Emotion, Emotional Motivators dan Consumer Experience

Pengantar

Profitabilitas konsumen (customer equity) akan sangat besar apabila merek terkoneksi emosional secara penuh dengan konsumen. Untuk membentuk koneksi tersebut dibutuhkan emotional motivators. Pemenuhan emotional motivators dilakukan dengan membangun pengalaman konsumen (consumer experience). Setelah membaca artikel ini, pembaca dapat memahami:

  1. Apa itu emotional motivators?
  2. Apa yang dimaksud dengan fully emotional connection?
  3. Emosi apa yang dilibatkan dalam fully emotional connection?
  4. Bagaimana mengidentifikasi fully emotional connection?
  5. Bagaimana membentuk fully emotional connection melalui consumer experience?

Emotional Motivators

Menurut Magids et al. (2015), emotional motivator adalah kebutuhan mendalam akan menghasilkan emosi (perasaan) yang menggerakkan perilaku pelanggan (“feelings that drive customers’ behavior”).  Pada konteks merek, emosi mampu menggerakkan apabila konsumen terkoneksi secara emosional dengan merek. Menurut (Magids et al., 2015), pelanggan dikatakan terhubung secara emosional ketika merek sesuai dengan motivasi atau keinginan mereka. Dengan kata lain, merek tersebut membantu mereka memenuhi keinginan yang mendalam, yang sering kali tidak disadari.  Keinginan mendalam tersebutlah yang disebut emotional motivators, yang apabila dipenuhi, akan terbentuk emotional connection antara merek dan pelanggan.

Magids et al. (2015) menyatakan ada 300-an emotional motivators yang mereka temukan melalui penelitian. Sepuluh emotional motivators utama disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sepuluh Emotional Motivators Utama

Saya terinspirasi oleh hasrat untukMerek dapat membangkitkan motivator ini dengan menolong konsumen untuk:
Tampil menonjol dalam keramaian (stand out from the crowd)Proyeksikan identitas sosial yang unik; dianggap istimewa
Memiliki keyakinan di masa depan (have confidence in the future)Menganggap masa depan lebih baik dari masa lalu; memiliki gambaran mental positif tentang apa yang akan terjadi
Nikmati perasaan sejahtera (enjoy a sense of wellbeing)Rasakan bahwa kehidupan sesuai dengan harapan dan keseimbangan tercapai; mencari keadaan bebas stres tanpa konflik atau ancaman
Rasakan nuansa kebebasan (feel a sense of  freedom)Bertindak mandiri, bebas dari kewajiban atau batasan
Rasakan sensasi yang menggetarkan (feel a sense of thrill)Rasakan kesenangan dan kegembiraan yang mendalam dan luar biasa; berpartisipasi dalam acara yang menarik dan menyenangkan
Merasakan rasa memiliki (feel a sense of belonging)Memiliki afiliasi dengan orang-orang kepada siapa individu berhubungan atau terinsiprasi; merasa menjadi bagian dari suatu kelompok
Melindungi lingkungan (protect the environment)Menanamkan keyakinan bahwa lingkungan hidup adalah sesuatu yang sakral; mengambil tindakan untuk memperbaiki lingkungannya
Menjadi orang yang saya inginkan (be the person I want to be)Memenuhi keinginan untuk perbaikan diri terus-menerus; memenuhi citra diri ideal mereka
Merasa aman (fee secure)Percaya bahwa apa yang mereka miliki hari ini akan tetap ada besok; mengejar tujuan dan impian tanpa kekhawatiran
Sukses dalam hidup (succeed in life)Merasa bahwa mereka menjalani kehidupan yang bermakna; menemukan nilai yang melampaui ukuran finansial atau sosioekonomi

Magids, S., Zorpas, A., & Leemon, D. (2015). The New Science of Customer Emotions. Harvard Business Review, November, 66–74, 76. https://hbr.org/2015/11/the-new-science-of-customer-emotions

Koneksi emosional berpengaruh pada profitabilitas

Semakin terkoneksi, semakin tinggi nilai merek bagi konsumen. Apabila konsumen yang puas namun tidak terkoneksi mosional secara penuh dijadikan sebagai dasar (baseline), konsumen puas, menganggap merek berbeda dan terkonekasi secara penuh akan memberikan nilai 52% lebih tinggi. Kalau sampai level puas dan melihat merek bebeda dan tidak terkoneksi secara penuh, nilai yang disumbangkan hanya 13%. Konsumen yang tidak memiliki koneksi emosional sama sekali memberikan nilai lebih rendah 18% dari baseline.

