebih mengutamakan social self-image. Orang yang tampak kumal padahal kaya lebih mengutamakan private-self image.

Salah satu cara mendefinisikan citra diri (private self-image dan social self-image) adalah dengan mengetahui kedudukan sosial, dengan mana seseorang dapat menilai lebih tinggi, sama atau lebih rendah dibanding seseorang atau kelompok yang dijadikan rujukan.

Kedudukan seseorang dalam sistem sosial (disebut social position) tidak terjadi begitu saja (secara acak), namun didasarkan pada suatu struktur (Turkay & Yetim, 2018). Posisi seseorang dalam struktur dimaksud ditentukan berdasarkan status sosial, yaitu total nilai sosial yang dimiliki seseorang, dengan mana orang tersebut diperingkatkan (Schiffman & Kanuk, 2012).

Nilai sosial  adalah kekaguman (admiration),  penghargaan (respect), dan rasa hormat (deference) yang diperoleh individu dalam lingkungan sosialnya (Anderson et al., 2015). Individu yang memiliki nilai sosial tinggi (dikagumi, dihargai, dihormati) yang menghasilkan status sosial tinggi, dengan mana orang tersebut ditempatkan pada bagian atas struktur sosial. Sebaliknya dengan individu yang memiliki status sosial rendah.

Banyak sumber status sosial, namun menurut Dinwiddie (2010), status sosial dapat diperoleh melalui usaha seseorang (ahieved status), bisa pula diwariskan (inherited status). Secara spesifik, status sosial yang diusahakan (achieved status) dapat diperoleh dari kekayaan (well-being), penghargaan atau kebanggaan diri (self-esteem),  dan kesehatan fisik dan mental (Anderson et al., 2015). Menurut Kwan et al. (2009), tiga sumber utama penghargaan atau kebanggaan diri (self-esteem) adalah: kebajikan, prestasi, dan bias. Kebajikan menyangkut gaya hidup positif dan memandang diri-sendiri dan orang lain secara positif (kebajikan tinggi). Prestasi adalah pencapaian (accomplishment). Bias terkait  dengan pandangan sendiri terhadap diri sendiri (bisa positif, bisa negatif). Orang yang merasa diri jelek padahal cantik adalah bias positif.

Status sosial yang diusahakan (achieved status) tidak datang dengan sendirinya, akan tetapi harus diperjuangkan. Banyak cara individu menciptakan status sosial. Salah satu cara adalah dengan mengonsumsi produk simbolik atau produk yang menunjukkan siapa anda menurut anda (private-self image) dan orang lain (social self-image) (Solomon, 2018). Social self-image dibentuk melalui proses yang disebut symbolic interactionism (Hall, 2007).

Salah satu sumber status sosial yang dikomunikasikan secara simbolik adalah barang atau jasa yang dimiliki atau dikonsumsi. Pada tahun 1953, Veblen menyatakan bahwa konsumsi dapat digunakan untuk menunjukkan superioritas terhadap teman. Dengan kata lain, seseorang dapat memperjuangkan status sosial melalui konsumsi. Konsumsi demikian dinamakan konsumsi status.

Pada tahun 1999, Eastman et al.  merumuskan konsumsi status sebagai proses motivasional dengan mana seseorang berusaha meningkatkan kedudukan sosial melalui konsumsi produk-produk konsumen yang tampak pada orang lain (conspicuous consumption) yang menjamin (confer) dan menyimbolkan status individu dan orang-orang penting (significant others) di sekitarnya. Selengkapnya mereka katakan:

“… we define status consumption as the motivational process by which individuals strive to improve their social standing through conspicuous consumption of consumer products that confer and symbolize status both for the individual and surrounding significant others” (page 42).

Dalam definisi tersebut, proses motivasional artinya adalah proses yang dilakukan secara sadar dan beralasan atau memiliki motif. Artinya, konsumsi status bukan tindakan spontan, tetapi dilakukan dengan memenuhi kebutuhan, mencapai tujuan atau karena suatu alasan. Motif adalah tingkat kebutuhan, tujuan atau alasan yang cukup untuk menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu perilaku (Schiffman & Kanuk, 2012).

