Emosi Konsumen

Ilustrasi emosi. Sumber: Stephenson, A. (n.d.). How emotions affect shopper behavior. Explorer Research [Educational Website]. Retrieved February 09, 2023, from https://explorerresearch.com/how-emotions-affect-shopper-behavior/

Perilaku

Sebelum membahas emosi kita perlu bahas dulu arti perilaku, sehingga perbedaan keduanya jelas. Perilaku adalah tindakan seseorang yang dapat diamati dan merupakan respons terhadap rangsangan internal atau eksternal. Perilaku dapat mencakup perilaku fisik atau verbal. Perilaku harus dapat diamati oleh pihak luar atau terlihat secara kasat mata.

Afeksi, pikiran, dan emosi tidak dianggap sebagai perilaku karena tidak dapat diamati atau dilihat. Pikiran dan emosi merupakan rangsangan internal yang sering kali menghasilkan perilaku yang dapat diamati. Misalnya, emosi kesedihan dapat mengakibatkan perilaku menangis atau emosi bahagia dapat mengakibatkan senyuman, namun pikiran atau emosi itu sendiri tidak dianggap sebagai perilaku. Berbagai macam  tindakan yang dapat diamati seperti berjalan, berlari, berteriak, berpelukan, mengerutkan kening, tersenyum, atau menceritakan rahasia kepada orang lain, merupakan perilaku.

Pengertian Emosi

Ada berbagai definisi emosi dan tidak ada konsensus mana definisi yang berlaku (Cabanac, 2002). Biasanya definisi suatu konstruk disesuaikan dengan bidang di mana sebuah konsep digunakan (Chamberlain & Broderick, 2007).

Menurut Damasio (1998),

Emotions are mental states brought on by neurophysiological changes, variously associated with thoughts, feelings, behavioral responses, and a degree of pleasure or displeasure.

Dengan terjemahan bebas dapat dikatakan emosi adalah keadaan mental, yang disebabkan oleh perubahan neurofisiologis, yang berhubungan dengan perasaan, pikiran, respon perilaku, dan tingkat kesenangan (pleasure) atau kesusahan (displeasure).

Menurut kamus Merriam-Webster (n.d.), mental berhubungan dengan pikiran. Lebih jelasnya, mental adalah keadaan total respon emosional dan intelektual terhadap stimuli eksternal.

Definisi dari Bagozzi, Gopinath, dan Nyer (1999:184) banyak dipakai dalam pemasaran. Mereka mengatakan bahwa emosi adalah:

… A mental state of readiness that arises from cognitive appraisals of events or thoughts; has a phenomenological tone; is accompanied by physiological processes; is often expressed physically (e.g., in gestures, posture,  facial  features);  and  may  result in specific actions to affirm or cope with the emotion, depending on its nature and meaning for the person having it.

Dengan terjemahan secara bebas, dapat dikatakan bahwa emosi keadaan kesiapan mental yang ditimbulkan oleh penilaian kognitif atas even atau pemikiran, memiliki sifat fenomenologis, disertai oleh proses fisiologis, sering diekspresikan secara fisik (misalnya melalui gestur, postur, dan ekspresi wajah) dan bisa direspon dengan tindakan untuk mengekspresikan atau mengatasi emosi, tergantung pada sifat emosi dan maknanya bagi orang yang mengalami.

Dari definisi di atas kita dapat melihat bahwa emosi adalah hasil penilaian kognitif (cognitive appraisal) atas suatu situasi. Cognitive appraisal adalah sebuah proses, dengan mana individu memeriksa suatu even, yang dapat menimbulkan emosi (Bagozzi et al., 1999; Watson & Spence, 2007). Sifat fenomenologis berarti bahwa emosi adalah fenomena dalam kehidupan sehari-hari yang dialami secara sadar dan kognitif (Wilson, 2002).

Defenisi yang lebih mudah dipahami diberikan oleh Collins Dictionary (n.d.). Kamus online ini menyatakan emosi sebagai perasaan yang timbul karena situasi. Lebih lengkapnya, dikatakan:

An emotion is a feeling such as happiness, love, fear, anger, or hatred, which can be caused by the situation that you are in or the people you are with.