Gambar 1. Nilai yang Disumbangkan oleh Koneksi Emosional Penuh

Sumber: Magids, S., Zorpas, A., & Leemon, D. (2015). The New Science of Customer Emotions. Harvard Business Review, November, 66–74, 76. https://hbr.org/2015/11/the-new-science-of-customer-emotions

Kenapa hubungan yang terkoneksi penuh memberikan keuntungan?

Adanya unsur emosi positif dalam hubungan yang menyebabkan merek menjadi kuat (Aaker, D.A., 1991). Menurut Kotler dan Keller (2016), merek yang kuat menyebabkan:

  1. Meningkatkan persepsi kualitas merek.
  2. Menyebabkan loyalitas konsumen yang lebih tinggi.
  3. Lebih kuat (less-vurnerable) terhadap serangan pesaing.
  4. Merek lebih tahan terhadap krisis ekonomi. Dalam situasi krisis ekonomi, konsumen cenderung lebih berhati-hati membuat keputusan pembelian. Mereka berupaya mengurangi resiko keuangan (financial risk) akibat membeli produk yang tidak sesuai harapan. Salah satu caranya adalah menjatuhkan pilihan pada merek-merek yang kuat.
  5. Konsumen bersedia membayar harga lebih tinggi.
  6. Memberikan marjin yang lebih besar.
  7. Respon konsumen terhadap kenaikan harga inelastis.
  8. Respon konsumen terhadap penurunan harga lebih elastis.
  9. Kerjasama dan dukungan perantara yang lebih kuat.
  10. Komunikasi pemasaran lebih efektif.
  11. Adanya kesempatan untuk me-lisensi merek
  12. Adanya kesempatan untuk menggunakan merek untuk produk lain berbeda (brand extension).

Apa yang dimaksud dengan terkoneksi dengan merek?

Kita dapat memahami konsep ini dengan menggunakan pendapat (Aggarwal & Iacobucci, 2004). Keduanya menyatakan bahwa hubungan antara merek dan konsumen terjadi setelah terlebih dahulu merek dipersonifikasi.Personifikasi merek adalah upaya menciptakan kesan bahwa merek adalah seseorang yang memiliki kepribadian, pikiran dan perasaan. Dengan personifikasi tersebut, hubungan antara merek dengan konsumen diumpamakan Fournier (1998) dalam 15 bentuk hubungan antara dua orang atau pihak, yaitu:

  1. Pernikahan yang diatur (arranged relationship). Hubungan yang tidak terjadi atas keinginan konsumen sendiri, akan tetapi diatur oleh pihak ketiga. Hubungan berlangsung dalam jangka panjang dan membutuhkan komitmen, tetapi dengan dukungan afeksi yang rendah.
  2. Teman biasa (casual friends/buddies). Persahabatan memiliki pengaruh dan kedekatan yang rendah, ditandai dengan keterlibatan yang jarang atau sporadis, dan sedikit harapan akan interaksi timbal balik atau disertai imbalan.
  3. Pernikahan yang nyaman (marriage of concenience). Hubungan jangka panjang dan berkomitmen yang dipicu oleh dan diatur oleh aturan yang memuaskan.
  4. Mitra berkomitmen (commitment partnership). Keadaan yang bersifat jangka panjang, dipaksakan secara sukarela, dan didukung secara sosial. Kepatuhan terhadap aturan eksklusivitas diharapkan.
  5. Sahabat (best friend). Persatuan sukarela berdasarkan prinsip timbal balik, pemberian imbalan positif yang berkelanjutan. Ditandai oleh keterbukaan jati diri, kejujuran, dan keintiman. Kesesuaian dalam citra pasangan dan kepentingan pribadi adalah hal yang sama.
  6. Persahabatan yang terkotak-kotak atau dalam situasi tertentu (compartmentalized friendships). Persahabatan yang sangat terspesialisasi, terbatas secara situasional, dan abadi yang ditandai dengan keintiman yang lebih rendah dibandingkan bentuk persahabatan lainnya, namun penghargaan sosio-emosional dan saling ketergantungan yang lebih tinggi. Masuk dan keluar dengan mudah dicapai.
  7. Hubungan kekerabatan (kinship). Penyatuan yang tidak sukarela tetapi oleh ikatan garis keturunan.
  8. Hubungan yang didorong oleh rebound/penghindaran (rebound/avoidance-driven relationship). Masih ada hubungan, tetapi ada keinginan untuk menjauh pasangan yang dipilih sendiri.
  9. Teman masa kecil (childhood friendships). Jarang berinteaksi dan penuh dengan afeksi yang dipicu oleh hubungan di masa lalu.
  10. Pacaran (courtschip). Hubungan bersifat sementara sedang menuju hubungan berkomitmen.
  11. Ketergantungan (dependencies). Ketertarikan yang obsesif, sangat emosional, dan egois yang diperkuat oleh perasaan bahwa orang lain tidak tergantikan. Perpisahan dari orang lain menimbulkan kecemasan. Hasil dari toleransi yang tinggi terhadap pelanggaran orang lain.
  12. Teman kencan (flings). Keterlibatan jangka pendek dan terikat waktu dengan imbalan emosional yang tinggi, namun tanpa komitmen dan tuntutan timbal balik.
  13. Permusuhan (enmities). Hubungan yang intens ditandai dan ditandai pengaruh negatif dan adanya keinginan untuk menghindari atau menimbulkan perceraian yang menyakitkan pada pihak lain.
  14. Hubungan rahasia (secret affairs). Hubungan yang sangat emosional dan bersifat pribadi dan dianggap berisiko jika diungkapkan kepada orang lain.
  15. Perbudakan (enslave). Hubungan non-sukarela yang diatur sepenuhnya oleh keinginan pasangan lain dalam hubungan itu. Terdapat perasaan negatif tetapi pasangan yang diperbudak bertahan karena keadaan.

