Keputusan, Pilihan dan Niat Perilaku


Versi lengkap dan berbahasa Inggris artikel ini dapat ditemukan pada tautan: https://jurnal.kwikkiangie.ac.id/index.php/JEP/article/view/834

Karena isinya adalah terjemahan versi bahasa Inggris, pengutipan dapat menggunakan versi aslinya”

Simamora, B. (2022). Decision, intention, expectation, willingness, and volition: Critics and comments. Jurnal Ekonomi Perusahaan29(1), 1–15. https://doi.org/10.46806/jep.v29i1.834


Umpamakan anda dalam posisi akan memilih satu di antara sejumlah kandidat pekerja. Apabila calon yang ditetapkan berdasarkan feeling atau rasa suka dan tidak suka, maka anda membuat pilihan. Akan tetapi, apabila pilihan dibuat berdasarkan kebutuhan perusahaan dan kemampuan calon pekerja, maka anda membuat keputusan (decision).

Pilihan (choice) berhubungan dengan nilai-nilai (values), keyakinan (beliefs), dan intensi (intention), sedangkan keputusan berhubungan dengan prediksi kinerja (performance) dan konsekuensi keputusan (consequences). Memilih lebih mudah dibanding memutuskan. Penentuan pilihan bersifat impulsif (Verma, 2017). Keputusan membutuhkan energi dalam penetapannya, dihadapkan pada resiko salah penetapan, dan memerlukan determinasi untuk merealisasikannya (Hopson et al., 2021).

Changing Minds (n.d.) menambahkan bahwa keputusan bisa bersifat prediktif, seperti memutuskan naik mobil daripada sepeda motor ke kantor karena memrediksi hari akan hujan. Dengan adanya pertimbangan, ditinjau dari segi waktu, membuat keputusan umumnya lebih lambat daripada membuat pilihan.

Untuk perilaku yang dilakukan dengan sukarela (voluntarily) dan sengaja (deliberately), pengambilan keputusan perlu melalui momen keputusan, yaitu momen yang mempertanyakan: Apakah saya melakukannya atau mana yang harus saya pilih? Setelah keputusan dibuat, individu dapat menghilangkan ketidakpastian tentang apa yang mau dilakukan. Pada momen ini, individu dapat menyatakan bermasuk (intend) melakukan sesuatu sesuai keputusannya namun belum tentu ia melakukannya. Setelah tahap decision pun, individu bisa masuk kembali ke tahap ketidakpastian atau indecision (Hampshire dan Hart, 1958). Penelitian-penelitian tentang keputusan konsumen seharusnya dilakukan pada momen lahirnya keputusan (moment of the decision) dan tidak tepat apabila konsumen kembali ke tahap indecision.

Keputusan Tidak Memiliki Tingkatan

Keputusan hanya mengenal dua kemungkinan, memutuskan (decision) dan tidak memutuskan (indecision). Keputusan ‘menikah’ atau ‘tidak menikah’, misalnya, adalah memilih satu opsi di antara keduanya. Dalam pemilihan perguruan tinggi, keputusan calon mahasiswa adalah penetapan perguruan tinggi mana yang dipilih. Karena itu, pengukuran keputusan tidak dapat menggunakan skala berjenjang, seperti itemized scale, Likert scale, continuous scale, numeric scale, dan semantic differential scale. Karena merupakan penetapan pilihan, maka instrument penelitian dapat menggunakan pertanyaan terbuka. Kalau tertutup, skala yang mungkin digunakan skala dikotomi, pilihan berganda. Skala data yang dihasilkan nominal.

Kualitas Keputusan

Apa saja topik penelitian terkait keputusan? Yang menjadi perhatian para ahli adalah apakah opsi yang dipilih sudah tepat? Untuk masuk lebih dalam isu kita perlu pemahaman yang jelas tentang apa arti keputusan yang tepat. Para ilmuwan umumnya melihat kualitas suatu keputusan dari dua pertimbangan. Pertama, pendekatan proses, di mana kualitas keputusan dinilai berdasarkan bagaimana keputusan itu dibuat. Pendekatan yang umumnya digunakan dalam konteks bisnis dengan premis bahwa, dengan keputusan yang tepat, pembuat keputusan memiliki peluang tertinggi untuk mencapai suatu tujuan. Mereka percaya bahwa proses yang baik harus menghasilkan hasil yang baik, dan sebaliknya (Keren & de Bruin, 2017). Namun, harapan ini tidak selalu dapat dikonfirmasi.

Tidak ada jaminan bahwa proses yang baik akan menghasilkan hasil yang baik, dan proses yang tidak jelas akan menghasilkan hasil yang merugikan. Pada kenyataannya, proses yang baik dapat menghasilkan hasil yang merugikan, dan keputusan yang buruk dapat berakhir dengan hasil yang baik. Selain itu, tidak ada kesepakatan tentang standar proses pengambilan keputusan (Keren & de Bruin, 2003). Situasi semakin gawat karena pengambilan keputusan mungkin melibatkan langkah-langkah bawah sadar yang bebas dari pertimbangan pengambil keputusan atau hakim (Willman-Iivarinen, 2017).

Kedua, dalam pendekatan hasil, kualitas keputusan pembuat keputusan ditentukan oleh kesukaan hasil keputusan (Keren & de Bruin, 2017), ditunjukkan dengan seberapa puas pembuat keputusan terhadap keputusan mereka (Tyburski, 2017). Sudut pandang ini berpendapat bahwa pilihan yang paling memuaskan adalah pilihan yang paling tepat sesuai dengan situasi, bukan yang terbaik untuk menghasilkan hasil perilaku (Keren & de Bruin, 2003; Tyburski, 2017). Pendekatan ini paling umum dalam konteks konsumsi pribadi.