Pada tahun 2015, Eastman dan Eastman memperbaharui pandangan mereka, bahwa: (1) konsumen berusaha meningkatkan kedudukan sosial (social standing) karena alasan sosial (external reasons) dan personal (internal reasons), (2) motivasi eksternal dan internal inilah yang membuat konsumen tertarik pada status konsumsi, dan (3) konsumsi status bisa dilakukan secara sadar (conspicuous) dan tidak sadar (unconspicious). Dengan pemikiran baru ini, Eastman dan Eastman (2015) merumuskan kembali definisi konsumsi status sebagai keinginan konsumen untuk meningkatkan kedudukan sosial (social standing) maupun diri-sendiri (self-standing) dengan melakukan konsumsi produk-produk konsumen yang mungkin tampak (conspicuous) dan menyatakan (confer) dan melambangkan (symbolize) status individu dan orang-orang penting di sekitarnya (significant others). Selengkapnya mereka katakan:

“Status Consumption is the interest a consumer has to improve one’s social and/or self- standing through consumption of consumer products that may be conspicuous and that confer and symbolize status for the individual and surrounding significant others.”

Selain memperbaharui defini, Eastman dan Eastman (2015) juga menggagas model konsumsi status (Gambar 1).

Gambar 1. Model Konsumsi Status

Sumber: Eastman, J. K., Goldsmith, R. E., & Flynn, L. R. (1999). Status Consumption in Consumer Behavior: Scale Development and Validation. Journal of Marketing Theory and Practice, 7(3), 41–52. https://doi.org/10.1080/10696679.1999.11501839

Model Eastman dan Eastman (2015) (Gambar 1) menunjukkan bahwa konsumsi status  digerakkan oleh kebutuhan akan status (need for status). Status ada dua, yaitu menurut kedudukan saya di mata saya (self-standing) dan menurut kedudukan sosial saya (social status). Kebutuhan akan status inilah yang memicu konsumsi status. Apabila cukup kuat, kebutuhan akan berfungsi sebagai motif. Kalau lemah, kebutuhan bisa dilupakan atau dikalahkan kebutuhan lain yang lebih penting.

Motif adalah tingkat kebutuhan, tujuan dan alasan yang cukup untuk menggerakkan seseorang melakukan konsumsi status (Schiffman dan Kanuk 2012). Dalam hubungan dengan konsumsi status, motif konsumsi status dapat bersifat internal dan eksternal atau keduanya. Motif internal (hedonisme, menghadiahi diri sendiri, perfeksionisme) menghasilkan konsumsi pribadi (private consumption) dan subtle consumption (konsumsi barang-barang yang tidak menonjolkan penanda, seperti logo atau merek). Tujuannya adalah meningkatkan self-standing, yaitu penghargaan terhadap diri sendiri yang tidak bergantung pada persepsi orang lain. Motif eksternal menghasilkan public consumption (konsumsi di depan publik) atau conspicuous consumption (konsumsi produk yang penandanya jelas, seperti logo dan merek) (Eastman & Eastman, 2015).

Gambaran tentang siapa saya bisa menurut saya (private elf-image) dan menurut orang lain (social self-image). Apabila dikaitkan dengan motif konsumsi status, private self-image berkaitan dengan motif internal, sedangkan social self-image berkaitan dengan motif eksternal. Secara internal, konsumsi status motif adalah menghadiahi diri sendiri (self-reward). Motivasi internal adalah penghargaan diri (self-esteem and self-respect) (Truong et al., 2008) dan menghadiahi diri sendiri (self-gift) (O’Cass & McEwen, 2004) atau untuk memperoleh kesenangan (motif hedonik), atau memastikan kualitas produk (perfeksionisme) (Eastman & Eastman, 2015) (Gambar 1).

Secara eksternal, konsumsi status berkaitan dengan hubungan antar pribadi (interpersonal relationship) dan bersifat ekstrinsik. Merujuk pada Leibenstein (1950), Eastman dan Eastman (2015) membagi motif eksternal ke dalam tiga kategori, yaitu Veblen, Snob dan Bandwagon (Gambar 1). Veblen effect adalah keinginan menunjukkan superioritas diri dibanding teman-teman. Snob effect citra diri yang unik atau bukan orang biasa-biasa saja. Bandwagon effect (efek ikut-ikutan) adalah  diartikan sebagai kecenderungan individu untuk mengadopsi sudut pandang mayoritas meskipun sudut pandang mereka sendiri berbeda (the propensity of an individual to adopt the viewpoint of the majority even if their own viewpoint is different) (Bindra et al., 2022). Secara lebih spesifik, motif eksternal, antara lain adalah melancarkan sinyal  kekayaan (O’Cass & McEwen, 2004) untuk meningkatkan status sosial (Eastman et al., 1999), memperoleh prestis sosial (O’Cass & Frost, 2002) dan membuat iri (to envy) orang lain (Truong et al., 2008). Sinyal kekayaan itu dipancarkan melalui konsumsi produk-produk status (status products).