Apa yang dimaksud dengan konsumen yang fully emotional connected dengan merek?

Berdasarkan Aaker (1991), hubungan yang terkoneksi secara penuh adalah hubungan yang ditandai oleh emosi positif dan komitmen yang kuat terhadap merek. Dalam hubungan demikian, konsumen puas, percaya, suka dan bangga terhadap merek.

Mana di antara  15 hubungan gambaran Fournier, dalam mana konsumen terkoneksi penuh dengan merek?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memahami pengertian emosi. Banyak pengertian emosi. Menurut Collins Dictionary (n.d.), emosi sebagai perasaan yang timbul karena situasi dalam mana anda berada atau orang lain dengan siapa anda bersama atau berinteraksi. Selengkapnya kamus itu menyatakan:

An emotion is a feeling such as happiness, love, fear, anger or  hatred, which can be caused by the situation that you are in or the people you are with.

Menurut Roseman (1991), emosi bisa positif, bisa negatif, bisa lemah dan bisa kuat. Dalam koneksi emosional yang disebutkan Magids et al. (2015), emosi yang diciptakan melalui pemenuhan emotional motivators adalah emosi positif (senang, suka, bersemangat, lega, rindu dan lain-lain). Dalam framework Roseman (1991), merek termasuk others-caused. Emosi positif yang ditimbulkan adalah liking, yang dikatakan Aaker (1991) liking the brand as a friend. Dalam tingkatan demikian, konsumen memperlakukan merek sebagai teman yang selalu bersama. Bila merek tidak ada, konsumen merasa hidupnya tidak lengkap.

Merek juga memungkinkan individu mengalami emosi positif karena diri-sendiri (self-caused) karena mampu memiliki merek dimaksud. Emosi positif yang dialami adalah bangga (pride). Kedua item ini, yaitu liking dan pride, adalah emosi yang menyertai koneksi penuh konsumen dengan merek.

Ingat bahwa lagi bahwa emotional motivators bukan emosi itu sendiri, melainkan kebutuhan mendalam (desire), yang apabila dipenuhi akan tercipta hubungan emosional  dengan merek.

Dalam Fournier (1998), hubungan merek dan konsumen yang dinamakan  pernikahan yang nyaman (nomor 3), mitra berkomitmen (nomor 4), sahabat (best friend) (nomor 5),  saling ketergantungan (nomor 11), dan hubungan rahasia (nomor 14) (Tabel 1) dapat dianggap sebagai hubungan yang terkoneksi secara penuh. Yang paling kuat di antaranya, yang disebut Magids et al. (2015) sebagai Flourishers adalah “saling ketergantungan” (nomor 11) dalam daftar Fournier (1998) di atas.

