Sistematika Penetapan Harga

DAFTAR ISI

Langkah I: Analisis Situasi Pasar

  1. Bentuk Pasar
  2. Perilaku Konsumen [Elastisitas Permintaan terhadap Harga|Sensitivitas Harga|Interval dan Preferensi Harga Konsumen]
  3. Analisis Persaingan

Langkah II: Identifikasi Faktor Pembatas Harga
Langkah III: Menetapkan Sasaran
Langkah IV: Analisis Potensi Keuntungan
Langkah V: Menetapkan Harga Awal [Penetapan Harga Berdasarkan Pasar|Penetapan Harga Berdasarkan Biaya|Penetapan Harga Berdasarkan Harga Pesaing]
Langkah VI: Mengelola Harga
Ringkasan

Dalam ekonomi mikro, harga sering digambarkan dalam persamaan: P = 80 + aQ, di mana P=harga, a=koefisien, dan Q=volume permintaan.  Dalam persamaan tersebut harga ditetapkan berdasarkan tingkat permintaan.  Tidak diperlukan proses yang rumit dalam menetapkan harga.  Apakah sesederhana itu?

Penetapan harga dapat dilakukan dengan cara  sederhana (misalnya metoda sekenanya) sampai rumit (misalnya menggunakan persamaan multivariate).  Memang tidak ada metoda dan rumus baku dalam menetapkan harga. Namun, seorang pemasar perlu memperhatikan berbagai variabel dalam penetapan harga dan menggunakan pengalaman sebagai masukan.  Adapun langkah-langkah penetapan harga adalah sebagai berikut:

1. Analisis Situasi Pasar

Aspek paling penting dari analisis situasi pasar adalah memahami hubungan permintaan dan harga.  Dalam berbagai kasus, harga berpengaruh signifikan terhadap permintaan. Pada beberapa kasus tidak signifikan.  Terdapat berbagai variabel yang berpengaruh terhadap hubungan antara antara harga dan permintaan, seperti:

  • Bentuk pasar (pasar persaingan sempurna, monopolistik, oligopolistik, monopoli)
  • Perilaku konsumen
  • Faktor pesaing.

Faktor pesaing perlu dipertimbangkan kalau pasar berbentuk oligopolistik. Sebagai sebuah sifat, oligopolistik bisa dimiliki oleh penjual mana saja manakala antar penjual saling mengintip dan bereaksi (misalnya keberatan pada harga lebih murah pesaing) pada harga penjual lain.

2. Identifikasi Faktor-faktor Pembatas

Faktor pembatas adalah faktor-faktor yang membatasi keleluasaan perusahaan dalam menetapkan harga atau yang membuat perusahaan tidak semaunya menetapkan harga.  Termasuk di antaranya adalah:

  • Biaya
  • Peraturan pemerintah
  • Kepentingan  perantara
  • Daur hidup produk
  • Jenis persaingan
  • Positioning dan bauran produk
  • Etika

3. Tetapkan Sasaran

Tidak seorang pun akan menyangkal bahwa sasaran penetapan harga adalah keuntungan. Untuk itu, logikanya, harga harus lebih tinggi dari biaya. Mungkinkah dibuat sebaliknya: harga lebih rendah dari biaya? Kenapa tidak? Adakalanya dalam penetapan harga perusahaan tidak memprioritaskan keuntungan. Jual rugi pun bisa saja dilakukan demi sasaran lain.

Sasaran penetapan harga dapat berupa:

  • Meraih keuntungan
  • Return on investment
  • Payback period
  • Meraih market share
  • Menciptakan perceived quality
  • Menghabiskan stok lama
  • Menjatuhkan pesaing
  • Survival

Sasaran ini dapat berubah dari waktu ke waktu. Harga juga berubah mengikuti perubahan sasaran.

4. Analisis Potensi Keuntungan

Apapun sasarannya, perusahaan harus siap akan keuntungan ataupun kerugian pada setiap skenario harga yang ditetapkannya.  Harga, permintaan, biaya, dan keuntungan adalah variabel-variabel yang terkait satu sama lain. Dari analisis pasar, perusahaan dapat:

  • Memperkirakan  permintaan pada setiap tingkat harga yang mungkin diterapkan
  • Mengestimasi tingkat-tingkat produksi untuk memenuhinya
  • Memerinci biaya pada setiap tingkat produksi.
  • Menghitung keuntungan pada setiap tingkat permintaan.

5. Tentukan harga awal

Setelah sifat-sifat pasar diketahui, faktor pembatas dikenali, sasaran ditetapkan, dan potensi keuntungan dianalisis, tibalah saatnya menetapkan harga awal. Tentu harus disepakati dulu bahwa yang dinamakan harga awal adalah harga pertama produk yang baru diluncurkan. Ada hukum tidak resmi penetapan harga yang diperoleh dari akumulasi pengalaman.  Pertama, kalau kualitas sudah produk standar dan harga antar produk yang sudah ada di pasaran seragam, ikuti saja harga yang berlaku.  Misalnya, PT. Hanaehan Jaya ingin menetapkan harga air dalam kemasan produksi mereka. Ikuti saja harga yang berlaku. Kedua, kalau produk unik dan tidak ada bandingan, tetapkan harga setinggi mungkin sepanjang masih mampu dibeli konsumen.  Misalnya, dokter Jenny Norita berhasil membuat  dan mempatenkan obat anti-AIDS.  Satu slot berisikan 12 tablet  sudah cukup untuk menyembuhkan AIDS dengan pemakaian tiga tablet satu hari.  Pertanyaannya, berapa harga satu slot? Dua puluh juta, lima puluh juta, seratus juta? Tergantung pada berapa yang masih terbeli konsumen.

6. Kelola harga

Lingkungan selalu berubah.  Dengan sendirinya harga juga demikian.  Berapa besar harga dinaikkan atau diturunkan, bagaimana caranya, kapan dilakukan, merupakan pertanyaan-pertanyaan terkait perubahan harga yang harus dijawab dari waktu ke waktu.  Contohnya, pada saat krisis ekonomi menghantam Indonesia akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an, apakah harga dinaikkan, tetap sama, ataukah diturunkan.  Logikanya, dengan kenaikan biaya akibat inflasi, harga perlu dinaikkan. Namun, pada saat yang sama daya beli masyarakat juga melemah.

Kenaikan harga dan penurunan daya beli merupakan kombinasi yang menurunkan permintaan.  Bagaimana kalau diturunkan? Keputusan demikian tentu aneh dari sisi keuntungan finansial. Namun, kalau dari sisi penetrasi pasar, penurunan harga merupakan taktik yang tepat pada saat  konsumen sensitif terhadap harga akibat daya beli yang menurun.

Langkah I: Analisis Situasi Pasar

Titik awal penetapan harga adalah pengenalan akan bentuk pasar, elastisitas permintaan terhadap harga dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, kurva permintaan, dan perilaku pesaing.

1. Bentuk Pasar

Bentuk pasar berpengaruh terhadap keleluasaan sebuah perusahaan dalam menetapkan harga. Beberapa bentuk pasar yang dikenal adalah persaingan sempurna, monopolistik, oligopolistik, dan monopoli.

Pasar Persaingan Sempurna  Pasar terdiri dari banyak penjual dan banyak pembeli dengan produk seragam atau serupa (uniform).  Tidak ada penjual maupun pembeli yang dapat mempengaruhi harga.  Seorang penjual tidak bisa menetapkan harga di atas harga yang berlaku karena para pembeli dapat membeli produk lain pada harga yang berlaku sebanyak yang mereka mau.  Menetapkan harga di bawah harga pasar juga merupakan kebodohan karena perusahaan dapat menjual produk pada harga yang berlaku (yang lebih tinggi) sebanyak yang dia mau.  Dalam pasar yang begini ini, riset pemasaran, manajemen produk, manajemen harga, dan kampanye promosi tidak ada gunanya. Pasar diatur oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan (invisible hands). Perusahaan tinggal mengikuti saja.

Pasar Monopolistik  Pasar terdiri dari banyak penjual dan banyak pembeli.  Tidak seperti pasar persaingan sempurna yang memiliki harga seragam, pada pasar ini, harga beragam dan berjenjang, sehingga dapat diurutkan mulai harga terendah sampai tertinggi.  Keberagaman harga ini disebabkan adanya kesempatan mendiferensiasi produk.  Sebuah perusahaan memiliki kesempatan membuat harga (price maker) berbeda dari produk-produk lain, asalkan menawarkan manfaat (benefit) berbeda pula.