Masalah dengan pendekatan hasil adalah, pertama, banyak keputusan dibuat di bawah ketidakpastian (decision under uncertainty). Para pembuat keputusan tidak memiliki visi yang jelas tentang apa yang akan terjadi dengan hasil keputusan di masa depan (Chernev et al., 2015; Tyburski, 2017). Dengan ketidakpastian ini, keputusan yang memuaskan dapat menyebabkan hasil yang merugikan (Keren & de Bruin, 2017; Spetzler et al., 2017), dan sebaliknya. Kedua, hasil keputusan sering terjadi dalam jangka panjang (Mellers, 2000), dan kepuasan keputusan yang dibuat pada saat pilihan memiliki beberapa hal untuk dikatakan tentang kepuasan konsumsi yang akan datang (Heitmann et al., 2007). Selain itu, dalam layanan partisipatif, hasil (outcomes) keputusan sebagian besar ditentukan oleh partisipasi pelanggan dalam proses penciptaan nilai (Dong et al., 2014).

Berdasarkan uraian di atas, topik-topik penelitian keputusan individual ada dua. Pertama adalah rasa suka atas hasil keputusan, yang diwakili oleh kepuasan atas keputusan (decision satisfaction), seperti dalam Heitmann et al. (2007), Keren & de Bruin (2017), dan Tyburski (2017). Pendekatan kedua adalah keyakinan bahwa proses pengambilan keputusan sudah dilakukan dengan tepat, yang diwakili oleh justifiability dan decision confidence (Flavian et al., 2016; Heitmann et al., 2007; Lee & Dry, 2010).

 

 

 

Tabel 1. Mengukur Justifiability, Confidence, dan Decision Satisfaction

KonstrukItem PertanyaanSumber
Decision JustifiabilitySaya pikir akan mudah untuk membenarkan keputusan saya untuk memilih merek ini, jika ada yang mempertanyakannyaHeitmann et al. (2007)
Saya dapat melihat pada pandangan pertama bahwa merek ini adalah pilihan terbaik untuk saya
Saya menilai keputusan saya memilih merek ini adalah bijaksana
Keputusan saya memilih merek ini tidak mengandung semacam perjudian
Decision ConfidenceTidak mungkin untuk memastikan merek  mana yang paling sesuai dengan preferensi saya*Heitmann et al. (2007)
Saya merasa yakin bahwa bahwa merek ini paling cocok bagi saya.
Saya yakin merek ini yang paling memenuhi kebutuhan saya.
Saya akan memilih universitas ini andaikan saya melakukan pemilihan ulang.
Decision SatisfactionSaya puas bahwa saya mendapat informasi yang baik tentang universitas ini sebelum saya memilihnyaHolmes-Rovner et al. (1996)
Keputusan saya untuk memilih universitas ini adalah keputusan terbaik bagi saya pribadi
Saya puas bahwa keputusan saya untuk memilih universitas ini sesuai dengan nilai-nilai pribadi saya
Saya berharap untuk berhasil melaksanakan (atau terus melaksanakan) keputusan saya untuk memilih universitas ini
Saya puas dengan keputusan saya untuk memilih universitas ini

Keterangan: *Pertanyaan terbalik

Intensi Perilaku

Para ahli ilmu keperilakuan (behavioral science) sudah lama tertarik mempelajari niat berperilaku (behavioral intention) karena konstruk ini dapat digunakan untuk memprediksi perilaku aktual. Azjen (2002) mengartikan secara longgar niat berperilaku (behavioral intention) sebagai kesiapan individu untuk melakukan suatu perilaku (an individual’s readiness to perform a given behavior). Warsaw dan Davis (1985) mengartikannya sebagai tingkat perumusan rencana yang dibuat dengan sadar untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku (the degree to which a person has formulated conscious plan to perform or not to perform a behavior).

Senada dengan kedua pengertian tersebut, Hampshire dan Hart (1958) menjelaskan bahwa behavioral intention bukan sekedar tindakan yang akan dilakukan seseorang. Menurut mereka, agar perbuatan di masa depan (future action) dapat dikatakan sebagai intensi, syarat pertama adalah individu tahu dan mampu mendeklarasikan apa yang akan dilakukannya. Apabila Mavin mendeklarasikan akan mengatur diet, dia tahu apa yang dimaksud dengan mengatur diet dan dapat mengomunikasikan atau mendeklarasikan intensinya. Apabila dia akan mengatur asupan makanan, tetapi tidak tahu konsepnya sebagai manajemen diet, maka dia tidak bisa mendeklarasikannya.

Perbuatan yang dilakukan tanpa pengetahuan atau deklasi dikatakan sebagai kebetulan (acting by accident). Kedua, individu akan melakukan perbuatan secara sengaja (intentionally) berbasis alasan (reasoned-action) atau untuk meraih tujuan tertentu. Karena itu, konsep berhavioral intention cocok dengan perilaku yang digerakkan tujuan (goal-directed behavior) atau berbasiskan alasan (reasons-based behavior). Misalnya, pengaturan diet yang dilakukan Mavin dimaksudkan untuk meningkatkan penampilan, meningkatkan fungsi jantung dan ginjal, dan menguatkan otot (approach goals) serta menurunkan resiko penyakit gula dan darah tinggi (avoidance goals).