Wait a moment. Produk status tidak hanya perlu memenuhi motif eksternal, akan tetapi juga motif internal. Dengan kata lain, motif internal dan eksternal sama-sama membutuhkan produk status. Produk status identik dengan produk mewah. Kemewahan produk mungkin berbeda antar individu, namun umumnya terkait dengan sensualitas (sensuality), kemegahan (splendor), kesenangan (pleasure), dana besar yang dikucurkan untuk memperolehnya (extravagance), kualitas premium (premium quality), desain estetika (aesthetic design), pembuatan yang dikerjakan oleh tangan-tangan ahli (crafmanship), kelangkaan (rarity), keluar-biasaan (extraordinariness), dan nilai simbolik (symbolic meaning). Konsumsi produk mewah (luxury consumption) adalah konsumsi yang dilakukan individu untuk meningkatkan prestis (prestige) atau tingkat status (status level) mereka.

Dalam konsumsi produk status, individu lebih mengutamakan nilai simbolik daripada nilai emosional berorientasi internal (liking) dan nilai fungsional produk (Eastman & Eastman, 2015). Artinya, produk status ditandai oleh lebih menonjolnya nilai simbolik dari pada nilai emosional berorientasi internal dan nilai fungsional produk. Bahkan, banyak produk dibeli semata-mata karena nilai simboliknya, seperti terlihat pada video ini.

Referensi

  1. Anderson, C., Hildreth, J. A. D., & Howland, L. (2015). Is the desire for status a fundamental human motive? A review of the empirical literature. Psychological Bulletin, 141(3), 574–601. https://doi.org/10.1037/a0038781
  2. Bindra, S., Sharma, D., Parameswar, N., Dhir, S., & Paul, J. (2022). Bandwagon effect revisited: A systematic review to develop future research agenda. Journal of Business Research, 143, 305–317. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2022.01.085
  3. Dinwiddie, G. Y. (2010). Social Status. In International Encyclopedia of Education (3rd ed.). ScienceDirect.
  4. Eastman, J. K., & Eastman, K. L. (2015). Conceptualizing a model of status consumption theory: An exploration of the antecedents and consequences of the motivation to consume for status. The Marketing Management Journal, 15(1).
  5. Eastman, J. K., Goldsmith, R. E., & Flynn, L. R. (1999). Status Consumption in Consumer Behavior: Scale Development and Validation. Journal of Marketing Theory and Practice, 7(3), 41–52. https://doi.org/10.1080/10696679.1999.11501839
  6. Hall, P. M. (2007). Symbolic Interaction. In G. Ritzer (Ed.), The Blackwell Encyclopedia of Sociology (1st ed.). Wiley. https://doi.org/10.1002/9781405165518.wbeoss310
  7. Kwan, V. S. Y., Kuang, L. L., & Hui, N. H. H. (2009). Identifying the Sources of Self-esteem: The Mixed Medley of Benevolence, Merit, and Bias. Self and Identity, 8(2–3), 176–195. https://doi.org/10.1080/15298860802504874
  8. Leibenstein, H. (1950). Bandwagon, Snob, and Veblen Effects in the Theory of Consumers’ Demand. The Quarterly Journal of Economics, 64(2), 183. https://doi.org/10.2307/1882692
  9. O’Cass, A., & Frost, H. (2002). Status brands: Examining the effects of non‐product‐related brand associations on status and conspicuous consumption. Journal of Product & Brand Management, 11(2), 67–88. https://doi.org/10.1108/10610420210423455
  10. O’Cass, A., & McEwen, H. (2004). Exploring consumer status and conspicuous consumption. Journal of Consumer Behaviour, 4(1), 25–39. https://doi.org/10.1002/cb.155
  11. Schiffman, L. G., & Kanuk, W. (2012). Consumer Behavior. Pearson Prentice-Hall.
  12. Solomon, M. R. (2018). Consumer Behavior: Buying, Having, and Being (12th ed.). Pearson.
  13. Truong, Y., Simmons, G., McColl, R., & Kitchen, P. J. (2008). Status and Conspicuousness – Are They Related? Strategic Marketing Implications for Luxury Brands. Journal of Strategic Marketing, 16(3), 189–203. https://doi.org/10.1080/09652540802117124
  14. Turkay, H., & Yetim, A. A. (2018). The Relationship between Social Status and Sports. International Journal of Sports and Physical Education, 4(1). https://doi.org/10.20431/2454-6380.0401003
  15. Veblen, T. (1953). The Theory of Leisure Class. Mentor. https://moglen.law.columbia.edu/LCS/theoryleisureclass.pdf