Komitmen membuat perilaku seseorang semakin terprediksi. Perilaku seseorang yang memiliki komitmen tinggi untuk melakukan sesuatu memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk melakukan perilaku itu dibanding yang yang berkomitmen rendah. Karena itu, komitmen adalah konsep penting yang dipelajari dan dikembangkan pada berbagai bidang ilmu, seperti sosiologi, psikologi, politik, organisasi dan pemasaran.

Pengembangan konsep komitmen didasarkan pada karakteristik bidang di mana ia dikembangkan. Pengembangan konsep berbasis bidang ini menghasilkan definisi komitmen yang bervariasi. Keanekaragaman definisi menunjukkan bahwa konsep komitmen belum  matang (mature) dan masih terus dikembangkan (Michael, 2021).

Tulisan ini dimaksudkan untuk mempelajari komitmen dalam pemasaran. Namun, sebelum membahas topik khusus tersebut, terlebih dahulu dijelaskan jenis komitmen dan definisi  komitmen dari berbagai perspektif.

Jenis Komitmen berdasarkan Subjek dan Tindakan

Ada dua jenis komitmen berdasarkan subjek (siapa yang membuat komitmen), yaitu komitmen individual (individual commitment) dan komitmen sosial (social commitment) (Michael, 2021). Komitmen individual dilakukan pada perilaku yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan (goal-directed behavior). Setiap perilaku dimikian memerlukan tingkat komitmen  tertentu (Bratman, 2014). Sebagai catatan, perilaku yang dilakukan tanpa rencana (unplanned behavior) atau yang muncul secara spontan tidak memerlukan komitmen.

Komitmen individual melibatkan satu subjek (misalnya A) dan satu tindakan (kita namakan X). Tindakan X dimaksud bisa berupa: rencana, preferensi, dan keyakinan:

  • Rencana: Saya akan melakukan X (I will do X): Besok saya pergi ke Bandung.
  • Preferensi: Saya lebih menyukai X dibanding Y. Untuk seterusnya saya akan memilih X. Saya lebih suka GoFood dibanding GRabFood.
  • Keyakinan: Saya yakin akan nilai-nilai yang diajarkan ayah saya dan saya akan mempertahankannya.
  • Tujuan: Saya akan mencapai X (misalnya saya akan menjadi seorang sarjana, saya harus sembuh, saya harus turun berat badan).

Komitmen sosial melibatkan dua pihak, misalnya A dan B serta salah satu, salah dua, atau semua tindakan X, Y dan Z. Misalnya:

  • A berjanji pada B untuk melakukan X bagi B. Misalnya ayah (subjek A) berjanji menjemput (tindakan X) anak  (subjek B) sepulang sekolah.
  • Subjek A (calon pengantin laki-laki) berjanji pada subjek B (calon pengantin perempuan) untuk untuk menyayangi B (tindakan X), memenuhi keperluan B (tindakan Y) dan menghormati keluarga B (tindakan Z).
  • A dan B saling berjanji, A melakukan X dan B melakukan Y. Satu agen ingin agar agen kedua melakukan X (atau tidak melakukan X), tetapi agen kedua tersebut hanya bersedia melakukan (atau tidak melakukan) X jika agen pertama setuju untuk melakukan Y. A perlu meyakinkan B bahwa ia melakukan X. B perlu meyakinkan A bahwa ia akan melakukan Y bila A sudah melakukan X (Michael, 2021). Ini disebut sebagai game theory (Michael, 2021). Gundlach et al. (1995) menamakannya sebagai komitmen bersama (joint commitment).
  • Komitmen melakukan perilaku berulang yang dilakukan bersama orang lain. A dan B berteman sama-sama berkerja di Jakarta. Mereka sering pulang bersama naik kereta api ke Bogor (tindakan X) setelah bubaran jam kantor jam 17.00 WIB. Tempat tinggal mereka   Kalau jam bubar kantor berbeda, A akan menunggu B atau B akan menunggu A di stasiun yang sama setiap hari tanpa janjian. Pada suatu hari, A bubaran kantor satu jam lebih cepat atau jam 16.00 WIB. Pilihan bagi A ada dua: pulang lebih cepat satu jam atau menunggu B. Pilihan tersebut ditentukan oleh komitmen berbasis kebiasaan. Karena berkomitmen mempertahankan kebiasaan pulang besama, A memutuskan menunggu B.