Konsep behavioral intention (BI) dalam Theory of Reactioned Action (TRA) dan Theory of Planned Behavior (TPB) menggunakan pendekatan ini. Sebagaimana diketahui, sikap yang dijadikan sebagai anteseden BI pada kedua model adalah model sikap terhadap perilaku (Ab). Model sikap ini memperhitungkan keluaran (outcomes) yang dapat diraih (positive outcomes) atau dihindari (negative outcomes) dengan melakukan suatu perbuatan. Jadi, perilaku di masa depan dapat dikatakan sebagai intensi adalah kalau dilakukan dengan suatu alasan (reasoned action) atau terencana (planned behavior). Apabila dilakukan secara berulang, terpicu secara spontan atau karena faktor kebetulan, perilaku masa depan bukanlah behavioral intention.

Intensi Spesifik dan Tidak Spesifik

Menurut Ajzen (2002), dalam penelitian tentang behavioral intention, target perilaku perlu spesifik dan memenuhi unsur Target, Action, Context, and Time (TACT). Saya berniat lari pagi di luar ruangan (outdoor) selama 30 menit setiap hari mulai besok’ adalah contoh pernyataan spesifik. Unsur Action menyangkut apa yang mau dilakukan (lari pagi), target adalah intensitas aksi (30 menit), context berkaitan dengan di mana perilaku dilakukan (di luar ruangan), dan time berbicara tentang kapan dilakukan (mulai besok). Intensi seperti dinamakan implementation intention (Bagozzi, 2010).

Apakah perilaku tidak spesifik dapat diteliti? Jawabnya dapat. Intensi berupa ‘saya berniat lari pagi’ juga dapat diteliti. Apakah perilaku yang diteliti spesifik atau tidak spesifik tergantung kebutuhan sebenarnya. Namun, perlu diingat bahwa behavioral intention dipakai untuk memrediksi perilaku aktual (Ajzen, 2020; Fishman et al., 2020). Semakin spesifik behavioral intention, semakin akurat kemampuannya memrediksi perilaku sebenarnya (actual behavior) (Ajzen, 2013; Fishman et al., 2020; Pomery et al., 2009). Jadi, apabila ingin memperoleh akurasi tinggi, maka perilaku yang diteliti perlu spesifik (Ajzen, 2013, 2020).

Mengukur Intensi Berperilaku

Sebelum melakukan penelitian tentang intensi perilaku, perlu dijawab dua pertanyaan. Pertama, apakah responden dapat mendeklarasikan intensinya? Kedua, apakah intensi perilaku yang diteliti dilakukan secara sengaja (intentionally) berdasarkan alasan (reasoned-action) atau untuk tujuan tertentu yang mau dicapai? Kalau memenuhi kedua pertanyaan intensi perilaku memenuhi syarat. Intensi lari pagi di luar ruangan (outdoor) selama 30 menit setiap hari mulai Januari 2022 adalah memenuhi syarat karena dapat dideklarasikan (lari pagi) dan memiliki tujuan (menjadi lebih kuat dan terhindari dari penyakit).

Contoh-contoh instrument pengukuran intensi perilaku dari penelitian-penelitian sebelumnya disajikan pada Tabel 2. Terlihat bahwa para peneliti menggunakan bentuk dan jumlah item   pertanyaan yang berbeda-beda. Memang tidak ada item pertanyaan standar untuk mengukur konstruk ini, sekalipun tahun 2006 dan 2013, Ajzen sudah berusaha menyediakannya (Ajzen, 2020). Ketiadaan standar ini dapat dimengerti karena perilaku bersifat spesifik dan membutuhkan pengukuran yang spesifik. Yang perlu dipastikan adalah, item-item pertanyaan yang digunakan harus valid dan reliabel.

Tabel 2. Contoh-contoh Pengukuran Intensi Perilaku

KonstrukItem PertanyaanKata KunciSumber
Niat merokok1.     Apakah anda berencana merokok tahun depan?IntentionPomery et al. (2009)
Niat mendaur ulang limbah rumah tangga1.     Bulan depan saya berniat mendaur ulang limbah rumah tanggaIntentionPassafaro et al. (2019)
2.     Seberapa mantap keputusan anda melakukannya?Decision quality
Niat menggunakan mobile learning1.     Andaikan saya punya ke akses ke mobile learning, saya akan menggunakannyaImplementation intentionChao (2019)
2.     Andaikan saya telah punya akses ke mobile learning, niscaya saya telah menggunakannyaImplementation intention
3.     Saya berencana menggunakan mobile learning di masa depanIntention
Berjalan di atas treadmill setidaknya selama 30 menit setiap hari pada bulan mendatang1.     Saya berniat berjalan di atas treadmill setidaknya selama 30 menit setiap hari di bulan mendatangIntentionAjzen (2006)
2.     Saya akan mencoba berjalan di atas treadmill setidaknya selama 30 menit setiap hari di bulan mendatangIntention
3.     Saya berencana untuk berjalan di atas treadmill setidaknya selama 30 menit setiap hari di bulan mendatangIntention
Niat menggunakan jadwal visual1.     Saya bermaksud menggunakan jadwal visual.IntentionFishman et al. (2020)
2.     Saya akan menggunakan jadwal visualVolition
3.     Seberapa besar kemungkinan anda menggunakan jadwal visual?Expectation
Makan coklat berisi prelines 1.     Seberapa banyak prelines yang anda harapkan anda akan makan bulan depan?ExpectationDe Pelsmaeker et al. (2017)
2.     Saya berniat mempunyai prelines di rumahIntention
3.     Saya berencana mempunyai prelines secara teraturIntention
Niat menggunakan aplikasi buku elektronik1.     Saya bersedia mengunduh program aplikasi buku elektronikVolitionTsai (2012)
2.     Saya ingin menggunakan e-book untuk memperoleh informasiWillingness
3.     Saya ingin menggunakan layanan yang diberikan aplikasi buku elektronikWillingness
4.     Saya ingin menggunakan informasi yang disediakan buku elektronikWillingness
Berolah raga pada lingkungan hijau (Green Exercise)1.     Saya berharap melakukan Green ExerciseExpectationFlowers et al. (2017)
2.     Saya ingin melakukan Green ExerciseWillingness
3.     Kemungkinan saya melakukan Green Exercise adalah . . .  (Very Unlikely to Very Likely)Expectation
4.     Saya berencana melakukan Green ExerciseIntention
5.     Saya berniat melakukan Green ExerciseIntention
Niat mahasiswa menjadi pengusaha1.     Saya siap melakukan apa saja untuk menjadi pengusahaVolitionSolesvick et al. (2012)
2.     Tujuan profesional saya adalah menjadi pengusahaGoal intention
3.     Saya bertekad untuk membuat usaha bisnis di masa depanWillingness
4.     Saya sangat serius berpikir untuk memulai sebuah perusahaanWillingness
5.     Saya berniat untuk memulai sebuah perusahaan suatu hari nantiIntention
6.     Saya berniat untuk memulai sebuah perusahaan dalam waktu lima tahun setelah lulusIntention

