Last Updated on December 5, 2023 by Bilson Simamora
Pemasaran berbasis pengalaman (experiential marketing) telah telah diakui sebagai satu tradisi keilmuan dalam pemasaran. Pendekatan ini muncul sejak para pemasar mengakui bahwa tidak semua marketing offering dapat dijabarkan ke dalam atribut-atribut. Sebagai alternatif, pada tahun 1982, Holbrook and Hirschman (1982) memperkenalkan konsep ‘aspek pengalaman konsumsi’ (experiential aspects of consumption). Dalam konsep tersebut, menurut mereka, fantasi (fantasies) berbasis pengalaman (experience), perasaan (feelings) dan keasyikan (fun), dapat menjadi tujuan dan kriteria konsumsi. Turisme, arung jeram, hotel, dan pertunjukan musik adalah beberapa contoh pengalaman konsumsi. Penjelasan selanjutnya bisa dilihat di sini.
Experiential marketing dikembangkan dalam konteks pemasaran offline. Bagaimana dengan pemasaran online?
Online Customer Experience
Ada dua kategori pengalaman konsumen pada saat mereka berbelanja online, yaitu site experience dan online purchase experience. Site experience adalah pengalaman saat mengunjungi toko online, sedangkan online purchase experience adalah pengalaman mulai dari dilakukannya transaksi sampai produk diterima. Pengalaman setelah produk diterima dan digunakan tidak dimasukkan dalam cakupan online customer experience.
Website dianggap sebagai lingkungan elektronik. Karena itu, para ahli umumnya menjelaskan site experience menggunakan teori S-O-R (stimulus-organism-response). Teori ini dapat dibaca di sini.
Relationship marketing lahir tahun awal 1990-an pada saat pemasaran online belum memasyarakat. Pada awalnya, perspektif teori ini masih didasarkan pada perpekfif human relationship (h-relationship). Pada tahun 1999, Gumesson memasukkan hubungan berbasis internet (e-relationship) sebagai salah satu bentuk relationship, yang diformalkan sebagai R12:
“The electronic relationship, the e-relationship, represented by the internet, email and mobile telephone, is set against the h-relationship, the human relationship. The concept of high tech-high touch becomes increasingly more crucial to watch in RM and CRM.”
Maraknya pemasaran online saat ini meningkatkan relevansi e-relationship. Dalam pemasaran online, diperlukan pendekatan relationship yang berbeda karena perilaku konsumen dan bentuk hubungan yang berbeda.
Yang menjadi fokus perhatian adalah kita adalah relationship dengan pemasar online (seperti Traveloka, Tiket.com, Tokopedia, Shopee dan lain-lain), yang ditandai oleh kunjungan berkala konsumen ke situs penjualan untuk melakukan transaksi. Kunjungan berulang ke situs penjualan dipengaruhi oleh pengalaman mengunjungi situs tersebut, sehingga terbentuk keterlibatan konsumen (consumer engagement).
Menurut Brodie et al. (2011), consumer engagement adalah interaksi berulang yang menguatkan koneksi emosi, psikologis dan fisik terhadap merek (repeated interaction that strengthen the emotional, psychological and physical investment). Sedangkan menurut Haven (2007), engagement adalah tingkat keterlibatan, interaksi, keintiman, dan pengaruh individu pada merek dari waktu ke waktu.
Pengalaman menggunakan situs online mempengaruhi consumer engagement. Menurut Arnold et al. (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan situs atau aplikasi terinstalasi (installed application) adalah sebagai berikut:
- Ketersediaan informasi, berkaitan dengan bagaimana konsumen mencari informasi untuk menentukan opsi transaksi terbaik (how a consumer seek all the available information or content of the website that will influence individual in their purchase behavior). Ketersediaan informasi yang begitu banyak meningkatkan fenomena information overload yang dapat membingungkan konsumen dan menghambat transaksi online (Roetzel, 2018).
- Persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use), yaitu tingkat kemudahan menggunakan situs atau aplikasi. Situs atau aplikasi yang mudah dibuka (waktu loading singkat), memberikan prosedur jelas dan jarang gagal akan memberikan pengalaman positif.
- Persepsi kegunaan (perceived usefulness), yaitu penilaian seberapa berguna situs atau aplikasi bagi saya. Situs dan aplikasi yang memenuhi kebutuhan berbelanja online memberikan pengalaman positif.
- Persepsi manfaat (perceived benefit), yaitu persepsi konsumen bahwa ia akan memperoleh manfaat tambahan dengan menggunakan situs atau aplikasi.
- Persepsi pengendalian (perceived control), yaitu persepsi seseorang bahwa ia mampu mewujudkan keinginannya berbelanja online (tidak tergantung pada faktor eksternal).
- Keahlian (skill), yaitu kemampuan menggunakan situs atau aplikasi secara optimal. Bagi banyak konsumen yang kurang menguasai teknologi faktor ini menjadi penghambat.