Pertanyaan: Dalam pemasaran relasional, mana komitmen konsumen yang berfungsi, apakah komitmen individu ataukah komitmen sosial?

Kita memiliki berbagai macam komitmen dalam kehidupan sehari-hari, namun belum diketahui bagaimana individu mengenali dan menilai tingkat komitmennya sendiri dan komitmen orang lain (Michael, 2021). Kadang kita merasa berkomitmen, namun tidak melakukan apapun (Michael et al., 2016). Diperlukan tingkat komitmen tertentu (kita sebut minimum threshold) agar kita melakukan committed action. Setiap orang berbeda dalam level komitmen dimaksud. Bahkan setiap action memerlukan level komitmen yang berbeda (Michael, 2021).

Ada komitmen yang kita simpan dalam diri kita, ada pula yang kita ungkap pada orang lain. Theriault et al. (2021) menyatakan kita mengungkapkan komitmen secara terbuka pada orang lain karena kita ingin mempertahankan reputasi sebagai orang yang dapat dipercaya, sehingga orang lain menghargai diri kita. Namun, Michael (2021) juga mengakui bahwa kita tidak selalu menyatakan komitmen secara terbuka, akan tetapi orang lain juga dapat mendeteksi  komitmen kita melalui perilaku berulang yang kita tunjukkan.

Menurut Salancik (1977), komitmen akan lebih kuat apabila dinyatakan secara terbuka. Dengan kata lain, apabila tidak kita nyatakan kepada orang lain, komitmen akan lebih lemah. Salancik (1977) juga menyatakan bahwa seseorang yang merasa berkomitmen memiliki tiga kondisi persepsi:

  1. Ada kesempatan untuk mencabut komitmen (revocability),
  2. Ada keterbukaan terhadap orang-orang penting dalam hidup (publicness). Dengan publicness artinya orang-orang penting dalam hidup hidup kita (misalnya teman dan keluarga) dapat menangkap nilai-nilai apa yang kita pertahankan dan orang seperti apa kita dengan komitmen yang kita pegang. Pencabutan komitmen dapat meruntuhkan nilai-nilai dan citra diri kita.
  3. Ada kemauan memegang komitmen (volition). Seperti disampaikan pada poin pertama, sebenarnya pemegang komitmen memiliki kesempatan untuk mencabut komitmennya, namun ia memperhitungkan biaya psikologis pencabutan komitmen. Sekali lagi, sebenarnya pemegang komitmen punya kehendak bebas untuk mencabut atau mempertahankan komitmen. Jadi,  keputusan mempertahankan komitmen adalah sebuah kesengajaan (volition) atau pilihan yang dibuat secara sadar. Menurut Salancik (1977), komitmen akan lebih kuat ketika pemegang komitmen merasa keputusan mereka: (1) tidak mudah dibatalkan, (2) diketahui oleh orang-orang penting dalam hidupnya, dan (3) diperlakukan sebagai pilihan bebas (bukan paksaan).

Definisi

Definisi komitmen ada yang dikembangkan untuk untuk ruang lingkup umum dengan harapan berlaku untuk bidang apa saja, dan ada pula yang didasarkan pada bidang spesifik, yang tentunya lebih cocok untuk bidang tersebut. Sebagian definisi didasarkan  pada perspektif komitmen individual, sebagian lagi memiliki kaitan dengan komitmen sosial dan sebagian lainnya menggunakan perspektif individual dan sosial sekaligus.