Pasar Oligopolistik  Hanya ada sedikit penjual.  Perusahaan (penjual) yang satu sangat sensitif terhadap harga dan strategi pemasaran perusahaan lain. Produk bisa seragam (semen, baja, minyak sawit), bisa pula beranekaragam (komputer, mobil, sepeda motor).  Sedikitnya penjual disebabkan oleh hambatan masuk yang tinggi. Bayangkan pabrik semen. Berapa ratus milyar diperlukan untuk mendirikannya?

Sama seperti pada pasar monopolistik, dalam pasar oligopolistik, penjual bertindak sebagai price maker.  Namun, penetapan harga harus dilakukan penuh perhitungan karena pemain-pemain lain sensitif terhadap setiap gerakan yang dilakukan seorang penjual, apalagi kalau gerakan tersebut bersifat bermusuhan (hostile). Amati saja promosi harga operator-operator telepon seluler, bukankah menyerang satu sama lain?

Para pemain yang disebut juga oligopolis sadar betul akan potensi permusuhan (retaliation) ini.  Untuk menghindarinya mereka melakukan kerjasama untuk kepentingan bersama, secara resmi maupun tidak.  Melalui kerjasama itu mereka bisa menetapkan harga bersama serta membagi-bagi pasar.  Kerjasama demikianlah yang disebut Kartel. Kebanyakan di antaranya merugikan konsumen.  Asosiasi Pengusaha Semen Indonesia (APSI) merupakan salah satu contoh. Pada masa Suharto organisasi ini sering menciptakan kelangkaan semen untuk mendongkrak harga yang disebut harga pedoman setempat (HPS).  Caranya, semen ditumpuk di gudang, sehingga persediaan semen di pasaran berkurang. Dengan sendirinya terjadilah kenaikan harga.

Pasar Monopoli  Hanya ada satu penjual sedangkan pembeli banyak. Ada tiga kemungkinan tipe penjual, yaitu pemerintah melalui BUMN (state-owned company), swasta yang diatur dengan undang-undang (regulated-private company), dan swasta yang tidak diatur dengan undang-undang (unregulated-private company).  Untuk tipe pertama dan kedua, penetapan harga harus atas persetujuan pemerintah.  Jadi perusahaan berkedudukan sebagai price taker.

Untuk tipe ketiga, perusahaan berkedudukan sebagai price maker karena dapat menetapkan sendiri harga produknya. Namun tidak serta merta mentang-mentang sendirian, penjual dapat seenaknya menetapkan harga setinggi-tingginya.

Harga yang terlalu tinggi, selain sulit terjangkau konsumen, tentu dapat memancing campur tangan pemerintah.  Lagi pula harga yang lebih rendah memang diperlukan untuk mempercepat penetrasi pasar.

2. Perilaku Konsumen

a. Elastisitas Permintaan terhadap Harga

Secara umum harga berkorelasi negatif dengan permintaan. Dengan kata lain, semakin tinggi, semakin sedikit jumlah produk yang dibeli konsumen.  Memang, terdapat kekecualian pada produk-produk tertentu, di mana semakin tinggi harga sampai batas tertentu, permintaan semakin tinggi pula (Gambar A).  Seperti terlihat pada Gambar A, saat harga dinaikkan dari P1 ke P2, permintaan justru naik dari Q1 ke Q2.  Anggaplah P2 sebagai titik balik. Di atas harga itu, kenaikan harga akan menurunkan permintaan. Kenaikan harga dari P2 ke P3 misalnya, menurunkan permintaan dari Q2 ke Q3.

Katakanlah hubungan permintaan dan harga diketahui berkorelasi negatif.  Yang penting bagi para pemasar adalah bagaimana kepekaan konsumen terhadap perubahan harga. Pada berbagai kategori produk konsumen sangat sensitif terhadap harga. Contohnya, saat tiket pesawat dinaikkan sampai 150% saat awal krisis ekonomi melanda Indonesia, jumlah penumpang menurun drastis.  Namun, pada masa-masa liburan anak sekolah maupun hari-hari besar keagamaan, kenaikan harga 200% pun tidak menyurutkan permintaan. Pada masa-masa demikian, permintaan tinggi dan konsumen tidak peka terhadap kenaikan harga.

Kepekaan konsumen terhadap dinyatakan sebagai elastisitas permintaan terhadap harga.  Konsep ini menyatakan seberapa besar perubahan permintaan yang diakibatkan oleh perubahan harga.  Kalau harga berubah  10%, berapa persen permintaan berubah? Secara lebih terperinci, kalau harga naik 10%, berapa persen penurunan permintaan? Kalau harga turun 10%, berapa persen kenaikan permintaan? Katakanlah permintaan naik  20% kalau harga turun 10%, berarti elastisitas permintaan adalah 20%/10%=2.  Apabila elastisitas lebih besar dari 1 (ε>1), maka hubungan permintaan dan harga dinyatakan elastis, di bawah 1 (ε<1) inelastis, dan ε=1 antara elastis dan inelastis.

Secara visual, permintaan elastis ditunjukkan oleh Gambar B.  Pada gambar tersebut terlihat bahwa kurva permintaan cenderung melandai.  Elastisitas ditunjukkan oleh tanda panah perubahan Q1 ke Q2 yang lebih panjang dari tanda panah perubahan P1 ke P2.  Hal berarti bahwa dengan perubahan harga yang sedikit saja, maka permintaan berubah lebih besar.

Permintaan inelastis diilustrasikan Gambar C, di mana kurva permintaan cenderung curam.  Perubahan harga yang lebih besar (ditunjukkan oleh tanda panah perubahan P1 ke P2), direspon oleh perubahan permintaan yang lebih kecil (ditunjukkan tanda panah perubahan Q1 ke Q2).

Ilustrasi dengan Gambar B dan Gambar C di atas sebenarnya dapat menyesatkan sebab landai atau curamnya kurva ditentukan oleh satuan dimensi harga (P) dan permintaan (Q) yang dipakai.  Namun, sebagai ilustrasi cukuplah.  Penentuan elastis-tidaknya permintaan harus dicari secara matematis, yang ditunjukkan dalam persamaan berikut.   Dalam persamaan tersebut, elastisitas dinyatakan dengan ε, harga dengan P dan permintaan dengan Q.

Kalau perubahannya kecil, yang biasa dikatakan mendekati nol, maka elastisitas dinyatakan sebagai turunan pertama suatu persamaan.

Contoh soal 1.  Harga tiket pesawat Lion Air saat ini adalah Rp 750.000 untuk jurusan Jakarta – Medan.  Pada  tingkat harga demikian, jumlah tiket yang terjual per bulan adalah 10000 tiket.  Kalau harga diturunkan menjadi Rp 60.000 diperkirakan jumlah tiket terjual adalah 15.000 tiket. Carilah elastisitas permintaan terhadap harga tiket.

Jawab:

P1=Rp 750.000, Q1=10.000, P2=Rp 600000, Q2=15.000, ΔP=600.000-750.000 = -150.000, ΔQ=15.000-10.000=5.000. Jadi, ε=5.000/(-150.000) X 750.000/10.000 = |-2,5| = 2.5 (elastis).

Catatan: Tanda negatif pada nilai elastisitas di atas tidak berkaitan dengan elastisitas permintaan terhadap harga. Tanda itu hanya menyatakan bahwa permintaan berkorelasi negatif dengan harga. Nilai elastisitas sendiri adalah harga mutlak, sehingga walaupun hasil perhitungan adalah -2.5, namun elastisitas dianggap 2.5.

Contoh soal 2:

Harga tiket pesawat Lion Air saat ini adalah Rp 750.000 untuk jurusan Jakarta – Medan.  Pada  tingkat harga demikian, jumlah tiket yang terjual per bulan adalah 10000 tiket.  Pada maskapai tersebut, untuk jurusan itu, hubungan antara permintaan dan harga dinyatakan oleh persamaan: Q = 20000 – 0.013P.  Berapakah elastisitas permintaan terhadap harga?