Keterbatasan Konsep Intensi Perilaku

Konsep behavioral intention (niat berperilaku) dipakai untuk memprediksi perilaku aktual (Ajzen, 2020; Perugini & Bagozzi, 2001). Berbagai penelitian (antara lain Perugini & Bagozzi, 2001; Sheeran et al., 2003; Sniehotta et al., 2014; Wood et al., 2016) menyatakan bahwa kemampuan niat (intention) untuk memprediksi perilaku adalah berkisar dari rendah, sedang (modest) sampai tinggi, tergantung pada jenis perilaku yang dipelajari. Pada bidang kesehatan,  seperti dilaporkan Gibbons (2020), konstruk tersebut gagal menjelaskan 70% hingga 80% varian perilaku aktual.

Isu utama terkait dengan masalah ini  adalah faktor metodologi. Pertama adalah elemen kestabilan. Niat berperilaku bisa berubah-ubah, tergantung pada sikap, normal subjektif dan perceived behavioral control, seperti dijelaskan dalam model Theory of Planned Behavior (Ajzen, 1991, 2020). Intensi bisa stabil, bisa pula tidak. Conner et al. (2000) menemukan bahwa determinasi niat lebih kuat untuk pemeriksaan kesehatan (Studi 1) dan mempertahankan diet rendah lemak (Studi 2) ketika dalam satu tahun, intensi relatif stabil dibanding tidak stabil. Dengan hasil ini mereka menyampaikan bahwa kestabilan intensi (intention stability) perlu diperhitungkan para peneliti.

Kedua, interval waktu antara pengukuran intensi dan perilaku. Meskipun bervariasi menurut perilaku dan usia responden, ketika interval pengukuran antara keduanya lebih dari beberapa bulan, hubungan niat berperilaku dan perilaku actual melemah (Sheeran & Orbell, 1998).

Ketiga adalah tidak dilibatkannya emosi (Gibbons, 2020; Perugini & Bagozzi, 2001). Ketika diminta untuk menggambarkan intensi mengikuti vaksinasi, misalnya, para peneliti mungkin tidak mempertimbangkan kecemasan yang dialami peserta, yang mungkin menghambat mereka mengikuti vaksinasi (Gibbons, 2020). Demikian pula dengan kekecewaan dan kegairahan (excitement) yang diantisipasi individu akan dialaminya apabila gagal atau berhasil mencapai tujuan, yang dinamakan juga antisipasi emosi (Perugini & Bagozzi, 2001), tidak diperhitungkan oleh para peneliti. Termasuk yang belum diperhitungkan adalah antisipasi emosi proponents (pendukung) maupun opponents (saingan) (Simamora, 2021).

Keempat, konsep behavioral intention memiliki kemampuan rendah untuk memprediksi perilaku yang nilai sosialnya positif atau negatif secara sosial (social desirability). Dalam perilaku demikian, terdapat kecenderungan di mana seseorang melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan niatnya (Vesely & Klöckner, 2020). Dalam memberikan sumbangan, misalnya, seseorang mungkin tidak bermaksud memberikan sumbangan, namun dia melakukannya juga karena perbuatan tersebut dianggap baik (high social-desirability). Sebaliknya, seseorang bisa tidak melakukan suatu perbuatan walaupun dia ingin melakukannya karena perbuatan itu dianggap buruk (low social-desirability) oleh lingkungan sosial. Misalnya, misalnya seorang jatuh hati pada seorang gadis dan berniat menikahinya. Namun, karena beda agama akhirnya mereka gagal menikah.

Kelima, menurut catatan Gibbons et al. (2020), konsep behavioral intention tidak mengantisipasi keberadaan individu dalam lingkungan sosial (social involvement). Mengisap rokok, misalnya, dianggap sebagai perilaku yang menciptakan citra buruk bagi pelakunya. Individu bisa mengalami kegelisahan sosial perokoknya apabila dicap sebagai perokok (Armenta et al., 2015). Semua pelajar yang pikirannya normal akan mengakui bahwa merokok adalah perbuatan yang buruk. Apabila ditanya, tentu mereka akan berkata tidak punya maksud atau niat (intention) untuk melakukannya. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa mereka tidak akan merokok kalau berkumpul dengan teman-teman perokok mereka? Seorang remaja akan sulit menolak tawaran merokok dari kawan-kawannya yang merokok atas nama gengsi dan solidaritas. Faktor ikut-ikutan juga dapat ditemukan pada pesta minuman keras pada kalangan remaja.