Cambridge University Press & Assessment (n.d.) mengartikan  komitmen sebagai janji atau keputusan yang meyakinkan melakukan sesuatu (a promise or firm decision to do something). Dalam definisi ini tidak dijelaskan siapa yang membuat janji atau keputusan, tidak jelas pula komitmen dimaksud menyangkut apa dan siapa. Karena tidak dibatasi, apabila komitmen itu terkait orang lain, orang terkait itu bisa individu, bisa sekelompok orang. Kamus memang bersifat umum, jadi wajar kalau menggunakan pendekatan yang tidak spesifik agar demikian agar definisi berlaku pada semua situasi.

Kiesler dan Sakumura (1966) menggambarkan komitmen sebagai pilihan atau preferensi stabil yang disertai oleh sikap penolakan terhadap perubahan (stable preference that was bound by an attitude of resistance to change). Crosby dan Taylor (1983) juga menyatakan bahwa kecenderungan untuk menolak perubahan preferensi merupakan pengertian dasar komitmen.

Berdasarkan sudut pandang filosofi, Michael (2021) menggambarkan komitmen sebagai komitmen sosial. Ia menyatakan bahwa komitmen terjadi dalam konteks hubungan antara dua agen dan satu tindakan: (1) paling tidak satu agen berkomitmen (agen A), (2) agen  pada siapa komitmen dibuat (agen B) dan (3) sebuah tindakan (tindakan X) yang ingin dilakukan agen pemegang komitmen (agen A), yang telah memberi kepastian pada agen kedua bahwa ia akan melakukannya, dan agen kedua (agen B) telah mengetahuinya. Selengkapnya dikatakan (hal. 3):

According to a standard philosophical conception, a commitment is a relation among at least one committed agent, at least one agent to whom the commitment has been made the committed agent is obligated to perform because she has given an assurance to the second agent that she will do so, and the second agent has acknowledged this under conditions of common knowledge.

Jenis Komitmen berdasarkan Faktor Pembentuk

Crosby dan Taylor (1983) menyatakan ada dua proses yang membentuk komitmen. Pertama, proses yang berkaitan dengan struktur kognitif dan bagaimana individu mengelola informasi tentang preferensi mereka. Kesesuaian preferensi dengan  pemikiran rasional dapat membentuk komitmen. Misalnya, Felisia menganggap Scarlett Whitening adalah merek terbaik dari semua pilihan pelembab dan pemutih kulit, karena itu dia mempertahankan (maintain) preferensinya pada merek tersebut. Proses kedua berkaitan dengan keterkaitan pribadi (personal attachment) dan apakah pemegang komitmen mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai penting dan citra diri yang terkait dengan preferensi (disebut proses identifikasi). Semakin kuat konsumen mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai dan citra yang terkandung dalam suatu pilihan, semakin besar pula rasa penolakan mereka terhadap perubahan pilihan tersebut.

Komitmen dalam Pemasaran

Komitmen adalah konsep sentral pemasaran relasional (Bansal et al., 2004). Komitmen berperan penting membentuk loyalitas dan mencegah konsumen beralih merek atau pemasok (Bansal et al., 2005) ke merek atau pemasok lain (Pritchard et al., 1999; Roberts-Lombard et al., 2022; Tu et al., 2014).

Pada dasarnya, komitmen dalam pemasaran dipandang dalam konteks sebuah hubungan. Karena itu, definisi komitmen umumnya dirumuskan dalam kerangka hubungan. Dwyer et al. (1987) menyatakan komitmen sebagai janji eksplisit dan implisit para pihak yang melakukan pertukaran untuk melanjutkan hubungan (“an implicit or explicit pledge of relational continuity between exchange partners”). Dalam definisi ini sudah hubungan antara pihak yang melakukan pertukaran. Komitmen adalah janji para pihak itu untuk melanjutkan atau mempertahankan hubungan itu.