Apabila memiliki emosi positif dan lemah, konsumen memang terkoneksi dengan merek, tetapi tidak sepenuhnya. Dalam Fournier (1998), kategori penikahan yang diatur (nomor 1), teman biasa (2), persahabatan yang terkotak-kotak (nomor 6), hubungan kekerabatan (nomor 7), teman masa kecil (nomor 9), pacaran (nomor 10) dan teman kencan (nomor 12) (lihat daftar), dianggap termasuk dalam kategori ini.

Yang Menyertai Hubungan Konsumen dan Merek, Apakah Emosi Sesaat ataukah Emosi yang Berkelanjutan?

Menurut Bagozzi et al. (1999), emosi adalah perasaan yang relatif singkat, terjadinya tidak berkesinambungan (discontinued) dan disertai dengan ekspresi fisiologis (seperti gerakan tubuh, postur, ekspresi wajah dan lain-lain), yang bisa diikuti oleh tindakan khusus untuk menunjukkan atau mengatasinya. Dalam hubungan seseorang, kita dapat mengalami berbagai emosi sekaligus, misalnya marah, jengkel, senang, bangga dan lain-lain. Emosi tersebut saling meniadakan atau menutupi. Apabila lebih kuat, emosi positif akan menutupi emosi negatif, sehingga yang kita mempengaruhi diri kita adalah emosi positif. Demikian pula sebaliknya. Dalam hubungan antara orang tua dan anak, anak sering menimbulkan emosi negatif. Namun, emosi positif, yaitu cinta lebih kuat pada diri orang tua dan mampu menghilangkan emosi negatif. Emosi atau perasaan yang berkelanjutan inilah yang disebut afeksi. Afeksilah yang mendasari hubungan antara konsumen dan merek.

Bagaimana menciptakan afeksi positif dalam hubungan antara merek dan konsumen?

Magids et al. (2015) menyatakan, untuk menciptakan afeksi positif, perusahaan dapat memanfaatkan emotional motivators. Sekali lagi, emotional motivators tidak terbatas pada daftar yang ditampilkan pada Tabel 1. Ada ratusan emotional motivators yang tidak ditampilkan. Apakah ketiadaan sebagian besar emotional motivators tersebut menghambat penerapan konsep ini sebagai sebuah strategi? Tidak sama sekali. Tugas perusahaan adalah menemukan emotional motivators yang tepat untuk merek mereka.

Dalam penerapannya perlu diketahui bahwa emotional motivator yang efektif untuk sebuah merek belum tentu efektif untuk merek yang lain. Emotitional motivators bukanlah item-item yang sudah distandarisasi, tetapi berbeda-beda sesuai  perbedaan kontek (context dependent). Untuk lebih jelasnya, Magids et al. (2015) menyatakan:

  1. Emotional motivators bervariasi berdasarkan kategori dan merek yang berbeda.
  2. Emotional motivators berbeda untuk segmen konsumen yang berbeda.
  3. Emotional motivators untuk merek atau industri tertentu bervariasi berdasarkan tahap yang dilalui pelanggan dalam daur hidup hubungan (relationship lifecycle) mereka, yaitu: akuisisi (pelanggan direkrut), pelanggan baru, retensi, cross-selling dan up-selling.
  4. Kesempatan perusahaan bertumbuh akibat hubungan emosional adalah dampak seluruh pengalaman pelanggan, tidak hanya dipengaruhi oleh positioning merek dan periklanan tradisional.

Untuk mengefektifkan penggunaan emotional motivators dipemerlukan langkah-langkah berikut:

  1. Target emotional connected customers. Tidak semua konsumen terkoneksi secara emosional dengan merek. Dalam penelitian mereka, Magids et al. (2015) menemukan hanya 22% pelanggan yang terkoneksi secara penuh. Di antara konsumen yang terkoneksi secara emosional itu, terdapat kelompok yang paling terkoneksi, yang disebut Flourishers. Secara rata-rata per konsumen, kelompok ini lebih menguntungkan Sembilan kali dibanding segmen yang tidak terkoneksi sama sekali.
  2. Temukan emotional motivators yang tepat dan cek dampaknya pada keuntungan secara kuentitatif. Magids et al. (2015) menemukan bahwa “feel a sense of belonging,” “feel a sense of thrill,” and “feel a sense of freedom” adalah tiga emotional motivators paling berpengaruh pada profitablitas.
  3. Optimal investasi emotional motivators lintas fungsi. Pembangunan emotional motivators bukan hanya pekerjaan pemasaran, akan tetapi semua fungsi yang berhubungan langsung dan tidak langsung pada pemenuhan emotional motivators. Dengan kata lain, semua bagian organisasi terlibat dalam usaha tersebut.