Keenam, Gibbons (2020) mencatat bahwa kompleksitas perilaku dapat mengurangi akurasi berhavioral intention memprediksi behavior. Adakalanya perilaku tidak sederhana, tetapi berseri. Ambil contoh mempublikasikan artikel pada jurnal. Secara berurutan langkah-langkahnya adalah: menemukan topik atau judul, mengumpulkan materi, membaca materi, menulis artikel, mengirimkan artikel, merevisi artikel, dan terakhir artikel terbit. Katakanlah seseorang sudah berniat mempublikasi artikel pada sebuah jurnal tahun 2022. Satu saja di antara langkah yang disebutkan tadi gagal, misalnya tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan reviewer, maka niat mempublikasikan artikel itu dapat berhenti.

Dengan keterbatasan-keterbatasan tersebut para ahli mencoba mencari solusi dengan mengusulkan konsep-konsep alternatif. Ada empat konstruk alternatif yang dipaparkan, yaitu implementation intention (Achtziger & Gollwitzer, 2018; Bieleke et al., 2021; Gollwitzer, 1999; Heckhausen, 1991), harapan berperilaku (behavioral expectation) (Armitage et al., 2015; Gibbons, 2020; Gibbons et al., 2020), keinginan berperilaku (behavioral willingness) (Gibbons, 2020; Gibbons et al., 2020; Pomery et al., 2009), dan prototype willingness model (Gibbons et al., 2020).

Implementation Intention

Golwitzer (1999) memaparkan adanya dua jenis niat perilaku (berhavioral intention). Yang pertama goal intention, yaitu keinginan, maksud atau rencana untuk meraih suatu tujuan (goals). Misalnya:  “Saya mau menurunkan berat badan 10 kg” atau “Saya ingin berbelanja online melalui melalui Tokopedia”. Kedua, implementation intention, yang diartikan sebagai rencana ‘jika-maka’, yang menghubungkan aspek situasional, berupa peluang bagus untuk bertindak atau momen kritis yang mendorong tindakan (jika) dengan respon (maka) yang dinilai efektif dalam mencapai tujuan atau hasil yang diinginkan. Dalam bahasa aslinya, Golwitzer (1999) menyatakan: “… if-then plans that link situational cues (i.e., good opportunities to act, critical moments) with responses that are effective in attaining goals or desired outcomes” (hal. 493). Masing-masing goal intention di atas dapat dimplementasikan dengan berbagai cara. Pada Tabel 1, intensi implementasi yang disajikan ini hanya salah satu cara mengimplementasikan goal intention.

Tabel 1. Contoh-contoh Goal Intention dan Implementation Intention

Goal IntentionImplementation Intention
Saya bermaksud berbelanja melalui toko online melalui TokopediaDalam sebulan ke depan, apabila memutuskan untuk membeli produk yang saya ingin beli secara online, saya ingin berbelanja melalui Tokopedia
Saya bermaksud makan makanan sehatApabila saya sudah memutuskan makan siang di restoran, pada saat memeriksa buku menu, saya akan memilih makanan rendah kalori
Saya berniat berolah raga lebih intensif lagiApabila cuaca mendukung dan kondisi tubuh fit, saya sudah memutuskan lari pagi minimal 30 menit setiap pagi
Saya berniat merekomendasikan merek laptop yang saya pakai ini kepada calon pembeli lainApabila teman bertanya tentang laptop yang baik atau mereka sedang mencari laptop untuk dibeli, maka saya akan merekomendasikan laptop yang saya pakai ini

Intensi implementasi diperlukan untuk merealisasikan goal intention dengan menentukan kapan, di mana, dan bagaimana seseorang memunculkan pemikiran, perasaan, atau tindakan, yang membantu mewujudkan tujuan yang ingin dicapai (Achtziger & Gollwitzer, 2018; Bieleke et al., 2021; Gollwitzer, 1999). Apabila sudah membuat keputusan, yaitu kepastian tentang kapan, di mana, dan bagaimana tindakan dilakukan, seseorang dikatakan sampai pada tahap volition (Achtziger & Gollwitzer, 2018; Bagozzi, 2010; Liljenström, 2021). Selain faktor situasional, untuk memicu perubahan goal-intention menjadi implementation intention diperlukan motivasi (Baumgartner & Pieters, 2008).  Implementation intention dapat memprediksi perilaku aktual lebih akurat dibanding goal intention (Ajzen et al., 2009; Bieleke et al., 2021).

Konsep lain terkait implementation intention adalah volition. Volition mencakup decision dan implementation intention. Menurut Baumgartner and Pieters (2008), volition dan volitional process bagian dari goal-striving. Apabila goals tercapai, maka goal striving diakhiri.  Apabila tidak tercapai, maka goal striving dapat dilanjutkan, direvisi, ditunda, atau ditinggalkan. Pada Tabel …, volition tercemin dalam kata-kata “apabila saya sudah memutuskan”.

Apakah volition bisa berubah? Bisa, namun perubahannya terjadi kalau keputusan sebelumnya berubah (Liljenström, 2021). Perubahan ini salah satunya disebabkan hilangnya motivasi (Baumgartner & Pieters, 2008).

Goal intention versus Implementation Intention

Dalam Blieke et al. (2021), tidak hanya keberadaan goal yang harus diperhatikan. Namun, konsekuensi dari pilihan yang salah juga perlu. Apabila konsekuensinya tidak ada, maka goal intention lebih kuat dibanding implementation intention. Bila konsekuensinya ada tetapi tidak serius, keduanya memiliki kekuatan sama. Namun, bila konsekuensinya besar, misalnya salah memilih perguruan tinggi, implementation intention lebih tepat.