Definisi yang banyak dirujuk dari Moorman et al. (1992) mengartikan ‘komitmen pada hubungan’ (commitment to the relationship) sebagai keinginan kuat terus-menerus (enduring desire) untuk mempertahankan  hubungan yang bermanfaat (as an enduring desire to maintain a valued relationship).

Untuk tujuan yang sama, Morgan dan Hunt (994) mengartikan komitmen relasional (relationship commitment) sebagai keyakinan rekan bahwa hubungan saat ini dengan rekan lainnya sangat penting dan perlu usaha maksimal untuk mempertahankannya. Berbagai definisi tersebut dapat diterapkan dalam hubungan pemasaran antara antara konsumen dengan merek (brand commitment), konsumen dengan perusahaan (consumer commitment), konsumen dengan komunitas (group commitment), konsumen dengan perusahaan serta perusahaan antara perusahaan dengan perusahaan lain (relationship commitment).

Berdasarkan Meyer dan Herscovitch (2001), kita dapat mengaitkan komitmen konsumen dengan banyak target berdasarkan pengertian komitmen sebagai sebuah kekuatan yang mempertautkan (bind) individu dengan suatu tindakan yang relevan dengan satu atau lebih target (commitment is a force that binds an individual to a course of action of relevance to one or more targets).  Tu et al. (2014) berusaha memperjelas target dimaksud dengan menyatakan bahwa komitmen konsumen adalah komitmen pada sebuah organisasi atau segala sesuatu yang berhubungan dengan organisasi itu, seperti merek, citra merek dan reputasi merek (“customer commitment can be defined as commitment to an organization or the things associated with that organization, like its brands, brand image, and brand reputation”).

Pada awalnya komitmen dipandang sebagai konsep unidimensi dalam pemasaran (Bansal et al., 2004; Keiningham et al., 2015), namun sejak tahun 1997, komitmen mulai diperlakukan sebagai konsep multidimensi (Keiningham et al., 2015) mengikuti Allen dan Meyer (1990). Namun, menurut Bansal et al. (2004), komitmen sebagai konsep multidimensi banyak digunakan dalam pemasaran bisnis.

Dimensi-dimensi Komitmen dan Pengukurannya

Tidak ada konsensus tentang dimensi-dimensi komitmen.   Sebagian peneliti memperlakukan komitmen sebagai konsep unidimensi, seperti yang diperlakukan Bauer et al. (2023) untuk mengukur komitmen merek  (brand commitment) pusat hiburan, komitmen pelanggan (Tu et al., 2014).

Tabel 1A. Contoh Pengukuran Komitmen Merek sebagai Konsep Unidimensi

KonstrukItem Pertanyaan
Komitmen merek

(Bauer et al., 2023)

1.     Saya sangat berkomitmen untuk [nama merek]
2.     [Nama merek] sangat penting buat saya
3.     [Nama merek] adalah tempat yang ingin saya kunjungi selamanya
4.     [nama merek] terasa seperti keluarga
5.     [Nama merek] adalah sesuatu yang sangat saya pedulikan
6.     [Nama merek] layak memperoleh usaha maksimum saya untuk digunakan terus

Tabel 1B. Contoh Pengukuran Komitmen Pelanggan sebagai Konsep Unidimensi

KonstrukItem Pertanyaan
Komitmen pelanggan (Tu et al., 2014)1.    Saya memiliki hubungan jangka panjang dengan TOYOTA
2.    Saya memedulikan pekembangan dan kesuksesan TOYOTA
3.    Saya bangga sebagai anggota TOYOTA
4.    Saya adalah loyalis TOYOTA
5.    Saya ingin berpartisipasi pada even-even pemasaran TOYOTA

Dalam memperlakukan komitmen sebagai konsep multidimensi, sebagian besar peneliti pemasaran masih meminjam menggunakan konsep yang dikembangkan pada bidang lain. Pada bidang organisasi, Allen dan Meyer (1990) membagi komitmen ke dalam tiga dimensi, yaitu dimensi afektif (affective), dimensi kalkulatif (calculative) dan dimensi normatif (normative). Komitmen afektif mencerminkan komitmen psikologis dan emosional. Komitmen kalkulatif mencerminkan investasi ekonomi yang dirasakan serta kurangnya alternatif yang dirasakan. Komitmen normatif didasarkan pada keyakinan individu bahwa memegang komitmen adalah sebuah kewajiban sesuai dengan norma yang berlaku (komitmen ini biasanya bekerja dalam lingkungan masyarakat). Konsep Allen dan Meyer (1990) terbukti cocok digunakan pada berbagai bidang dengan target komitmen yang berbeda-beda (Bansal et al., 2005).