Dalam pemanfaatan emotional motivators tersebut, cukupkah perusahaan meluncurkan promosi?

Menurut Scott (2021), agar terkoneksi secara emosional, perusahaan perlu memberikan pengalaman melebihi harapan konsumen. Misalnya, apabila emotional motivator konsumen adalah “tampil menonjol dalam keramaian (stand out from the crowd)” (nomor 1 pada Tabel 1) perlu dipenuhi perusahaan lebih dari harapan konsumen.

Apa itu pengalaman?

Menurut Cambrigde dictionary, pengalaman adalah proses. Lebih jelasnya kamus ini menyatakan bahwa proses memperoleh pengetahuan atau keterampilan dari melakukan, melihat, atau merasakan sesuatu [“(the process of getting) knowledge or skill from doing, seeing, or feeling things”].

Brakus et al. (2009) menyatakan ada tiga jenis pengalaman dalam pemasaran, yaitu pengalaman produk (product experience), pengalaman layanan dan belanja (shopping and service experience) dan pengalaman konsumsi (consumption experience). Pengalaman produk berkaitan dengan fungsi dasar atau kegunaan produk. Pengalaman berbelanja berasal dari lingkungan toko, interaksi dengan personil, sistem pembayaran dan perparkiran. Pengalaman konsumsi bersifat multidimensi, yang melibatkan dimensi hedonic, seperti perasaan, fantasi dan kegembiraan.

Pengalaman dimaksud dapat terjadi melalui kontak langsung (direct experience) dengan sumber pengalaman, bisa pula tidak langsung (indirect experience), bisa secara tidak sengaja atau sengaja, bisa positif dan negatif, bisa berlangsung singkat dan lama.

Dapatkah pengalaman dispesifikasi?

Pada tahun 1982, Holbrook and Hirschman (1982) memperkenalkan konsep aspek pengalaman konsumsi (experiential aspects of consumption) sebagai alternatif pandangan pemrosesan informasi (dalam pengambilan keputusan). Ilmu pemasaran didominasi oleh pemikiran bahwa tawaran pemasaran (marketing offering) dapat dijabarkan ke dalam berbagai atribut. Holbrook and Hirschman (1982) memberikan pendapat berbeda. Menurut mereka, fantasi (fantasies), berdasarkan sudut pandang pengalaman (experiential view), perasaan (feelings) dan keasyikan (fun) dapat menjadi pertimbangan, tujuan dan kriteria konsumsi. Turisme, arung jeram, hotel, dan pertunjukan musik adalah beberapa contoh pengalaman konsumsi.

Pengalaman terjadi sebagai akibat perjumpaan, menjalani, atau hidup melalui situasi tertentu. Pengalaman memberikan nilai-nilai sensorik, emosional, kognitif, perilaku, dan relasional, bukan sekedar nilai-nilai fungsional (Schmitt, 1999). Dengan kata lain, dalam konsumsi pengalaman, pandangan bahwa pelanggan rasional, memroses informasi dan digerakkan oleh tujuan dalam pengambilan keputusan,  berubah menjadi individu yang digerakkan oleh keinginan mencari hiburan, kesenangan, dan stimulasi emosi oleh indera (sensory-emotive).

Experiential marketing pada dasarnya berkaitan dengan aktivitasi indera penciuman, penglihatan, rasa, pendengaran, sentuhan, dan keseimbangan di antara aktivitas indera. Michelli (2007) menyatakan bahwa untuk mengubah produk biasa menjadi luar biasa, pemasar perlu  menawarkan pengalaman pada pelanggan.

Pengalaman bersifat holistic dan tidak bisa dijabarkan ke dalam atribut-atribut yang terpisah Holbrook and Hirschman (1982). Namun, Schmitt (1999) menyatakan bahwa pengalaman terdiri dari lima modul, yaitu:

  1. Pengalaman indrawi (sensory experiences) (SENSE).
  2. Pengalaman afektif (affective experiences) (FEEL).
  3. Pengalaman kognitif kreatif (creative cognitive experiences) (THINK).
  4. Pengalaman fisik, perilaku, dan gaya hidup (physical experiences, behaviors, and lifestyles (ACT).
  5. Pengalaman identitas sosial sebagai dampak asosiasi pada kelompok referensi (social-identity experiences) (RELATE).