Jawab:

ε=ΔQ/Δ X P/Q

ε=  – 0.013 X 750.000/10.000 = |- 0.975| = 0.975 (inelastis)

Elastisitas dan Penerimaan   Pemahaman akan elastisitas membantu pemasar untuk menetapkan harga yang menghasilkan penerimaan optimal.  Apabila permintaan inelastis, penurunan harga hanya akan menurunkan penerimaan.  Contoh berikut ini merupakan permintaan yang inelastis.  Pada saat harga tiket Jakarta – Bali Rp 500.000, maskapai penerbangan Star Air dapat menjual 5000 tiket per bulan.  Ketika harga diturunkan menjadi Rp 400.000 (penurunan 20%), tiket yang terjual meningkat menjadi 5500 tiket (kenaikan 10%).  Tentu elastisitas=0.5 (inelastis).

Bagaimana dengan penerimaan?  Sebelum penurunan harga tiket, penerimaan total adalah 500.000 X 5.000 = Rp 2.500.000.000.  Setelah harga tiket diturunkan, penerimaan adalah: 400.000 X 5.500 = Rp 2.200.000.000.  Terjadi penurunan penerimaan sebesar Rp 300.000.

Pada permintaan yang elastis, penurunan harga dapat menaikkan penerimaan serta penaikan harga dapat menurunkan permintaan. Pada contoh 1 di atas, penerimaan sebelum perubahan harga adalah: 750.000 X 10.000 = Rp 7.500.000.000.  Setelah harga diturunkan, penerimaan menjadi: 600.000 X 15.000 = Rp 9.000.000.000. Naik Rp 1.500.000.

Implikasi dari ilustrasi ini adalah: pada saat permintaan inelastis, janganlah jadikan penurunan harga dalam segala bentuknya (misalnya diskon, subsidi uang muka, pengembalian kas, bunga ringan) sebagai daya tarik promosi karena takkan menggerakkan hati konsumen. Lakukanlah praktek-praktek demikian bila permintaan elastis terhadap harga.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Elastisitas terhadap Harga

Gampang memang bicara elastisitas karena hanya menyangkut sebuah rasio. Yang sulit adalah memperoleh rasio itu.  Perusahaan tidak selalu memiliki informasi tentang hubungan antara perubahan permintaan dan perubahan harga.  Bahkan perusahaan besar seperti Unilever sulit menjawab pertanyaan berapa elastisitas permintaan Blue Band terhadap harga.  Masalahnya, harga Blue Band berbeda dari satu warung ke warung lain, supermarket ke supermarket lain, serta toko ke toko lain.  Lalu, konsumen yang membeli juga beragam.  Perusahaan sulit mengidentifikasi mana pembeli yang terpengaruh oleh harga mana yang bukan.

Kenapa masalah pembeli dibicarakan dalam konsep elastisitas?  Karena, elastisitas menyatakan kepekaan konsumen terhadap perubahan harga.  Oleh karena itu, kalau data elastisitas tidak tersedia, para pemasar dapat menggunakan informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi sensitifitas harga untuk memperkirakan elastisitas, seperti:

    • Harapan pembeli. Dalam benaknya, terhadap setiap produk yang dikenalnya, setiap pembeli mempunyai batas terendah dan tertinggi harga yang dianggap layak.  Batas tersebut terbentuk berdasarkan pengalaman masa lalu, harga merek favorit, imajinasi sendiri, dan daya beli.  Apabila masih ada dalam batas, pembeli kurang sensitif terhadap harga.  Misalnya, untuk ukuran botol sedang (600 ml), harga air minum dalam kemasan adalah antara Rp 1500 sampai Rp 2500, tidak antara Rp 500 sampai Rp 10.000.  Selama masih dalam batas tersebut, pembeli kurang sensitif terhadap perubahan harga. Jadi, kalau harga Prima yang sebelumnya Rp 1.500 dinaikkan menjadi Rp 2.000, penaikan harga ini tidak disertai oleh penurunan permintaan secara signifikan.
    • Nilai yang unik pada produk. Semakin tinggi keunikan suatu produk, pembeli semakin kurang sensitif terhadap harga. Contohnya adalah barang-barang antik.
    • Kesadaran tentang barang pengganti. Apabila sadar akan adanya barang pengganti, pembeli sensitif terhadap harga. Pemilik mobil sensitif terhadap harga pertamax karena dengan sedikit penanganan (misalnya mencampurkan zat peningkat oktan), premium dapat digunakan sebagai pengganti. Coba kalau premium bersubsidi tidak ada, mau tidak mau pembeli membeli pertamax.
    • Sulit dibandingkan. Apabila atribut suatu produk sulit dibandingkan dengan produk lain, pembeli kurang sensitif terhadap harga.
    • Pengeluaran total. Semakin tinggi pengeluaran untuk memperoleh produk, baik dalam bentuk uang, tenaga, pikiran, dan waktu, pembeli semakin sensitif terhadap harga.  Semakin besar porsi pengeluaran terhadap tabungan, pembeli semakin sensitif terhadap harga.  Misalnya, Jono membeli televisi layar datar ukuran 29 inci yang harganya berkisar Rp 2.500.000 sampai Rp 5.000.000. Saldo tabungannya mencapai Rp 5.000.000.  Jane juga ingin membeli barang yang sama, tetapi saldo tabungannya mencapai  000.000. Tentu Jono lebih sensitif terhadap harga dibanding Jane.
    • Penanggulangan biaya. Pembeli kurang sensitif terhadap harga apabila sebagian biaya ditangung pihak lain.

  • Investasi yang telah ditanamkan. Pembeli kurang sensitif terhadap harga apabila pembelian produk berkaitan dengan aset lain yang telah dibeli sebelumnya.
  • Kualitas produk. Pembeli kurang sensitif terhadap harga apabila produk dipersepsikan memiliki.

 

 

c. Interval dan Preferensi Harga Konsumen

Setiap konsumen memiliki interval harga yang layak bagi sebuah produk.  Misalnya, bagi Jono, untuk telepon seluler, interval harga yang layak adalah Rp 1.000.000 sampai Rp 3.000.000.  Jono akan mengevaluasi berbagai merek telepon seluler yang berada pada interval harga tersebut sebelum menjatuhkan pilihan.  Telepon seluler yang harganya di bawah Rp 1.000.000 atau di atas Rp 3.000.000 keluar dari pilihan Jono.

Dalam interval tersebut, yang paling penting sebenarnya adalah preferensi harga (price preference) Jono terhadap telepon seluler, yaitu satu tingkat harga yang dijadikan patokan oleh Jono, misalnya Rp 2.000.000.  Semakin dekat dengan referensi harga tersebut, semakin besar peluang sebuah telepon seluler dibeli oleh Jono.

Informasi interval dan referensi harga pasar sasaran sangat penting.  Harga sebaiknya sama atau mendekati referensi harga atau setidaknya berada pada interval harga yang dipertimbangkan pasar sasaran. Penjelasan interval dan preferensi harga dapat di baca selengkapnya di sini.

3. Analisis Persaingan

a. Siapa Pesaing?

ertanyaan pertama yang perlu dijawab adalah siapa pesaing kita? Pertanyaan ini perlu dijawab agar perusahaan tidak memberikan perhatian pada perusahaan lain yang bukan pesaing.  Contohnya, saingan susu kaya kalsium Calcimex adalah Anlene dan Hi-Lo.  Karena itu, Calcimex perlu memperhatikan strategi harga Anlene dan Hi-Lo.  Bagi Nokia yang harganya hanya sampai jutaan rupiah, telepon seluler premium Vertu yang harganya ratusan juta rupiah tentu bukan saingan.  Penentuan siapa pesaing telah dijelaskan dalam Modul 2.

b. Strategi Harga Pesaing 

Setelah mengenal siapa pesaing, selanjutnya perusahaan perlu mengetahui strategi harga mereka.  Pertanyaan dimulai dari: berapa tingkat harga mereka, berapa besar marjin yang diberikan kepada perantara, apakah mereka memberikan diskon, dan seterusnya. Informasi tersebut perlu diketahui untuk menentukan apakah perusahaan menggunakan persaingan harga atau bukan harga.

c. Pola Reaksi Pesaing

Perusahaan perlu memprediksi bagaimana reaksi pesaing terhadap strategi harga mereka.  Ada empat bentuk reaksi yang mungkin diambil pesaing:

    • Coperative pricing. Dalam praktek ini terdapat kesepakatan resmi atau tidak resmi mengenai harga. Semua pemain menerapkan  harga yang tidak jauh berbeda satu sama lain, sehingga tidak merusak pasar.  Praktek ini sering terjadi pada pasar oligopolistik.
    • Adaptive pricing. Pesaing lebih kecil umumnya mengikuti harga yang ditetapkan pesaing lebih besar. Kata menyesuaikan (adaptive) tidak berarti harus sama, tetapi bisa di atas atau di bawah harga perusahaan (merek) besar.  Harga Hit selalu ditetapkan di bawah harga Baygon, harga minyak Petronas dan Shell juga selalu mengikuti pergerakan harga pertamax dari Pertamina.
    • Opportunistic pricing. Dalam praktek ini, pesaing mencari kesempatan memotong harga atau menunda kenaikan harga setelah pesaing menaikkan harga.  Dengan kata lain, terdapat usaha untuk menetapkan harga yang lebih rendah dari pesaing.  Contohnya, pada saat tarif taksi dinaikkan di Jakarta, armada taksi yang besar-besar langsung menerapkan kesepakatan itu, namun sebagian armada taksi yang umumnya kecil-kecil, tetap menggunakan taris lama dan malah mempromosikan tarif lama itu sebagai daya tarik taksinya dengan harapan memperoleh kesempatan mendapat penumpang.
  • Predatory pricing. Penetapan harga begini dimaksudkan untuk mengalahkan atau mematikan pesaing.  Cara yang dipakai umumnya adalah menetapkan harga serendah mungkin atau memberi diskon, potongan harga, pengembalian kas, atau hadiah besar-besaran, sehingga harga yang ditetapkan pesaing menjadi tidak menarik bagi konsumen.  Setelah pesaing babak belur, perusahaan mengembalikan harga pada harga semula atau harga lebih tinggi kalau pesaing kuat tidak ada lagi.

 

Langkah II:  Identifikasi Faktor Pembatas Harga

Yang termasuk sebagai faktor pembatas harga adalah biaya, peraturan pemerintah, strategi bauran pemasaran, kepentingan saluran pemasaran, jenis persaingan, daur hidup produk dan etika.

1. Biaya

Bagi setiap perusahaan komersil,  keuntungan akan diperoleh kalau harga jual lebih tinggi dibanding biaya.  Harga harus menutupi ongkos produksi, biaya pemasaran, biaya admisnistrasi, dan biaya tetap, sekaligus menyisakan marjin keuntungan.  Biaya merupakan faktor pembatas apabila perusahaan berniat menetapkan harga serendah-rendahnya.  Tentu saja, kalau menetapkan harga setinggi-tingginya, biaya tidak menjadi faktor pembatas.

2. Peraturan Pemerintah

Peraturan pemerintah dapat membatasi harga dengan membuat peraturan mengenai batas harga tertinggi dan terendah, diskriminasi harga (price discrimination), pengelabuan harga (deceptive pricing), dan praktek dumping.

Penetapan harga tetap yang diatur pemerintah di Indonesia, atau yang harus memperoleh persetujuan DPR adalah harga bahan bakar minyak, gas, pulsa telepon tetap, listrik, dan pupuk. Sedangkan praktek-praktek diskriminasi harga, pengelabuan harga, dan dumping, belum ditangani pemerintah secara serius.

Diskriminasi harga adalah praktek membeda-bedakan harga produk yang sama untuk pembeli yang berbeda, daerah yang berbeda, dan volume pembelian yang berbeda. Berbagai negara melarang diskriminasi harga.  Pengelabuan harga adalah praktek penetapan harga yang menipu pembeli, baik karena memberikan informasi tidak lengkap maupun menyesatkan.  Dumping adalah menjual produk di luar negeri lebih murah dibanding dalam negeri.

3. Kepentingan Perantara

Saat produk bergerak dari produsen, distributor, grosir, pengecer, sampai ke konsumen, timbul biaya pada setiap tahap.  Karenanya, harga pada konsumen akhir harus lebih tinggi agar bisa menutupi biaya-biaya tersebut, sekaligus memberikan keuntungan, bayaran (fee), dan komisi untuk setiap anggota saluran, selain menyisakan keuntungan bagi produsen.

4. Daur Hidup Produk

Dalam masa perkenalan dan pertumbuhan, penjual mempunyai keleluasaan dalam menetapkan harga karena suplai belum memenuhi semua permintaan dan pesaing masih sedikit. Kalau produk sudah dewasa dalam daur hidupnya, di mana pertumbuhan sudah stagnan dan persaingan sudah tinggi, penjual tidak lagi leluasa menetapkan harganya. Dalam situasi demikian, penjual perlu menilai kembali harga yang ditetapkan, apakah perlu memberi diskon ataupun bentuk-bentuk promosi penjual lainnya.

5. Jenis Persaingan

Seperti telah dijelaskan, persaingan dapat dibedakan menjadi persaingan harga (price competition) dan persaingan bukan harga (non-price competition).  Kalau persaingan yang dihadapi, perusahaan lebih leluasan menetapkan harga. Namun, kalau konsumen lebih memperhatikan faktor-faktor bukan harga, seperti kualitas, reputasi, jaminan, dan seterusnya, harga rendah tidak berarti banyak. Jadi, penjual kurang leluasa menetapkan harga.  Situasi seperti terjadi dalam dunia pendidikan tinggi. Tidak berarti bahwa perguruan tinggi yang uang kuliahnya paling rendah juga memiliki jumlah mahasiswa paling banyak.

6. Strategi Bauran Pemasaran

Penetapan harga sebenarnya bukanlah proses yang berdiri sendiri. Dalam rencana pemasaran strategis, penetapan harga merupakan penjabaran posisi merek (brand position) yang dirancang perusahaan. Sebagaimana diketahui, posisi merek dijabarkan melalui komponen-komponen marketing mix, di mana harga merupakan salah satu di antaranya.  Karena harus mencerminkan citra yang sama, semua komponen bauran pemasaran tentu harus padu satu sama lain.  Sebagai contoh kita ambil sedan Volvo. Katakanlah mobil itu diposisikan sebagai SEDAN PREMIUM YANG AMAN.  Bagaimana posisi tersebut dijabarkan? Lihat dalam ilustrasi berikut.

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa harga harga diselaraskan dengan komponen bauran pemasaran lainnya.  Masuk akalkah kalau harga ditetapkan rendah sementara komponen bauran pemasaran lainnya mencerminkan sedan Volvo premium dan aman?  Kalau itu dilakukan posisi merek justru membingungkan karena harga tidak sinkron.  Jadi, sekali lagi, penetapan harga tidak bebas, tetapi dibatasi juga oleh komponen bauran pemasaran lainnya.

7. Etika

Etika adalah standar moral yang membatasi penjual dari praktek-praktek bisnis yang merugikan orang lain. Harga yang etis adalah harga yang adil (fair). Sulit menyatakan berapa harga yang adil bagi sebuah produk. Namun, apabila dengan sebuah harga perusahaan memperoleh keuntungan, yang dibutuhkan untuk kesejahteraan stakeholders dan pertumbuhan perusahaan, dan konsumen memperoleh manfaat dari produk, harga tersebut adalah adil. Namun, selain tingkat harga, ada beberapa tindakan tidak etis yang perlu dihindari, yaitu:

    • Harga yang terlalu tinggi, dengan mana penjual mengambil porsi keuntungan terlalu besar.
    • Harga tidak sebenarnya atau tidak mengikat. Praktek ini sering dijumpai pada pembelian yang penutupan transaksi dilakukan di kemudian hari. Misalnya, seorang konsumen melakukan indent selama setahun untuk memperoleh barang. Harga yang sebenarnya dibayar pada saat transaksi bisa lebih tinggi dibanding harga negosiasi.
    • Harga yang perhitungannya dibuat rumit supaya pembeli bingung.
    • Pengenaan biaya-biaya tambahan yang tidak disebutkan pada awal transaksi. Pratek ini sering dialami pada pembelian kredit. Selain bunga, konsumen juga membayar asuransi dan biaya adminitrasi. Harga menjadi tidak etis apabila biaya-biaya tersebut tidak dijelaskan pada waktu negosiasi.
    • Diskriminasi harga berdasarkan SARA atau suku, agama, ras, dan antar golongan (termasuk gender, aliran politik, asal daerah dan lain-lain adalah tindakan tidak etis.  Apabila didasarkan pada kelas ekonomi, diskriminasi harga adalah tindakan etis, bahkan dianggap sebagai aspek keadilan sosial.
    • Apabila harga ditetapkan berdasarkan negosiasi, berbohong dalam berbagai bentuk adalah tindakan tidak etis. Misalnya, seorang penjual menyatakan harga yang disetujui adalah jual rugi padahal masih untung, adalah tidak etis.
    • Membuat persekongkolan antar penjual atau pembeli untuk mengontrol harga adalah tindakan tidak etis. Dalam kerjasama yang disebut kartel, para penjual dapat membuat kesepakatan tentang harga (biasanya tinggi), yang membuat konsumen tidak memiliki pilihan selain mengikuti harga yang ditetapkan. Pembeli juga dapat membuat kerjasama menetapkan harga tertinggi, yang memaksa produsen menjual pada harga yang mereka tetapkan.
    • Perlakukan harga berbeda untuk pembeli berbeda. Misalnya, memberikan diskon berbeda untuk konsumen berbeda adalah tindakan yang tidak etis dan berakibat kuat pada ketidakpuasan konsumen.
    • Penetapan harga yang dapat menghasilkan keputusan pembelian konsumen akibat pancingan psikologis adalah tidak etis. Misalnya: Diskon psikologis, harga ganjil (Rp 999.980), menyembunyikan angka untuk membuat kesan lebih murah (75 k, bukan 75.000), adalah tidak etis.
    • Penetapan harga predatory. Biasanya dilakukan pemain besar untuk menghambat atau melenyapkan pemain kecil dengan menetapkan harga rendah untuk fighting product.
  • Harga yang mengeksplotasi kelangkaan produk adalah tidak etis. Pada awal Covid-19 terjadi kelangkaan masker. Banyak pedagang yang memanfaatkan kelangkaan tersebut dengan menaikkan harga gila-gilaan, dari Rp 20.000 menjadi Rp 500.000 per kotak.

 

Langkah III: Menetapkan Sasaran

Ketika akan mengatur penempatan produknya di etalase, seorang ibu yang juga pengusaha kerajinan tangan berkata kepada suaminya: “Pak, patung-patung kecil ini kita bikin murah saja. Kita tidak mengambil keuntungan pun tidak apa-apa.”

“Kenapa?” Tanya sang suami.

“Ini kan yang paling sering dicari orang. Istilahnya, ini termasuk yang memancing orang datang (traffic builder) ke tempat kita. Kalau harga di tempat kita lebih murah dibanding di tempat-tempat lain, merchandise di tempat kita secara keseluruhan akan terkesan murah.  Harga barang-barang lain yang eksklusif di tempat kita,  kita buat lebih mahal dari seharusnya. Istilahnya, kita buat subsidi silanglah, Pak.”

Memang, harus dijelas sasaran apa yang mau dicapai melalui penetapan harga. Dalam percakapan di atas, penetapan harga patung-patung kecil semata-mata ditujukan untuk memancing datangnya pengunjung. Sedangkan harga barang-barang eksklusif ditetapkan dengan tujuan memperoleh keuntungan.  Sasaran-sasaran penetapan harga lebih rinci dijelaskan berikut ini.

1. Maksimisasi Keuntungan

Memang tujuan semua usaha adalah memperoleh keuntungan. Namun, tidak setiap saat penciptaan keuntungan menjadi sasaran utama.  Pada saat tertentu bisa saja perusahaan mengorbankan keuntungan untuk meraih sasaran lain.

Untuk menetapkan harga yang memperoleh keuntungan adalah sulit. Misalkan konsumen bersedia membeli produk pada harga Rp 5.000, padahal harga Rp 4.000 sudah menghasilkan keuntungan.  Kalau sasarannya adalah memperoleh keuntungan, dari kedua tingkat harga itu, yang mana dipilih?  Kalau memang yang dicari adalah keuntungan maksimal, pilihlah harga yang menghasilkannya.

2. Bertahan Hidup (Survival)

Sebenarnya, apapun sasarannya, ujung-ujungnya adalah perusahaan dapat bertahan dan berkembang.  Namun, yang dimaksud sekedar bertahan hidup di sini adalah suatu usaha jangka pendek untuk membuat perusahaan dapat beroperasi terus walaupun rugi, impas, ataupun dengan keuntungan sedikit.  Keuntungan bukan tujuan lagi. Yang penting, bagaimana supaya perusahaan tetap berjalan.

3. Tingkat Pengembalian Investasi (Return on Investment-ROI)

Sasaran ini sama saja dengan sasaran memperoleh keuntungan.  Namun, yang menjadi perhatian pada sasaran ini bukan nilai nominal keuntungan, melainkan persentase keuntungan dari investasi yang ditanamkan.

Kebanyakan keputusan investasi menggunakan sasaran ini.  Namun, keputusan harga bersifat mencoba-coba karena hanya didasarkan pada perhitungan di atas kertas. Dalam perencanaan disodorkan sejumlah tingkat harga lengkap dengan ROI masing-masing.  Harga yang ditetapkan adalah yang memberikan ROI paling masuk akal (bukan paling tinggi).  Yang jelas, ROI harus di atas suku bunga pinjaman agar dianggap layak.  Bagaimana memperoleh ROI yang lebih tinggi? Di atas kertas mudah. Dengan hanya memilih harga lebih tinggi dengan sendirinya ROI juga lebih tinggi.  Masalahnya, bagaimana dengan reaksi pasar?  Inilah yang sering dilewatkan sasaran perusahaan semata-mata adalah memperoleh ROI yang memuaskan.

4. Pangsa Pasar (Market Share)

Banyak perusahaan yang ingin memperoleh pangsa pasar melalui penetapan harga.  Pada pasar yang elastis, sebuah perusahaan dapat memperoleh pangsa pasar melalui harga yang rendah.  Dalam jangka pendek, harga rendah memang tidak memberi keuntungan, namun kalau yang ingin dicapai adalah pangsa pasar, sasaran keuntungan dibelakangkan dulu.  Soalnya, ada beberapa manfaat yang diperoleh dari pangsa pasar lebih besar. Pertama, efisiensi biaya produksi dengan meningkatnya skala ekonomi (economic of scale).  Konsep ini menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat produksi, biaya rata-rata semakin rendah.  Kedua, perusahaan menikmati porsi lebih besar dari pertumbuhan pasar.  Katakanlah Mitsubishi  menguasai 70% pasar truk ringan di Indonesia.  Kalau tahun depan diperkirakan terjadi kenaikan permintaan  sebanyak 100.000 truk ringan, Mitsubishi berpeluang besar menikmati 70% atau 70.000 truk ringan di antaranya.

Yang sering terjadi, pemimpin pasar menikmati porsi pertumbuhan lebih besar (misalnya Mitsubishi menikmati lebih dari 70% kenaikan permintaan) dengan fenomena yang disebut double jeopardy.  Fenomena yang dapat diterjemahkan secara bebas sebagai pukulan beruntun, sebenarnya ditujukan pada merek-merek kecil. Maksudnya, sudah pangsa pasarnya kecil, promosi merek-merek kecil juga kurang direspon pasar. Pada sisi lain, merek-merek besar memiliki keuntungan ganda, yaitu pangsa pasar yang lebih besar dan respon yang lebih tinggi terhadap usaha-usaha pemasarannya.  Jadi, wajar saja merek-merek pemimpin memperoleh porsi lebih besar dari pertumbuhan pasar.

5. Persepsi Kualitas Produk

Harga dapat digunakan untuk menciptakan persepsi kualitas. Jarang sekali produk yang diklaim sebagai produk berkualitas spesial tetapi memiliki harga rendah. Soalnya, secara psikologis, konsumen umumnya menganggap bahwa harga yang tinggi menyatakan kualitas tinggi pula.  Ada pepatah yang menyatakan ‘harga tidak pernah berbohong’.  Artinya, produk berharga murah juga memiliki kualitas rendah. Sebaliknya, produk berharga tinggi memiliki kualitas tinggi pula.

6. Menghabiskan Stok Lama

Pada saat daur hidup produk memasuki masa menurun, satu-satunya pilihan bagi perusahaan adalah melakukan ‘cuci gudang’.  Dalam industri mobil, apabila model baru mau muncul, perusahaan biasanya memberikan insentif finansial dan non-finansial sangat besar bagi pembelian model lama.  Tindakan ini bertujuan menghabiskan stok model lama sebelum model baru muncul.