 

Keiningham et al. (2015) berusaha mengembangkan dan menguji secara empiris lima dimensi komitmen konsumen, yatu komitmen afektif (affective), normatif (normative), ekonomi (economic), terpaksa (forced) dan kebiasaan (habitual).

  1. Komitmen afektif ditandai oleh emosi yang kuat dalam hubungan antara pelanggan dan perusahaan.
  2. Komitmen normatif didasarkan pada pengakuan pelanggan bahwa dirinya dan merek memiliki norma dan nilai yang sama (internal atau eksternal). Kesamaan ini diwujudkan oleh pelanggan dengan niat dan perilaku terhadap merek, misalnya, pembelian ulang.
  3. Komitmen ekonomi didasarkan pada penilaian kognitif atas investasi yang telah dicurahkan pada suatu merek. Dimensi ini dikembangkan Kenningham et al. (1990) berdasarkan studi Meyer et al. (1990) yang menemukan bahwa pengorbanan yang dilakukan seorang karyawan pada perusahaan mempengaruhi komitmennya.
  4. Komitmen terpaksa (forced commitment) terjadi ketika konsumen merasakan tidak adanya alternatif. Komitmen jenis ini menghasilkan sikap negatif dan loyalitas semu. Konsumen bisa mencabut komitmen apabila alternatif lain tersedia. Komitmen demikian sejalan dengan konsep Fournier (1998) hubungan yang dipaksakan (forced relationship) antara konsumen dan merek. Menurut Fournier, tidak ada koneksi afeksi positive dalam hubungan demikian dan ia menganggap komitmen ini sebagai sisi gelap pemasaran relasional (a dark side of marketing relationship).
  5. Komitmen kebiasaan (habitual commitment) terbentuk karena pembelian dan konsumsi  berulang-ulang. Pengulangan dimaksud terjadi dengan sendirinya dengan sedikit pertimbangan (inersia). Seperti dikatakan Aaker (1991), pembiasaan dapat menciptakan loyalitas pelanggan tanpa melibatkan emosi dan pertimbangan rasional. Aaker menyatakan bahwa loyalitas berbasis kebiasaan dalah kategori paling rendah. Konsumen mudah meninggalkan komitmen apabila sudah mengetahui atau mengonsumsi merek lain yang sama atau lebih bagus. Karena itu, tantangan bagi merek saingan adalah menstimulasi agar konsumen yang terbiasa dengan satu merek mencoba merek mereka.

Seperti telah disampaikan, belum ada standar dimensi-dimensi komitmen dalam pemasaran, termasuk item-item pengukurannya. Para peneliti menggunakan dimensi-dimensi yang mereka anggap sesuai dengan konteks penelitian mereka. Dalam penelitian tentang komitmen terhadap hotel yang menggunakan layanan swadaya (self-service), Beatson et al. (2006) membagi komitmen ke dalam tiga dimensi, yaitu dimensi afektif, temporal dan instrumental (Tabel 2).