Persoalannya adalah bagaimana mengatur intensitas (intentisity), lebar (breadth), kedalaman (depth) masing-masing modul serta keterkaitan (linkage) dan keseimbangan di antara kelimanya.

Consumer Experience untuk Apa?

Menurut Datta (2017), experiential marketing dapat digunakan untuk:

  • Meningkatkan kesadaran (awareness)
  • Meningkatkan kesetiaan
  • Memastikan relevansi
  • Mendorong interaksi dan uji coba produk
  • Menciptakan kenangan
  • Merangsang kata-kata positif dari mulut ke mulut
  • Mengubah pikiran pelanggan yang tidak puas
  • Mewujudkan keinginan konsumen
  • Memverifikasi audien sasaran
  • Meningkatkan laba atas investasi pemasaran
  • Merangsang pembelian
  • Panduan preferensi
  • Mengembangkan persepsi positif
  • Membangun hubungan

Membangun Relationship dengan Consumer Experience

Selama ini core value proposition terdiri dari tiga komponen, yaitu harga, kinerja dan layanan. Persaingan yang tinggi telah menyebabkan terjadinya komoditisasi terhadap ketiga komponen tersebut. Tawaran harga lebih rendah, kualitas dan layanan prima sudah sangat umum, sehinga tidak mampu lagi membedakan tawaran yang satu dan lainnya (Smith dan Hanover, 2016).

Magids et al. (2015) menghasilkan 300-an emotional motivators. Namun, menurut Smith dan Hanover (2016), ada empat yang paling dasar, yaitu:

  • Penggerak 1. Mereka mengidentifikasi diri dengan merek.
  • Penggerak 2. Merek membantu mereka atau memecahkan masalah.
  • Penggerak 3. Merek memiliki arti khusus bagi mereka (konsumen).
  • Penggerak 4. Mereka merasa lebih baik tentang diri mereka sendiri saat menggunakan merek.

Keempat penggerak tersebut dihasilkan oleh pengalaman (experience) dan selanjutnya memperkuat consumer-brand relationship. Dengan kata lain, consumer-brand relationship akan terbentuk apabila berdasarkan pengalaman, konsumen merasakan  bahwa merek relevan untuk identitas diri (identification), membuat perasaan lebih baik (inspiring), memecahkan masalah (helpful) dan bermakna (meaning).

Strategi Berbasis Pengalaman (Experience-Based Strategy)

Strategi berbasis pengalaman dapat digunakan untuk merekrut pelanggan baru maupun mempertahankan pelanggan lama. Menurut Smith dan Hannover (2016), ada lima platform strategi pengalaman inti (core experience strategy), yaitu koneksi (connection), kontrol (control), konten (content), mata uang (currency), dan konversi (conversion).

Connection

Smith dan Hanover (2016) menyatakan bahwa inti pemasaran berbasis pengalaman adalah membangun koneksi (connection) dengan pelanggan. Ada delapan tipe koneksi pengalaman, yaitu:

  1. Koneksi emosional (emotional connection).Program pengalaman digunakan untuk mendapatkan respon emosional dari target. Apabila sebuah merek menyebabkan ketidakpastian atau ketakutan, maka penjualan akan rendah. Pengalaman memiliki kekuatan untuk menggerakkan orang. Emotional connections memungkinkan merek menggunakan pengalaman untuk memengaruhi hati.
  2. Koneksi edukasional (educational connection).Menggunakan informasi sebagai faktor untuk membentuk konseksi. Prinsipnya adalah mengajari konsumen tentang merek, produk, atau kategori. Premisnya adalah jika jika seorang pelanggan memahami suatu produk, kemungkinan untuk membelinya adalah empat kali lipat.
  3. Koneksi kejutan dan kegembiraan (surprise and delight connections).Koneksi menggunakan aspek-aspek kejutan yang menggembirakan untuk membentuk hubungan konsumen dengan merek. Pengalaman kejutan menyenangkan cenderung diingat dal;am waktu lebih lama dibanding pesan yang disampaikan melalui pemasaran tradisional.
  4. Koneksi pencegatan (intercept connection).Pencegatan di sudut-sudut jalan, mal, stasiun kereta bawah tanah, bandara, dan jalan utama, yang dilakukan oleh perusahaan, berkontribusi pada konteksi merek-konsumen. Praktek ini dilabeli sebagai pemasaran jalanan atau gerilya. Jumlah lokasi pencegatan perlu direncanakan agar menghasilkan koneksi optimal.
  5. Koneksi influencer (influence connection).Praktek ini melibatkan sejumlah konsumen berpengaruh (market maven) atau pemimpin pendapat (opinion leader) untuk mempengaruhi kelompok konsumen yang lebih besar. Para influencer berbagi pengalaman mereka menggunakan produk dengan teman dan keluarga. Penggunaan koneksi influencer bertumbuh dengan cepat dengan keberadaan media sosial. Orang-orang yang memiliki follower puluhan dan ratusan ribu sampai jutaan banyak dipakai perusahaan untuk membagikan pengalaman mereka menggunakan produk.
  6. Koneksi percobaan (trial connection). Pengalaman menggunakan sampel produk atau layanan dapat digunakan untuk membentuk atau memperkuat koneksi dengan konsumen. Koneksi percobaan ini mencakup sampel sederhana di sudut jalan atau di toko ritel, test-drive oleh merek kendaraan, hingga uji coba teknologi baru canggih.
  7. Koneksi insentif (incentive connection).Praktek ini memberikan insentif untuk mendorong target berpartisipasi dan terhubung dengan merek. Bentuknya bisa diskon sederhana sampai hadiah bernilai tinggi dan tidak harus berupa uang. Banyak merek menggunakan akses ke acara eksklusif sebagai insentif.
  8. Koneksi gerakan (movement connection).Koneksi dibentuk dan diperkuat menggunakan amal, lembaga sosial (causes), dan upaya aktivitas berorientasi masyarakat untuk membuat koneksi. Koneksi ini dianggap sebagai experience connection paling mendasar dan murni. Hasilnya bukan sekedar koneksi merek dengan konsumen individu, melainkan juga dmasyarakat, sehingga jangka waktunya lebih lama.

Control

Platform ini berkaitan dengan seberapa besar kontrol yang harus diberikan merek atas pengalaman konsumen dan seberapa banyak yang harus diserahkan kepada mereka. Besarnya berkisar dari kontrol penuh konsumen sampai kontrol penuh perusahaan. Sebagai contoh, dalam wisata ke kaki gunung Merapi, kontrol lebih banyak dipegang oleh penyelenggara lokal daripada pengunjung. Yang dikontrol adalah: kendaraan yang dipakai menuju situs, rute perjalanan, tempat-tempat yang didatangi dan waktu kunjungan.

Content

Konsumen mendapat pengalaman apa? Dari lima modul di atas, mana yang ditawarkan pada konsumen?

Currency

Smith dan Hannover (2016) mendefinisikan currency (mata uang eksperiensial) sebagai kesukarelaan audien sasaran mengorbankan sesuatu (misalnya waktu, tenaga, biaya pendaftaran, dan tiket)  untuk, atau terlibat dalam interaksi dengan perusahaan sebagai imbalan atas pengalaman.

  • Trial currency (mata uang percobaan). Untuk mendapatkan kesempatan mengalami merek, audien sasaran dapat mencoba produk atau layanan terlebih dahulu. Trial currency adalah sejumlah nilai yang dipertukarkan untuk percobaan tersebut. Contohnya adalah untuk memperoleh pengalaman tetang mobil impian pada pameran mobil, IIMS menetapkan harga karcis masuk Rp 50.000.
  • Social currency (mata uang sosial). Audien sasaran diberi pengalaman dengan harapan mereka akan memosting pengalaman tersebut di media sosial. Untuk itu, perusahaan perlu mendesain pengalaman yang layak di-posting di media sosial.
  • Transaction currency (transaksi mata uang). Memberi penghargaan kepada pelanggan yang membeli pengalaman (atau serangkaian pengalaman). Program loyalitas (loyalty program), seperti memberi insentif untuk pembelian berikutnya, termasuk pada praktek ini.