Implementation intention lebih baik kala situasi sulit diprediksi (novel) atau mudah berubah (volatile) it (Brewster et al. 2016). Misalnya, kalau cuaca sedang tidak stabil (volatile), pertanyaan ini lebih baik, “Apabila besok cuaca cerah dan tidak hujan.

Implementation intention berfungsi lebih baik saat seseorang dihadapkan memprediksi perilaku yang tidak direncanakan (Blieke et al. 2021). Membeli Silverqueen adalah perilaku yang tidak terencana. Goal intention: Ada berniat membeli Silverqueen. Implementation intention: “Apabila anda pergi ke minimarket, lalu melihat ada produk-produk coklat di rak, apabila anda punya uang untuk membeli, seberapa besar kemungkinan anda membeli Silverqueen?”

 

Dalam Blieke et al. (2021), tidak hanya keberadaan goal yang harus diperhatikan. Namun, konsekuensi dari pilihan yang salah juga perlu. Apabila konsekuensinya tidak ada, maka goal intention lebih kuat dibanding implementation intention. Bila konsekuensinya ada tetapi tidak serius, keduanya memiliki kekuatan sama. Namun, bila konsekuensinya besar, misalnya salah memilih perguruan tinggi, implementation intention lebih tepat.

Behavioral Expectation

Behavioral intention is the degree to which a person has formulated conscious plan to perform or not to perform a behavior. It is expressed as individual perceived likelihood that he or she will perform an act (Warsaw and Davis, 1985).

Niat merupakan bagian perilaku terencana dan hasilnya dapat diprediksi (Ajzen, 1991, 2020). Banyak perilaku yang tidak terencana dan tidak ada alasan masuk akal dilakukan (misalnya merokok). Ada pula yang hasilnya tidak bisa diprediksi, misalnya mengatur diet untuk menurunkan berat badan (Armitage et al., 2015). Untuk jenis demikian, niat perilaku tidak efektif memprediksi perilaku sebenarnya. Konsep yang lebih efektif adalah behavioral expectation.

Mengukur Behavioral Expectation

“How likely’, ‘I expect’, ‘how much’, and ‘how possible’ and their variations are the words that are usually used to measure behavioral expectation. The use of the the two words should be specifically matched with the behavior. See the questions in Table2 as the examples.

Table 2. Contoh Pertanyaan Harapan Perilaku

ItemsSource
1.    Saya berharap melakukan Green ExerciseFlowers et al. (2017)
2.    Kemungkinan saya melakukan Green Exercise adalah . . .  (Very Unlikely to Very Likely)
1.    Seberapa banyak prelines yang anda harapkan anda akan makan bulan depan?De Pelsmaeker et al. (2017)
1.   Seberapa besar kemungkinan anda menggunakan jadwal visual?Fishman et al. (2020)
1.  “How likely is it that you will drink alcohol next Sunday?Armitage et al. (2015)
1.    I expect to use the system in the next <n> monthsVenkatesh et al. (2008)
2.    I will use the system in the next <n> months
3.    I am likely to use the system in the next <n> months
4.    I am going to use the system in the next

Behavioral Expectation versus Behavioral Intention

Armitage et al. (2015) menemukan bahwa lebih predictive untuk memprediksi perilaku yang sesekali dilakukan dan tidak terencana (misalnya minum alcohol) dan yang hasilnya tidak bisa dipastikan (misalnya menurunkan berat badan).

Bagaimana kalau perilaku tersebut terencana atau beralasan. The author proposes two studies to answer that question. Venkatesh et al. (2008) menemukan, terkait penggunaan system terkomputerisasi, behavioral intention is more powerful to explain actual behavior in terms of duration of use. On the other hand, behavioral expectation is more capable in predicting actual behavior in relation to frequency and intensity of use.

Untuk penggunaan jadwal berbasis elektronik, Fishman et al. (2020) menemukan bahwa behavioral intention lebih kuat dibanding behavioral expectation. Yang menarik dalam studi ini, justru kalau behavioral intention dan behavioral expectation digabung, kemampuannya menjelaskan perilaku aktual justru lebih baik dibanding behavioral intention dan behavioral expectation bekerja sendiri-sendiri.

Kedua studi ini sebenarnya memperjelaskan, pertama, behavioral expectation lebih baik menjelaskan perilaku yang tidak terencana atau tidak beralasan. Kedua, kalaupun tindakan itu beralasan, sperti penggunaan system terkomputerasi dan mengatur diet untuk menurunkan berat badan, behavioral expectation lebih baik apabila hasilnya tidak bisa diprediksi.

Referensi

Achtziger, A., & Gollwitzer, P. M. (2018). Motivation and Volition in the Course of Action. In J. Heckhausen & H. Heckhausen (Eds.), Motivation and Action (pp. 485–527). Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-319-65094-4_12

Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50(2), 179–211. https://doi.org/10.1016/0749-5978(91)90020-T.

Ajzen, I. (2013). Theory of planned behaviour questionnaire.  Measurement Instrument Database for the Social Science. Measurement Instrument Database for the Social Science. https://doi.org/Retrieved from www.midss.ie.