DimensiArtiItem pertanyaan
Afektif“Affective commitment is conceptualised as a desire to continue a relationship with an organisation because of a liking or a positive attitude toward the organization”I feel a sense of belonging to this hotel
I am loyal to this hotel
I am committed to my relationship with this hotel
I would like to develop a long-term relationship with this hotel
Temporal“Temporal commitment refers to the longevity of the consumer’s commitment to the organisation, or expectations of continuity, and is reflected in the stability of the relationship, suggesting that the relationship will exist over time”I expect to continue to return to this hotel for a long time to come.
My relationship with this hotel is omething I intend to maintain
I am certain my relationship with this hotel will last a long time
Instrumental“The instrumental view of commitment is that the consumer stays with the organisation because of the existence of perceived costs should they leave the relationship”.I do not have a good alternative to this hotel
It would cost me a great deal to stay in another hotel
In general it would be inconvenient to change hotels

Dalam penelitian tentang layanan di bidang perbankan, grosir dan telepon, Fullerton (2005) menggunakan dua dimensi komitmen, yaitu komitmen afektif (affective commitment) dan komitmen keberlanjutan (continuance commitment). Dia mengartikan komitmen sebagai kekuatan psikologis keterikatan (a force of psychological attachment) karena rasa suka (affective commitment) dan potensi kerugian bila mencabut komitmen (continuance commitment) (Tabel 3).

Tabel 3. Komitmen sebagai Konsep Dua Dimensi

DimensiItem pertanyaan
Komitmen afektif“I feel emotionally attached to X”
“X has a great deal of personal meaning for me”
“I feel a strong sense of identification with X”
Komitmen keberlanjutan (continuance commitment)It would be very hard for me to switch away from X right now even if I wanted to
My life would be disrupted if I switched away from X
It would be too costly to switch from X right now

Dengan banyaknya peneliti yang menggunakan komitmen sebagai konsep multidimensi, apakah konsep unidimensi using? Garbarino dan Johnson (1999) menunjukkan bahwa komitmen sebagai konsep unidimensi tidak dapat dikatakan usang karena dapat menunjukkan pengaruh mediasi kepercayaan, sikap, kepuasan dan familiaritas terhadap intensi.

Apa yang Membentuk Komitmen?

 Secara umum, Morgan dan Hunt (1994) menggambarkan bahwa faktor utama pembentuk komitmen adalah kepercayaan. Namun, berbagai penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor pembentuk komitmen berbeda berdasarkan objek komitmen. Espejel et al. (2011) menemukan bahwa komitment terhadap anggur rasa khas wilayah tertentu (PDO Wine) dibentuk oleh kepuasan dan kepercayaan (Gambar 1). Kepercayaan dipengaruhi oleh kepuasan. Jadi, kepuasan memengaruhi komitmen secara langsung maupun melalui kepercayaan. Menariknya, terkait kualitas, yang menarik dari temuan mereka, kepuasan dipengaruhi oleh kualitas intrinsik, sedangkan kepercayaan dipengaruhi oleh kualitas ekstrinsik. Dalam penelitian ini komitmen diperlakukan sebagai konsep unidimensi.

Dengan setting bengkel mobil, Bansal et al. (2004) menggambarkan komitmen pelanggan terhadap bengkel ke dalam tiga kategori, dengan penyebab berbeda-beda, yaitu:

  1. Komitmen afektif (affective commitment) yang berkaitan dengan keterikatan emosional (emotional attachment) terhadap bengkel mobil karena pelanggan memang menginginkannya.  Dimensi ini dipengaruhi oleh kepuasan dan kepercayaan.
  2. Komitmen dengan perhitungan (continuance commitment, bisa juga disebut cognitive commitment) yang berkaitan dengan keterikatan berbasis biaya. Artinya, pelanggan mempertahankan ikatan dengan bengkel mobil karena menguntungkan. Dimensi ini dipengaruhi oleh daya tarik bengkel mobil lain dan ongkos beralih atau kerugian kalau pindah bengkel (switching cost).
  3. Komitmen normatif (normative commitment) yang menyatakan keterikatan dengan bengkel sebagai sesuatu yang baik dilakukan (the right thing to do). Dimensi ini dipengaruhi oleh norma subjektif. Pengertian norma subjektif dapat dilihat di sini.