7. Menjatuhkan Pesaing

Harga dapat digunakan untuk menggerogoti, bahkan mematikan pesaing. Namun, tindakan ini efektif hanya pada pasar yang di dalamnya berlaku persaingan harga.  Banyak perusahaan sengaja menjual produk di bawah biaya rata-rata semata-mata untuk menjegal pesaing.  Harga ditetapkan lebih rendah signifikan di bawah pesaing itu.   Dalam pasar yang elastis, konsumen tentu beralih pada produk yang lebih murah.

Dalam menjalani taktik ini perusahaan harus memiliki sumberdaya lebih besar.  Sebab, apabila terjadi perang harga, perusahaan yang mampu bertahan lebih lamalah yang menang.  Setelah pesaing bangkrut, perusahaan akan kembali pada harga semula.

Langkah IV: Analisis Potensi Keuntungan

Untuk menganalisis potensi keuntungan, para pemasar perlu mengombinasikan sensitivitas harga dengan biaya. Para pemasar juga perlu memahami prinsip-prinsip biaya, mulai dari biaya tetap, biaya variabel, biaya marjinal, biaya tetap rata-rata, dan biaya variabel rata-rata.  Tentu bukan porsi kita menjelaskan konsep-konsep tersebut.

Analisis potensi keuntungan bertujuan untuk mengetahui potensi keuntungan atau resiko kerugian serta volume yang menjadikan tercapainya titik impas pada setiap skenario harga.  Berikut ini diilustrasikan perkiraan produksi dan biaya (Tabel 1) serta keuntungan (Tabel 2) perusahaan fiktif Mek Donal.

Tabel 1.  Perkiraan Tingkat Produksi dan Biaya Hamburger Bik Mek

TINGKAT

PRODUKSI

BIAYA

TETAP

BIAYA

TETAP

RATA-RATA

BIAYA

VARIABEL

BIAYA

TOTAL

BIAYA

TOTAL

RATA-

RATA

              10 50,000 5,000        8,500 58,5005,850
              20 50,000 2,500      17,000   67,0003,350
              30   50,000  1,667      25,500  75,5002,517
              40 50,0001,250      34,00084,0002,100
              50  50,0001,000      42,50092,5001,850
              6050,000  833      51,000101,0001,683
              70 50,000714      59,500   109,5001,564
              80    50,000625      68,000 118,0001,475
              90 50,000 556      76,500126,5001,406
            100 50,000 500      85,000 135,000 1,350

 

Tabel 2.  Potensi Keuntungan pada Setiap Skenario Harga

HARGA

(RP)

PENJUALAN

(UNIT)

PENJUALAN

(RP)

BIAYA

TOTAL

KEUNTUNGAN
         3,500               10        35,000      58,500            (23,500)
         3,300               20        66,000      67,000             (1,000)
         2,900               30        87,000      75,500             11,500
         2,500               40       100,000      84,000             16,000
         2,300               50       115,000      92,500             22,500
         2,000               60       120,000     101,000             19,000
         1,800               70       126,000     109,500             16,500
         1,600               80       128,000     118,000             10,000
         1,500               90       135,000     126,500              8,500
         1,200             100       120,000     135,000            (15,000)

 

Dari skenario tersebut, perusahaan dapat memperkirakan berapa keuntungan ataupun kerugian pada setiap tingkat harga.  Apabila sasaran adalah memperoleh keuntungan, tentu perusahaan akan menetapkan harga yang memberikan keuntungan terbesar, yaitu Rp 2300 (Tabel 2).  Lalu, apabila menetapkan harga serendah-rendahnya untuk mematikan pesaing, perusahaan harus siap rugi sebesar Rp 15.000.

Analisis Titik Impas  Katakanlah perusahaan memilih harga Rp 2300.  Pertanyaannya, pada tingkat harga tersebut, berapa produk yang harus dijual agar tercapai titik impas? Berdasarkan perhitungan di bawah ini, perusahaan harus menjual 35 produk agar tercapai titik impas.

Langkah Kelima: Menetapkan Harga Awal

Berdasarkan faktor apa yang dijadikan sebagai acuan utama, ada tiga pendekatan dalam penetapan harga awal, yaitu penetapan harga berdasarkan pasar (market-based pricing), penetapan harga berdasarkan biaya (cost-based pricing), dan penetapan harga berdasarkan pesaing (competitor-based pricing).

1. Penetapan Harga Berdasarkan Pasar

Acuan utama adalah persepsi dan kebutuhan konsumen.  Ada beberapa teknik yang tersedia, yaitu:

  • Value pricing, yaitu penetapan harga yang dimaksudkan untuk memberi kesan bahwa konsumen memperoleh nilai dengan uang yang dibayarkan. Perlu diketahui bahwa nilai merupakan selisih antara manfaat (benefit) yang diperoleh dan harga yang dibayarkan.  Agar memberi kesan memiliki nilai, harga harus terkesan rendah, tetapi dengan catatan produk terkesan berkualitas.  Kalau harga dan produk sama-sama terkesan rendah, maka kesan nilai tidak diperoleh.  Hyundai Avega menggunakan pendekatan ini.
  • Perceived Quality Pricing, penetapan harga untuk menciptakan persepsi kualitas.  Acuan utama bukan biaya produksi, melainkan persepsi pembeli yang menganggap bahwa harga yang mahal mencerminkan kualitas yang tinggi.
  • Odd-pricing, merupakan praktek pembuatan harga-harga ganjil, misalnya Rp 3.977, Rp15.970, Rp 21.365.000, dan seterusnya. Pembuatan harga seperti ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, memberi kesan lebih murah karena belum menyentuh level harga di atasnya. Misalnya Rp 15.970 masih berada pada rentang 15 ribuan belum masuk level 16 ribuan.  Kedua, lebih sulit diingat dibanding harga-harga genap, sehingga kalau suatu saat dinaikkan, konsumen lebih sulit menangkap  kenaikan harga.  Misalnya, harga Rp 21.399.500 yang dinaikkan menjadi Rp 21.699.500, lebih sulit disadari dibanding kenaikan harga dari Rp 21.400.000 menjadi Rp 21.700.000, walaupun kenaikannya sama-sama Rp 300.000 dan harga sebelum dan setelah naik kedua tingkat harga tidak berbeda signifikan.

    Ketiga, memberi kesan bahwa penetapan harga dilakukan secara matang karena perhitungan dilakukan sampai satuan terkecil. Misalnya, harga Rp3.977 mengesankan bahwa perusahaan tidak melakukan pembulatan, akan tetapi memperhitungkan harga sampai satuan terkecil yang sebenarnya tidak berlaku lagi, yaitu satu rupiah.

2. Penetapan Harga Berdasarkan Biaya

Acuan utama penetapan harga adalah biaya.  Terdapat dua teknik yang biasa digunakan, yaitu:

  • Mark-up pricing, yaitu dengan menambahkan mark-up yang diinginkan pada penjualan. Perhitungan berikut ini disajikan sebagai contoh.

Tingkat penjualan yang diinginkan= 50 unit produk
Biaya tetap= Rp 50.000
Biaya variabel= Rp 42.500
Biaya per unit = (50.000 + 42.500)/50= Rp 1850
Misalkan mark-up yang diinginkan adalah 20%, maka harga menjadi:

  • Target return pricing, yaitu penetapan harga yang didasarkan pada target pengembalian investasi yang diinginkan. Misalnya, perusahaan sudah menginvestasikan Rp 75.000 dan mampu menjual 50 unit produk. Kalau perusahaan menginginkan tingkat pengembalian 20%, maka harga dapat diutak-atik sebagai berikut:

  • Penetapan harga berdasarkan target volume titik impas.Katakanlah perusahaan memilih harga Rp 2300.  Pertanyaannya, pada tingkat harga tersebut, berapa produk yang harus dijual agar tercapai titik impas? Berdasarkan perhitungan di bawah ini, perusahaan harus menjual 35 produk agar tercapai titik impas.