Ajzen, I. (2020). The theory of planned behavior: Frequently asked questions. Human Behavior and Emerging Technologies, 2(4), 314–324. https://doi.org/10.1002/hbe2.195

Ajzen, I. (2006). Constructing a TpB Questionnaire: Conceptual and Methodological Considerations [Membership Website]. Scientific Scholar. https://www.semanticscholar.org/paper/Constructing-a-TpB-Questionnaire%3A-Conceptual-and-Ajzen/6074b33b529ea56c175095872fa40798f8141867

Ajzen, I., Czasch, C., & Flood, M. G. (2009). From Intentions to Behavior: Implementation Intention, Commitment, and Conscientiousness. Journal of Applied Social Psychology, 39(6), 1356–1372. https://doi.org/10.1111/j.1559-1816.2009.00485.x

Armenta, B. E., Hautala, D. S., & Whitbeck, L. B. (2015). The utility of the prototype/willingness model in predicting alcohol use among North American indigenous adolescents. Developmental Psychology, 51(5), 697–705. https://doi.org/10.1037/a0038978

Armitage, C. J., Norman, P., Alganem, S., & Conner, M. (2015). Expectations are more predictive of behavior than behavioral intentions: Evidence from two prospective studies. Annals of Behavioral Medicin, 49, 239–246. https://doi.org/10.1007/s12160-014-9653-4

Bagozzi, R. P. (2010). Consumer Intentions. In J. Sheth & N. Malhotra (Eds.), Wiley International Encyclopedia of Marketing (p. wiem03057). John Wiley & Sons, Ltd. https://doi.org/10.1002/9781444316568.wiem03057

Baumgartner, H., & Pieters, R. (2008). Goal-Directed Consumer Behavior: Motivation, Volition, and Affect. In Handbook of Consumer Psychology (Haugtvedt, C.P., Herr, M.P., Karges, F.R., pp. 367–392). Lawrence Erlbaum Associates.

Bieleke, M., Keller, L., & Gollwitzer, P. M. (2021). If-then planning. European Review of Social Psychology, 32(1), 88–122. https://doi.org/10.1080/10463283.2020.1808936

Changing Minds. (n.d.). Choice vs. Decision. Changing Minds.Org. Retrieved December 30, 2021, from http://changingminds.org/explanations/decision/choice_decision.htm

Chao, C.-M. (2019). Factors Determining the Behavioral Intention to Use Mobile Learning: An Application and Extension of the UTAUT Model. Frontiers in Psychology, 10, 1652. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.01652

Chernev, A., Bockenholt, U., & Goodman, J. (2015). Choice overload: A conceptual review and meta-analysis. Journal of Consumer Psychology, 25(2), 333–358. http://dx.doi.org/10.1016/j.jcps.2014.08.002.

De Pelsmaeker, S., Schouteten, J. J., Gellynck, X., Delbaere, C., De Clercq, N., Hegyi, A., Kuti, T., Depypere, F., & Dewettinck, K. (2017). Do anticipated emotions influence behavioural intention and behaviour to consume filled chocolates? British Food Journal, 119(9), 1983–1998. https://doi.org/10.1108/BFJ-01-2016-0006

Demir, B., Özkan, T., & Demir, S. (2019). Pedestrian violations: Reasoned or social reactive? Comparing theory of planned behavior and prototype willingness model. Transportation Research Part F: Traffic Psychology and Behaviour, 60, 560–572. https://doi.org/10.1016/j.trf.2018.11.012

Dong, B., Sivakumar, K., Evans, K. R., & Zon, S. (2014). Effect of customer participation on service outcomes: The moderating role of participation readiness. Journal of Service Research, 18(2), 160–176. http://dx.doi.org/10.1177/1094670514551727.

Fishman, J., Lushin, V., & Mandell, D. S. (2020). Predicting implementation: Comparing validated measures of intention and assessing the role of motivation when designing behavioral interventions. Implementation Science Communications, 1(81), 1–10. https://doi.org/10.1186/s43058-020-00050-4

Flavian, C., Gurrea, R., & Orus, C. (2016). Choice confidence in the webrooming purchase process: The impact of online positive reviews and the motivation to touch. Ournal of Consumer Behaviour, 15(5), 459–476. https://doi.org/10.1002/cb.1585.

Flowers, E., Freeman, P., & Gladwell, V. (2017). The Development of Three Questionnaires to Assess Beliefs about Green Exercise. International Journal of Environmental Research and Public Health, 14(10), 1172. https://doi.org/10.3390/ijerph14101172

Gibbons, F. X. (2020, September 24). Intention, Expectation, and Willingness [Official Website]. National Cancer Institut. https://cancercontrol.cancer.gov/brp/research/constructs/intention-expectation-willingness

Gibbons, F. X., Gerrard, M., Blanton, H., & Russell, D. W. (1998). Reasoned Action and Social Reaction: Willingness and Intention as Independent Predictors of Health Risk. Journal of Personality and Social Psychology, 74(5), 1164–1180. https://doi.apa.org/doi/10.1037/0022-3514.74.5.1164

Gibbons, F. X., Stock, M. L., & Gerrard, M. (2020). The Prototype‐Willingness Model. In R. H. Paul, L. E. Salminen, J. Heaps, & L. M. Cohen (Eds.), The Wiley Encyclopedia of Health Psychology (1st ed., pp. 517–527). Wiley. https://doi.org/10.1002/9781119057840.ch102

Gollwitzer, P. M. (1999). Implementation intentions: Strong effects of simple plans. American Psychologist, 54(7), 493–503. https://doi.org/10.1037/0003-066X.54.7.493

Heckhausen, H. (1991). Volition: Implementation of Intentions. In H. Heckhausen, Motivation and Action (pp. 163–188). Springer Berlin Heidelberg. https://doi.org/10.1007/978-3-642-75961-1_6

Heitmann, M., Lehmann, D. R., & Herrmann, A. (2007). Choice Goal Attainment and Decision and Consumption Satisfaction. Journal of Marketing Research, 44(2), 234–250. https://doi.org/10.1509/jmkr.44.2.234