Bagaimana kalau tawaran pemasaran (marketing offering) adalah suatu tawaran? Khan et al. (2020) merumuskan bahwa pengalaman konsumen (customer experience) berpengaruh positif dan signifikan pada komitmen afektif dan komitmen kalkulatif. You may want to read consumer experience and e-experience.

Dampak Komitmen

Pada umumnya, para ahli sepakat bahwa dampak komitmen adalah loyalitas. Namun, cara mengungkapkan loyalitas berbeda-beda. Bansal et al. (2004) mendeteksi loyalitas dari keinginan beralih. Mereka menggambarkan bahwa normative commitment, affective commitmen dan continuance commitment berpengaruh negatif terhadap keinginan beralih bengkel. Artinya, semakin tinggi komitmen (normative, afektif dan continuance), semakin malas pelanggan meningggalkan bengkel. Keiningham et al. (2015) mendeteksi dampak komitmen terhadap maksud membeli kembali. Mereka menemukan bahwa komitmen-komitmen afektif, normatif, ekonomi dan kebiasaan berpengaruh pada keinginan membeli produk kembali, namun tidak dengan komitmen yang dipaksa (forced commitment).

Referensi

  1. Aaker, D. A. (1991). Managing Brand Equity. The Free Press.
  2. Allen, N. J., & Meyer, J. P. (1990). The measurement and antecedents of affective, continuance and normative commitment to the organization. Journal of Occupational Psychology, 63(1), 1–18. https://doi.org/10.1111/j.2044-8325.1990.tb00506.x
  3. Bansal, H. S., Irving, P. G., & Taylor, S. F. (2004). A Three-Component Model of Customer to Service Providers. Journal of the Academy of Marketing Science, 32(3), 234–250. https://doi.org/10.1177/0092070304263332
  4. Bansal, H. S., Taylor, S. F., & James, Y. S. (2005). “Migrating” to new service providers: Toward a unifying framework of consumers’ switching behaviors. Journal of the Academy of Marketing Sciences, 33(1), 96–115.
  5. Bauer, B. C., Carlson, B. D., & Arnold, M. J. (2023). Deciphering consumer commitment: Exploring the dual influence of self‐brand and self‐group relationships. Psychology & Marketing, 40(12), 2539–2558. https://doi.org/10.1002/mar.21901
  6. Beatson, A., Coote, L. V., & Rudd, J. M. (2006). Determining Consumer Satisfaction and Commitment Through Self-Service Technology and Personal Service Usage. Journal of Marketing Management, 22(7–8), 853–882. https://doi.org/10.1362/026725706778612121
  7. Bratman, M. E. (2014). Shared Agency: A Planning Theory of Acting Together. Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780199897933.001.0001
  8. Cambridge University Press & Assessment. (n.d.). Commitment. In Cambridge Dictionary. Retrieved September 30, 2024, from https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/commitment
  9. Crosby, L. A., & Taylor, J. R. (1983). Psychological Commitment and Its Effects on Post-Decision Evaluation and Preference Stability among Voters. Journal of Consumer Research, 9(4), 413. https://doi.org/10.1086/208935
  10. Dwyer, F. R., Schurr, P. H., & Oh, S. (1987). Developing Buyer-Seller Relationships. Journal of Marketing, 51(2), 11–27. https://doi.org/10.1177/002224298705100202
  11. Espejel, J., Fandos, C., & Flavián, C. (2011). Antecedents of Consumer Commitment to a PDO Wine: An Empirical Analysis of Spanish Consumers. Journal of Wine Research, 22(3), 205–225. https://doi.org/10.1080/09571264.2011.622516
  12. Fournier, S. (1998). Consumers and their brands: Developing relationship theory in consumer resear. Journal of Consumer Research, 24(4), 343–373. https://doi.org/. https://doi.org/10.1086/209515