- Kepercayaan dan resiko (trust and risk). Tidak semua situs dan aplikasi belanja online yang dapat dipercaya. Persepsi resiko tinggi (kepercayaan rendah) menjadi penghambat keterlibatan online. Persepsi resiko dimaksud mencakup resiko fungsional (apakah konsumen memperoleh produk sesuai janji), resiko waktu (apakah barang dikirim sesuai jadwal), resiko keuangan (apakah barang dikirim setelah uang ditransfer), resiko penyebaran data konsumen dan resiko kerusakan produk selama pengiriman.
- Kegembiraan (enjoyment) yang dihasilkan oleh pengalaman online.
Gao dan Bai (2014) menggunakan teori S-O-R untuk menggambarkan e-experience dan dampaknya bagi perilaku konsumen. Menurut mereka, pada lingkungan online retailing, rangsangan dioperasionalkan sebagai berbagai isyarat atmosfer website, yang pada kasusnya, berupa website perusahaan travel. Organisme adalah konsumen yang menilai secara kognitif pengalaman online mereka dengan web itu, yang dinyatakan dalam bentuk pengalaman mengalir (flow experience).
Berdasarkan penelitian sebelumnya (Hoffman dan Novak, 1996; Koufaris, 2002), flow adalah keadaan psikologis yang merupakan episode kognitif, yang berfluktuasi dengan konteks situasional dan mungkin dipengaruhi interaksi individu dengan situasi tersebut. Floh dan Madlberger (2013), untuk contoh, secara empiris menunjukkan bahwa situs web online dengan desain yang menarik dan organisasi yang mapan menyenangkan mereka pelanggan, dan akhirnya mengarahkan mereka ke tempat belanja yang menarik pengalaman, misalnya, pengalaman aliran. Dalam pengertian ini, studi ini memandang mengalir sebagai variabel organik yang dipengaruhi oleh rangsangan (yaitu web sebagai isyarat atmosfer). Respon atau tanggapan dikategorikan sebagai niat beli, perilaku dan kepuasan konsumen hasil lanjutan perilaku.
Flow dibentuk oleh tiga dimensi terkait situs, yaitu kandungan informasi (informativeness), keefektifan (effectiveness) dan unsur hiburan (entertainment). Selanjutnya, flow menghasilkan niat membeli produk yang ditawarkan pada situs dan kepuasan terhadap situs. Selanjutnya, kepuasan menjadi landasan bagi terbentuknya trust dan loyalty, yang menjadi faktor penyusun kualitas hubungan konsumen (relationship quality).
Pendapat lain diberikan oleh Rose et al. (2012) seperti dalam model berikut ini.
Interactive speed diindikasikan oleh:
- Kecepatan terbukanya website dan halaman-halaman di dalamnya.
- Kecepatan berinteraksi dengan admin internet (misalnya, kecepatan menjawab pertanyaan melalui ruang chat).
- Kecepatan merespon tindakan yang kita lakukan. Misalnya, setelah kita melakukan pembayaran online, seberapa cepat perusahaan: (1) mengonfirmasi pembayaran kita dan (2) melakukan proses lanjutan setelah pembayaran.
Telepresence terkait dengan:
- Perasaan memasuki dunia baru saat mengunjungi internet, yang akan hilang apabila meninggalkan website.
- Pengalaman seperti berada di dunia lain atau lepas dari dunia sekitarnya saat memfokuskan diri pada website.
Challenge meliputi:
- Perasaan tertantang untuk mengeluarkan kemampuan terbaik waktu menggunakan internet.
- Perasaan diri memiliki kemampuan lebih (di atas rata-rata) untuk menggunakan internet.
Connectedness mencakup:
- Kemungkinan berhubungan dengan konsumen lain yang memiliki minat pada internet yang sama.
- Pentingnya kesempatan untuk membagikan komentar terkait pengalaman menggunakan produk kepada online shopper yang lain.
- Anggapan bahwa rekomendasi konsumen lain sebagai hal penting.
- Keinginan agar pengelola website berkomunikasi dengan dirinya melalui saluran personal (personal message).
Estetika mencakup:
- Aspek keindahan desain website.
- Iklan pihak ketiga yang tidak mengganggu.
- Kesan kemenarikan nama atau merek website.
Estetika adalah pengalaman SENSE dalam Schmitt (1999).
Perceived benefit dalam model ini sama dengan perceived usefulness pada model Rose et al. (2012), ease of ease, dan perceived control sama dengan pada model Rose et al. (2011).
Cognitive experiential state adalah flow.
Affective experiential state pengalaman berupa FEEL dalam Schmitt (1999).
Online Shopping Experience
Setelah situs dikunjungi atau aplikasi ter-install, menurut Haris dan Chernatont (2001), pengalaman situs (site experience) ditentukan oleh nilai rasional, nilai emosional dan pengalaman yang dijanjikan. Faktor-faktor yang berkaitan dengan pengalaman tersebut ditampilkan pada diagram di bawah.