Holmes-Rovner, M., Kroll, J., Schmitt, N., Rovner, D. R., Breer, M. L., Padonu, G., & Talarczyk, G. (1996). Patient satisfaction with health care decisions: The satisfaction with decision scale. Medical Decision Making, 16(1), 58–64. https://doi.org/10.1177/0272989X9601600114

Hopson, J. L., Hopson, E. H., & Hagen, T. (2021, August 24). Why making a decision is harder than making a choice [Online Tabloid]. The Atlanta Journal Constitution. https://www.ajc.com/pulse/why-making-a-decision-is-harder-than-making-a-choice/4OFH4IQYTBBQTHAXNIBLCWMV5I/

Keren, G., & de Bruin, W. W. (2017). On the assessment of decision quality: Considerations regarding utility, conflict and accountability. In Thinking: Psychological Perspectives on Reasoning, Judgment and Decision Making (Harman, D. and Macchi, L., pp. 347–363). John Wiley and Sons.

Lee, M. D., & Dry, M. J. (2010). Decision making and confidence given uncertain advice. Wiley Interdisciplinary Reviews: Cognitive Science, 30(6), 1081–1095. https://doi.org/10.1207/s15516709cog0000_71

Lewis, M. A., Litt, D. M., King, K. M., Garcia, T. A., Waldron, K. A., & Lee, C. M. (2018). Consideration of future consequences as a moderator of the willingness-behavior relationship for young adult marijuana use and consequences. Addictive Behaviors, 87, 8–16. https://doi.org/10.1016/j.addbeh.2018.06.010

Lewis, M. A., Litt, D. M., Tomkins, M., & Neighbors, C. (2017). Prototype willingness model drinking cognitions mediate personalized normative feedback efficacy. Prevention Science, 18(4), 373–381. https://doi.org/10.1007/s11121-016-0742-4

Liljenström, H. (2021). Consciousness, decision making, and volition: Freedom beyond chance and necessity. Theory in Biosciences. https://doi.org/10.1007/s12064-021-00346-6

Mellers, B. A. (2000). Choice and the relative pleasure of consequences. 126(6), 910–924. https://doi.org/. https://doi.org/10.1037//0033-2909.126.6.910

Passafaro, P., Livi, S., & Kosic, A. (2019). Local Norms and the Theory of Planned Behavior: Understanding the Effects of Spatial Proximity on Recycling Intentions and Self-Reported Behavior. Frontiers in Psychology, 10, 744. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.00744

Perugini, M., & Bagozzi, R. P. (2001). The role of desires and anticipated emotions in goal‐directed behaviours: Broadening and deepening the theory of planned behaviour. 40(1), 79–98. https://doi.org/10.1348/014466601164704

Pomery, E. A., Gibbons, F. X., Reis-Bergan, M., & Gerrard, M. (2009). From willingness to intention: Experience moderates the shift from reactive to reasoned behavior. Personality and Social Psychology Bulletin, 35(7), 894–908. https://doi.org/10.1177/0146167209335166

Sheeran, P., Trafimow, D., & Armitage, C. J. (2003). Predicting behaviour from perceived behavioural control: Tests of the accuracy assumption of the theory of planned behaviour. British Journal of Social Psychology, 42(3), 393–410. https://doi.org/10.1348/014466603322438224

Simamora, B. (2021). How Proponents and Opponents Influence Achievement Motivation: The Role of the Anticipated Emotions of Other People. Gadjah Mada International Journal of Business, 23(1), 1. https://doi.org/10.22146/gamaijb.44042

Sniehotta, F. F., Presseau, J., & Araújo-Soares, V. (2014). Time to retire the theory of planned behaviour. Health Psychology Review, 8(1), 1–7. https://doi.org/10.1080/17437199.2013.869710

Solesvick, M. Z., Weshead, P., Kolvereid, L., & Matlay, H. (2012). Student intentions to become self-employed: The Ukrainian context. Journal of Small Business and Enterprise Development, 19(3), 441–460. http://dx.doi.org/10.1108/14626001211250153.

Spetzler, C., Winter, H., & Meyer, J. (2017). Decision Quality Value Creation from Better Business Decision. Hoboken, NJ: Wiley.

Tsai, W.-C. (2012). A study of consumer behavioral intention to use e-books: The Technology Acceptance Model perspective. Innovative Marketing, 8(4), 13.

Tyburski, E. (2017). Psychological determinants of decision making. In Neuroeconomic and behavioral aspects of Decision Making. Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-319-62938-4_2

Venkatesh, V., Brown, S. A., Maruping, L. M., & Bala, H. (2008). Predicting different conceptualization of system use: The competing roles of behavioral intention, facilitating condition, and behavioral expectation. MIS Quarterly, 32(3), 483–502. https://doi.org/10.2307/25148853

Verma, D. (2017, May 2). Choice vs decision: Why choice is more powerful than decision! [Online magazine]. National Views. https://nationalviews.com/choice-vs-decision-meaning-difference-examples

Vesely, S., & Klöckner, C. A. (2020). Social Desirability in Environmental Psychology Research: Three Meta-Analyses. Frontiers in Psychology, 11, 1395. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.01395

Willman-Iivarinen, H. (2017). The future of consumer decision making. European Journal of Futures Research, 5(1), 14. https://doi.org/10.1007/s40309-017-0125-5

Wood, C., Conner, M., Miles, E., Sandberg, T., Taylor, N., Godin, G., & Sheeran, P. (2016). The impact of asking intention or self-prediction questions on subsequent behavior: A meta-analysis. Personality and Social Psychology Review, 20(3), 245–268. https://doi.org/10.1177/1088868315592334