3. Penetapan Harga Berdasarkan Harga Pesaing

Harga ditetapkan berdasarkan harga yang sudah atau diperkirakan akan ditetapkan pesaing.  Dua teknik yang lazim digunakan adalah:

  • Menetapkan harga berdasarkan harga pesaing yang sudah ada, yaitu menetapkan harga sama, di bawah, ataupun di atas harga yang telah ditetapkan pesaing. Apabila menetapkan harga sama, perusahaan bersiap untuk bersaing langsung dengan pesaing. Harga di bawah pesaing memiliki resiko persepsi kualitas lebih rendah. Namun, selama perusahaan dapat meyakinkan kualitas produk, strategi ini dapat berhasil, terutama bila perbedaan harga signifikan dan konsumen sensitif terhadap harga. Penetapan harga di atas pesaing tentu bertujuan untuk menciptakan persepsi kualitas lebih tinggi.  Strategi ini perlu didukung jaminan kualitas. Apabila konsumen mengetahui bahwa kualitas produk kita sama saja dengan produk pesaing, tentu mereka akan berpikir dua kali untuk membeli produk kita yang lebih mahal.
  • Penetapan harga berdasarkan harga yang diperkirakan akan ditetapkan pesaing. Penetapan harga seperti ini sering terjadi pada tender.  Dalam tender setiap peserta membuat perhitungan harga secara tertutup lalu diekspos saat tender dilakukan.  Dalam proses tersebut tidak berarti bahwa harga terendah yang akan menang. Karena bagaimana pun harga terkait dengan kualitas pekerjaan.

    Yang perlu diketahui perusahaan adalah kualitas pekerjaan yang diinginkan pemilik proyek serta anggaran yang mereka sediakan.  Buatlah penawaran sesuai anggaran dan kualitas yang diinginkan pemilik proyek.

Langkah VI: Mengelola Harga

Penjelasan sebelumnya menyangkut dua hal, pertama faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan harga dan kedua, proses penetapan harga. Lagi pula, kita baru membicarakan penetapan harga untuk satu produk (single price for single product).  Bagaimana kalau produk banyak dan setiap produk diberi harga berbeda?  Contoh, Kijang Innova yang memiliki 12 varian? Bagaimana menetapkan harga setiap versi? Lalu, bagaimana menjaga perimbangan harga antar varian?

Pada kenyataannya, harga memiliki dinamika yang kompleks. Untuk produk standar saja, misalnya listrik, harga sudah berbeda-beda berdasarkan siapa pelanggannya (rumah tangga, lembaga sosial, unit bisnis) dan kapasitas pemasakaian (450 watt, 900 watt, 2200 watt, 3000 watt, 6000 watt, dan seterusnya).  Yang jelas, harga tidak hanya menyangkut berapa nilai uang yang harus dibayar konsumen, akan tetapi juga memiliki aspek strategis bagi perusahaan.

Kesimpulannya, harga perlu dikelola agar menjadi alat (tools) bagi perusahaan untuk memperoleh respon yang diinginkan dari pasar sasaran. Perusahaan dapat mengadaptasi harga dan menjadikannya menjadi strategi. Namun, ada beberapa pertimbangan khusus yang perlu dipertimbangkan. Temukan selengkapnya pada halaman Strategi, Adaptasi dan Pertimbangan Khusus Harga.

RINGKASAN

Harga adalah sejumlah nilai yang dipertukarkan untuk memperoleh sejumlah manfaat yang terdapat pada produk.  Harga dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk, seperti nilai uang, barang, waktu, dan tenaga.

Harga merupakan komponen bauran pemasaran yang mendatangkan penerimaan (revenue). Harga merupakan salah satu alat yang dapat dipakai dipakai dalam bersaing, terutama bila konsumen sensitif terhadap harga.  Sensitifitas konsumen terhadap harga dinyatakan dalam konsep elastisitas permintaan, yaitu besarnya perubahan permintaan yang disebabkan oleh perubahan harga.

Penetapan harga dimulai dari analisis situasi, indentifikasi faktor-faktor pembatas, penetapan sasaran, analisis potensi keuntungan, penentuan harga awal, dan pengelolaan harga. Analisis situasi mencakup  pengenalan akan bentuk pasar, elastisitas permintaan terhadap harga dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, kurva permintaan, dan perilaku pesaing.

Dari segi bentuknya, pasar terdiri pasar persaingan sempurna,  monopolistik,  oligopoli, dan  monopoli.  Sensitifitas konsumen terhadap harga, yang merupakan indikator elastisitas permintaan terhadap harga, dipengaruhi oleh harapan pembeli, nilai yang unik pada produk, kesadaran akan barang pengganti, sulit dibandingkannya produk, pengeluaran total, penanggulangan biaya, investasi yang telah ditanamkan, dan kualitas produk.

Konsumen memiliki interval harga yang layak terhadap suatu produk. Dalam interval tersebut terdapat referensi harga, yaitu satu tingkat harga yang menjadi patokan atau yang paling disukai.

Analisis persaingan mencakup siapa pesaing, strategi harga pesaing, dan pola reaksi pesaing terhadap persaingan harga, yang dapat berupa: coperative pricing, adaptive pricing, opportunistic pricing, dan predatory pricing.

Faktor pembatas harga adalah segala sesuatu yang membatasi keleluasaan perusahaan dalam menetapkan harga. Faktor pembatas terdiri dari biaya, peraturan pemerintah, kepentingan perantara, daur hidup produk, jenis persaingan, strategi bauran pemasaran, dan etika.

Penetapan harga juga tergantung pada sasaran yang ingin dicapai perusahaan, seperti maksimisasi keuntungan, bertahan hidup, tingkat pengembalian investasi, pangsa pasar,  kualitas produk, mematikan pesaing.

Pada setiap alternatif harga yang dapat diterapkan perusahaan perlu melakukan nalisis potensi keuntungan untung mengetahui besarnya keuntungan ataupun kerugian yang mungkin terjadi pada setiap pilihan harga.

Penetapan harga awal dapat didasarkan pada pasar, biaya maupun pesaing.  Apabila  pasar dijadikan sebagai acuan, perusahaan dapat menerapkan value pricing, perceived quality pricing, dan odd pricing.              Harga berdasarkan biaya menghasilkan mark-up pricing dan target return pricing.  Sedangkan harga berdasarkan pesaing dapat mengacu pada harga pesaing yang sudah ditetapkan maupun yang diperkirakan akan ditetapkan.

SOAL-SOAL

Benar-Salah

  1. Harga adalah uang yang dibayarkan untuk memperoleh suatu barang dan/atau jasa.
  2. Pada sekumpulan produk yang harganya berjenjang mulai dari paling murah sampai paling mahal, konsumen selalu menyukai harga yang paling rendah karena dengan demikian pengorbanan mereka paling kecil pula.
  3. Harga ditetapkan setelah biaya produk dihitung.
  4. Salah satu cara menghindari persaingan adalah menetapkan harga yang berbeda signifikan dari pesaing.
  5. Selain memiliki dampak ekonomis, harga juga memiliki dampak psikologis bagi pembeli.
  6. Harga yang baik adalah yang menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi perusahaan.
  7. Salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan konsumen adalah resiko finansial.
  8. Dalam pemasaran yang demokratis, diskriminasi harga merupakan tindakan yang tidak etis.
  9. Faktor pembatas adalah faktor-faktor yang mengurangi kebebasan perusahaan untuk menetapkan harga.
  10. Dalam penetapan harga satu prinsip yang perlu dipegang adalah dengan tingkat harga yang ditetapkan perusahaan harus untung.
  11. Harga dapat dipakai untuk memperoleh respon yang diinginkan dari konsumen.
  12. Perusahaan yang berhasil dalam mengelola harga adalah perusahaan yang mampu menetapkan harga yang terjangkau oleh pasar sasaran.
  13. Dalam pasar yang elastis perubahan harga tidak mendapat respon signifikan dari konsumen.
  14. Harga ganjil (odd price) ditetapkan setelah melalui perhitungan biaya yang sedetil-detilnya.

Pilihan Ganda

1. Konsumen memiliki rentang harga yang layak bagi suatu produk. Pada pernyataan-pernyataan di bawah ini, pernyataan mana yang benar tentang rentang harga tersebut:

a. Batas atas rentang harga terbatas, sedangkan batas bawah tidak terbatas, karena konsumen menginginkan harga semurah-murahnya.

b. Terdapat batas atas maupun batas bawah rentang harga yang dianggap layak oleh seorang konsumen bagi suatu produk.

c. Konsumen membeli produk yang harganya di luar rentang harga yang diinginkannya.

d. Rentang harga merupakan konsep yang abstrak sehingga tidak jelas pengaruhnya pada perilaku konsumen.