Customer Transaction
Pada konsumen online, internet adalah sumber utama informasi produk maupun perusahaan. Bagi mereka, internet menjadi bagian vital dalam proses pencarian informasi (information search), terlihat dari lamanya waktu yang dihabiskan menjelajahi internet.
Konsumen online memiliki lebih banyak informasi yang diperoleh dari dari berbagai sumber, seperti website perusahaan atau merek, media sosial, online customer reviews and rating, online customer testimonies, dan sumber-sumber informasi tradisional. Dari semua itu, media digital berperan penting dalam keputusan pembelian. Oleh karena itu, pemasar online harus memaksimalkan customer testimonies, review and rating positif dengan cara mengoptimalkan kualitas produk dan customer experience.
Consumer engagement dengan website menjadi prakondisi untuk membeli produk. Apakah konsumen akan bertransaksi atau tidak adalah tahap selanjutnya. Perlu diketahui, faktor-faktor apa yang mempengaruhi keputusan konsumen di sebuah toko online? Berdasarkan studi di Inggris, Chamberlin (2010) mencatat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi transaksi online adalah seperti tercantum pada gambar di bawah ini.
Site Experience, Online Shopping Experience and Relationship Marketing
Site experience dan shopping experience dapat menghasilkan unsur-unsur relationship quality, yaitu kepuasan, kepercayaan dan loyalitas. Pertanyaannya, apakah dengan sendirinya terbentuk relationship antara perusahaan dan konsumen? Jawaban: Perusahaan perlu membentuk relationship dengan konsumen yang puas, percaya, dan loyal pada perusahaan. Teknologi internet memungkinkan penerapan marketing automation sebagian atau keseluruhan (contoh Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan Tiket.com, Youtube, Facebook, Google), yang mencakup:
- Automatic registration
- Product customization.
- Marketing communication automation.
- Ordering system automation.
- Price automation.
- Service automation.
Referensi
Arnold, M. J., Reynolds, K. E., Ponder, N., & Lueg, J. E. (2005). Customer delight in a retail context: Investigating delightful and terrible shopping experiences. Journal of Business Research, 58(8), 1132–1145. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2004.01.006
Brodie, R. J., Hollebeek, L. D., Jurić, B., & Ilić, A. (2011). Customer Engagement: Conceptual Domain, Fundamental Propositions, and Implications for Research. Journal of Service Research, 14(3), 252–271. https://doi.org/10.1177/1094670511411703
Chamberlin, G. (2010). Googling the present. Economic and Labor Review, 4, 59-95. https://doi.org/10.1057/elmr.2010.166.
Gao, L., & Bai, X. (2014). Online consumer behaviour and its relationship to website atmospheric induced flow: Insights into online travel agencies in China. Journal of Retailing and Consumer Services, 21(4), 653–665. https://doi.org/10.1016/j.jretconser.2014.01.001
Gummesson, E. (1999). Total Relationship Marketing: Experimenting with a Synthesis of Research Frontiers. Australasian Marketing Journal. https://doi.org/10.1016/S1441-3582(99)70204-1
Harris, F. , & de Chernatony, L. (2001). Corporate branding and corporate brand performance. European Journal of Marketing, 35/3-4, 441-456. https://doi.org/10.1108/03090560110382101
Haven, B. 2007). Marketing’s new key metric: Engagement Forrester Research. Cambridge, MA
Hemp, P. (2009). Death by information overload. Harvard Business Review [Online Journal]. Retrieved January 30, 2009, from https://hbr.org/2009/09/death-by-information-overload.
Holbrook, M. B., & Hirschman, E. C. (1982). The experiential aspects of consumption: Consumer fantasies, feelings, and fun. Journal of Consumer Research, 9(2), 132–140. https://doi.org/10.1086/208906
Roetzel, P. G. (2019). Information overload in the information age: A review of the literature from business administration, business psychology, and related disciplines with a bibliometric approach and framework development. Business Research, 12(2), 479–522. https://doi.org/10.1007/s40685-018-0069-z
Rose, S., Clark, M., Samouel, P., & Hair, N. (2012). Online Customer Experience in e-Retailing: An empirical model of Antecedents and Outcomes. Journal of Retailing, 88(2), 308–322. https://doi.org/10.1016/j.jretai.2012.03.001
Rose, S., Hair, N. and Clark, M. (2011) Online Customer Experience: A Review of the Business-to-Consumer Online Purchase Context. International Journal of Management Reviews, 13, 24-39. https://doi.org/10.1111/j.1468-2370.2010.00280.x
Schmitt, B.H. (1999) Experiential Marketing. Journal of Marketing Management, 15, 53-67. http://dx.doi.org/10.1362/026725799784870496