Conversion

  • Sales conversion (konversi penjualan). Penggunaan pengalaman langsung untuk mengubah seseorang menjadi pembeli dan menghasilkan penjualan produk atau layanan. Ini adalah platform konversi pengalaman yang paling umum.
  • Pipeline conversion (konversi pipa). Menggunakan experiential marketing secara efektif untuk tujuan penciptaan permintaan. Adakalanya permintaan terhadap suatu pengalaman (produk) sebagai turunan (derived demand) pengalaman lain. Misalnya, pengalaman menggunakan video game perang meningkatkan motivasi masuk tentara. Jumlah pendaftar ke tentara dapat dipicu dengan mempopulerkan video game strategi perang.
  • Influencer conversion (konversi influencer). Pengalaman merek dirancang untuk terhubung dengan kelompok target yang lebih kecil, yang kemudian akan berbagi pengalaman itu dengan orang lain dan secara efektif “menginfeksi” teman dan keluarga mereka dengan pengalaman atau pesan yang dimaksudkan dari pengalaman tersebut.
  • Mention conversion. Menggunakan pengalaman untuk berkomunikasi dengan dan mempengaruhi pers/media dengan harapan mereka akan membuat postingan di media massa dan media sosial.
  • Retention conversion (konversi retensi). Perusahaan menggunakan pengalaman untuk menjaga dialog dan hubungan yang berkelanjutan dengan pelanggan saat ini (existing customers). Tujuan utamanya adalah merangsang pembelian berulang di masa depan.
  • Awareness conversion (konversi kesadaran). Penggunaan pengalaman merek untuk mendorong kesadaran akan suatu produk, layanan, merek, atau pesan pemasaran. Biasanya, fokusnya adalah untuk menjangkau banyak orang, bukan penjualan.
  • Human capital conversion (konversi modal manusia). Manajemen menggunakan pengalaman merek untuk melibatkan, menginformasikan, dan berkomunikasi dengan karyawan atau pemangku kepentingan.

Referensi

Aaker, D.A. (1991). Managing Brand Equity. The Free Press.

Aggarwal, P., & Iacobucci, D. (2004). The effects of brand relationship norms on consumer attitudes and behavior. Journal of Consumer Research, 31(1), 87–101. https://psycnet.apa.org/doi/10.1086/383426

Bagozzi, R. P., Gopinath, M., & Nyer, P. U. (1999). The Role of emotions in marketing. Journal of the Academy of Marketing Sciences, 27(2), 184–206. https://doi.org/10.1177/0092070399272005.

Blythe, J. (2009). Product as a bundle of benefits. SAGE Publications

Brakus, J. J., Schmitt, B. H., & Zarantonello, L. (2009). Brand Experience: What is It? How is it Measured? Does it Affect Loyalty? Journal of Marketing, 73(3), 52–68. https://doi.org/10.1509/jmkg.73.3.052

Engel, J.,  Blackwell, R.D., Miniard, P.W. (1994). Consumer Behavior. Ft. Worth, Tex.: Dryden Press

Holbrook, M. B., & Hirschman, E. C. (1982). The experiential aspects of consumption: Consumer fantasies, feelings, and fun. Journal of Consumer Research, 9(2), 132–140. https://doi.org/10.1086/208906

Kotler, P., & Keller, K. L. (2016). Marketing Management (15th ed.). Pearson Education Limited.

Magids, S., Zorpas, A., & Leemon, D. (2015). The New Science of Customer Emotions. Harvard Business Review, November, 66–74, 76. https://hbr.org/2015/11/the-new-science-of-customer-emotions

Roseman, I. (1991). Appraisal determinant of discrete emotions. Cognition and Emotion, 5(3), 161–200. https://doi.org/10.1080/02699939108411034

Schmitt, B.H. (1999) Experiential Marketing. Journal of Marketing Management, 15, 53-67. http://dx.doi.org/10.1362/026725799784870496

Smith, K., & Hanover, D. (2016). Experiential Marketing.  Hoboken, N.J.: Wiley.

Scott, J. (2021, July 9). How To Create Brand Experiences That Encourage An Emotional Connection And Word Of Mouth. Forbes. https://www.forbes.com/sites/forbesagencycouncil/2021/07/09/how-to-create-brand-experiences-that-encourage-an-emotional-connection-and-word-of-mouth/?sh=369d1c16e76b

Veto Datta, V. (2017). A conceptual study on experiential marketing: Importance, strategic, issues and its impact. International Journal of Research – Granthaalayah, 5(7), 26-30. https://doi.org/10.5281/zenodo.826667.

Woodruff, R. (1997).  Customer value: The next source for competitive advantage. Journal of the Academy of Marketing Science, 25 (2), 139–153