2. Apabila bertujuan memaksimalkan keuntungan, dalam penetapan harga, sebuah perusahaan perlu:

a. Menetapkan harga setinggi mungkin sehingga marjin keuntungan tinggi pula.

b. Harga yang ditetapkan tidak yang setinggi-tingginya, tetapi yang menghasilkan penerimaan terbesar.

c. Menetapkan harga serendah mungkin sebab keuntungan maksimal dapat diperoleh dari banyaknya produk terjual.

d. Menghindari pemberian diskon, hadiah, undian, maupun insentif-insentif lain yang diberikan kepada konsumen.

3. Value pricing adalah penetapan harga yang terkesan memberikan nilai bagi konsumen. Mengingat nilai merupakan perbandingan antara manfaat yang diperoleh dari suatu produk dengan harga yang dikorbankan untuk memperolehnya, maka:

a. Value pricing hanya berlaku untuk produk-produk murah  karena dengan demikian konsumen merasa tidak banyak berkorban untuk memperoleh produk.

b. Produk-produk murah  tidak  memberikan nilai karena konsumen tidak merasa bangga membelinya.

c. Sepanjang konsumen memperoleh manfaat yang lebih besar dari harga yang dibayarkan, produk-produk mahal juga dapat memberikan nilai.

d. Produk-produk murah bisa memberikan nilai kalau tingkat harganya lebih rendah dibanding pesaing.

4. Perusahaan yang menetapkan harga dengan menjadikan harga pesaing sebagai acuan (competitor-based pricing):

a. Dengan sendirinya  bersaing dengan pesaing yang harganya dijadikan acuan itu.

b. Bisa saja tidak bersaing dengan pesaing yang harganya dijadikan acuan itu asalkan segmen yang dituju berbeda.

c. Harus memiliki kualitas produk yang lebih baik dari pesaing agar berhasil memasuki pasar.

d. Merupakan perusahaan yang lebih kecil, sehingga menjadikan pesaing yang harganya dijadikan acuan itu sebagai panutan dalam penetapan harga.

5. Sekali harga sudah ditetapkan, maka harga tersebut:

a. Tidak bisa ditawar (unnegotiable) karena perusahaan perlu memiliki konsistensi harga.

b. Dapat ditawar (negotiable) untuk memperoleh respon pembelian yang lebih cepat dari konsumen.

c. Apakah dapat ditawar atau tidak dapat ditawar tergantung pada kebijakan perusahaan tentang fleksibilitas harga.

d. Tidak dapat ditawar untuk menciptakan persepsi kualitas produk.

6. Pemberian marjin yang tinggi kepada para perantara yang dimaksudkan agar mereka merekomendasikan produk kepada konsumen akhir:

a. Sebenarnya tidak perlu karena keputusan membeli atau tidak produk berada di tangan konsumen akhir.

b. Dapat merusak hubungan antara produsen dan perantara karena dengan tindakan tersebut niat perantara untuk bekerjasama dihargai hanya dengan uang.

c. Bermanfaat terutama  bagi merek-merek yang sudah punya nama karena dengan potensi penjualan yang tinggi perantara termotivasi untuk merekomendasikan produk kepada pembeli.

d. Bermanfaat terutama bagi merek-merek yang belum punya nama  karena dengan potensi keuntungan yang tinggi perantara termotivasi untuk merekomendasikan produk kepada pembeli.

7. Selain berpengaruh secara ekonomis, harga juga berpengaruh secara psikologis. Pernyataan-pernyataan di bawah ini yang menunjukkan dampak psikologis harga adalah:

a. Untuk kategori produk yang sama, konsumen lebih menyukai harga-harga rendah dibanding harga-harga tinggi.

b. Konsumen mempersepsikan produk yang harganya lebih tinggi memiliki kualitas yang lebih baik pula.

c. Konsumen lebih suka harga tawar-menawar sebab secara psikologis konsumen merasa menang kalau mampu menurunkan harga serendah mungkin.

d. Dengan harga tinggi berarti pengeluaran konsumen untuk memperoleh produk lebih tinggi pula.

8. Di antara pernyataan-pernyataan di bawah ini, pilihlah yang tidak sesuai dengan penerapan harga-harga ganjil.

a. Penerapan harga ganjil dimaksudkan untuk menciptakan kesan lebih murah.

b. Dengan harga ganjil terdapat kesan bahwa perhitungan harga dilakukan secara cermat, sehingga harga yang dikenakan adalah yang sebenarnya.

c. Konsumen lebih sulit mengingat harga ganjil dibanding harga genap, sehingga pada saat harga dinaikkan, konsumen sulit menyadari kenaikan harga tersebut.

d. Harga ganjil terkesan lebih kreatif dibanding harga genap.

Essay

  1. Berdasarkan pengalaman selama ini diketahui bahwa elastisitas permintaan telepon genggam premium Vertu adalah -0.3 (dalam nilai mutlak 0.3). Saat ini harga telepon dimaksud adalah Rp 150.000.000,00.  Dengan harga setinggi itu perusahaan dapat menjual telepon sebanyak 1200 unit per tahun. Untuk meningkatkan nilai penjualan terdapat usulan untuk menurunkan harga telepon menjadi Rp 120.000.000,00.  Apabila saudara ditugasi untuk mengambil keputusan, apakah usulan tersebut dapat diterima?
  2. Menurut anda, dalam industri mobil, mana yang menurut anda lebih berhasil di antara dua alternatif berikut. Alternatif pertama, didesain dulu mobil dan setelah produksi selesai, biaya produksi dihitung. Kemudian, setelah biaya produksi ditambah biaya biaya-biaya lain (biaya tetap, biaya pemasaran, biaya balik nama, pajak, dan lain-lain) diperoleh, ditetapkanlah harga.  Alternatif kedua, ditentukan dulu target harga konsumen  produk serta segmen yang diharapkan membeli. Berdasarkan target harga konsumen tersebut, didesainlah sistem produksi yang menghasilkan biaya yang sesuai dengan target harga konsumen.
  3. Daihatsu Xenia 1.3 Xi dan Toyota Avanza 1.3 G merupakan mobil kembar. Keduanya sama-sama dibuat dalam pabrik Daihatsu dengan harga yang sama pula. Ternyata, Avanza lebih laris dibanding Xenia.  Agar pangsa pasar keduanya sama, diusulkan agar Xenia menenetapkan harga di bawah Avanza.  Bagaimana pendapat anda?

DAFTAR REFERENSI

Cleland, A.S. & Bruno, A.V. (1996). The Market Value Process. San Fransico: Jossey-Bass.

Craven, D.W. & Piercy, N.F. (2012). Strategic Marketing. Teenth Edition. McGraw-Hill/Irwin, New York.

D’Aveni, R..A. (1997). Waking up to the new era of hypercompetition. The Washington Quarterly, 21(1), 183–195.  Retrieved from:  http://www.twq.com/98winter/daveni.pdf,  December 14, 2011.

Ferrel, O.C, Michael D. Hartline, dan George H. Lucas. 2010. Marketing Strategy. Second Edition. South-Western Thomson Learning, Natorp Boulevard, Mason, Ohio.

Keegan, Warren. J. 2006. Global Marketing Management. Apper Saddle River: Prentice-Hall, Inc.

Khalifa, A.S. (2004). “Customer Value: A Review of Recent Literature and An Integrative Configuration. Management Decision, Vol. 42 No.5, pp.645-66.

Kotler, P. & Amstrong, G. (2012). Principles of Marketing. Thirtenth Edition. Upper Saddle River: Prentice-Hall, Inc.

Kotler, P. & Keller, K.L. (2006). Marketing Management. Twelveth Edition. Apple-Sadle-River: Prentice-Hall, Inc.

Kotler, P. & Keller, K.L. (2012). Marketing Management. Fourtenth Edition. Pearson Education Limited, London.

Porter, Michael. 1985.  Competitive Advantage. New York: Harvard University Press.

Seige, S.H., Cagusvil, E. & Phelan, S.E. (2007). Measurement of return on marketing investment: A conceptual framework and the future of marketing metrics. Industrial Marketing Management 36, 834–841. doi:10.1016/j.indmarman.2006.11.001.

Woodruff, R. (1997).  Customer value: The next source for competitive advantage. Journal of the Academy of Marketing Science, 25 (2), 139–153.