  13. Fullerton, G. (2005). How commitment both enables and undermines marketing relationships. European Journal of Marketing, 39(11/12), 1372–1388. https://doi.org/10.1108/03090560510623307
  14. Garbarino, E., & Johnson, M. S. (1999). The Different Roles of Satisfaction, Trust, and Commitment in Customer Relationships. Journal of Marketing, 63(2), 70–87. https://doi.org/10.1177/002224299906300205
  15. Gundlach, G. T., Achrol, R. S., & Mentzer, J. T. (1995). The Structure of Commitment in Exchange. Journal of Marketing, 59(1), 78–92. https://doi.org/10.1177/002224299505900107
  16. Keiningham, T. L., Frennea, C. M., Aksoy, L., Buoye, A., & Mittal, V. (2015). A Five-Component Customer Commitment Model: Implications for Repurchase Intentions in Goods and Services Industries. Journal of Service Research, 18(4), 433–450. https://doi.org/10.1177/1094670515578823
  17. Khan, I., Hollebeek, L. D., Fatma, M., Islam, J. U., & Riivits-Arkonsuo, I. (2020). Customer experience and commitment in retailing: Does customer age matter? Journal of Retailing and Consumer Services, 57, 102219. https://doi.org/10.1016/j.jretconser.2020.102219
  18. Kiesler, C. A., & Sakumura, J. (1966). A test of a model for commitment. Journal of Personality and Social Psychology, 3(3), 349–353. https://doi.org/10.1037/h0022943
  19. Meyer, J. P., Allen, N. J., & Gellatly, I. R. (1990). Affective and continuance commitment to the organization: Evaluation of measures and analysis of concurrent and time-lagged relations. Journal of Applied Psychology, 75(6), 710–720. https://doi.org/10.1037/0021-9010.75.6.710
  20. Meyer, J. P., & Herscovitch, L. (2001). Commitment in the workplace: Toward a general model. Human Resource Management Review, 11(3), 299–326. https://doi.org/10.1016/S1053-4822(00)00053-X
  21. Michael, J. (2021). The Philosophy and Psychology of Commitment (1st ed.). Routledge. https://doi.org/10.4324/9781315111308
  22. Michael, J., Sebanz, N., & Knoblich, G. (2016). The Sense of Commitment: A Minimal Approach. Frontiers in Psychology, 6. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2015.01968
  23. Moorman, C., Zaltman, G., & Deshpande, R. (1992). Relationships between Providers and Users of Market Research: The Dynamics of Trust within and between Organizations. Journal of Marketing Research, 29(3), 314. https://doi.org/10.2307/3172742
  24. Morgan, R. M., & Hunt, S. D. (1994). The Commitment-Trust Theory of Relationship Marketing. Journal of Marketing, 58(3), 20–38. https://doi.org/10.1177/002224299405800302
  25. Pritchard, M. P., Havitz, M. E., & Howard, D. R. (1999). Analyzing the Commitment-Loyalty Link in Service Contexts. Journal of the Academy of Marketing Science, 27(3), 333–348. https://doi.org/10.1177/0092070399273004
  26. Roberts-Lombard, M., Nemadzhilili, F. H., Coelho, G. S. M. Q., & Mangope, O. S. (2022). Investigating the antecedents and outcome of commitment in a business-to-consumer service environment. Acta Commercii, 22(1). https://doi.org/10.4102/ac.v22i1.1028
  27. Salancik, G. R. (1977). Commitment is too easy! Organizational Dynamics, 6(1), 62–80. https://doi.org/10.1016/0090-2616(77)90035-3
  28. Theriault, J. E., Young, L., & Barrett, L. F. (2021). The sense of should: A biologically-based framework for modeling social pressure. Physics of Life Reviews, 36, 100–136. https://doi.org/10.1016/j.plrev.2020.01.004
  29. Tu, Y.-T., Liu, W.-C., & Chang, Y.-Y. (2014). Customer Commitment as a Mediating Variable between Corporate Brand Image and Customer Loyalty. Journal of Education and Vocational Research, 5(1), 17–27. https://doi.org/10.22610/jevr.v5i1.148