Ketika membahas konsep emosi, biasanya para peneliti juga membahas affection (afeksi) dan mood (suasana hati) (Chamberlain & Broderick, 2007). Pada umumnya para ahli memiliki pemahaman yang sama tentang mood sebagai  perasaan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu (berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari), biasanya tidak disengaja atau subjek tidak sadar akan faktor penyebabnya Bagozzi et al., 1999; Baumeister et al., 2007). Perbedaan pandangan baru terjadi kalau berbicara tentang emosi versus afeksi. Untuk memahami perbedaan ini, kita bahas dulu emosi, setelah itu afeksi.

Tipe-tipe Emosi

Ada berbagai konsep berbeda tentang jenis-jenis emosi (Laros & Steenkamp, 2005). Item emosi tertentu dapat muncul dalam satu konsep tetapi tidak ada dalam konsep lain (Watson & Spence, 2007). Jenis-jenis emosi muncul sesuai dengan dimensi yang digunakan. Watson dan Tellegen (1985), sebagaimana dikutip oleh Watson, menggunakan tiga dimensi dan enam subdimensi untuk merumuskan jenis-jenis emosi, seperti yang tergambar pada Tabel 1.

Table 1. Watson and Tellegen (1985)’s Categories of Emotion

Sumber: Watson, D., & Tellegen, A. (1985). Toward consensual structure of mood. In Watson, D., Wiese, D., Vaidya, J., & Tellegen, A. (1999). The two general activation systems of affect: structural findings evolution considerations, and psychological evidence. Journal of Personality and Social Psychology, 76(5), 820-838. Retrieved from http:// www-psych.stanford.edu/~knutson/aaa/ watson99.pdf

Roseman (1991) mengemukakan bahwa emosi ditimbulkan oleh interaksi beberapa komponen penilaian. Yang pertama adalah agensi (agency) atau penyebab munculnya emosi. Penyebab tersebut bisa situasi sekitar kita (circumstance), faktor yang berkaitan dengan orang lain (other-caused),  dan diri-sendiri (self-caused). Circumstance berinteraksi dengan dimensi kedua, yaitu kepastian,  yaitu tidak disangka-sangka (unexpected), tidak pasti (uncertain) dan pasti (certain). Sebagai contoh, saat mendapat pemberitahuan sebagai Best Reviewer sebuah jurnal Scopus Q3, saya merasa surprise karena tidak menyangka bakal mendapat penghargaan itu.

Dimensi ketiga adalah konsistensi motif, yang memeriksa apakah suatu situasi konsisten atau tidak konsisten dengan tujuan seseorang. Situasi yang konsisten dengan motivasi akan diikuti oleh emosi positif. Di sisi lain, ketidak-konsistenan suatu situasi dengan tujuan seseorang akan menghasilkan emosi negatif.

Konsistensi motif konsisten itu sendiri dapat sesuai dengan kebutuhan (appetitive) atau berlawanan dengan perkiraan (reversive). Misalnya, seorang yang sakit keras dibawa ke rumah sakit untuk menjalani operasi agar sembuh (motif). Dokter memperkirakan bahwa peluang operasi berhasil kecil. Kasus I: Keluarga pasrah dan sudah menyiapkan diri  kalau dia meninggal (aversive). Ternyata, operasi berhasil dan pasien sembuh, keluarga merasa lega (relief). Kasus II: Keluarga tetap yakin bahwa dia akan sembuh (appetitive). Ternyata, operasi berhasil dan keluarga bersuka cita (joy) bahwa harapan mereka terpenuhi.

Dimensi keempat adalah kekuatan emosi. Interaksi keempat dimensi (penanggung jawab, kepastian, valensi, dan kekuatan)  dan item-item emosi yang ditimbulkan digambarkan pada Tabel 2. Kita dapat melihat 16 item emosi dalam kerangka ini. Setiap item emosi dibangun oleh kombinasi komponen yang terlibat. Misalnya, suatu peristiwa yang disebabkan oleh diri sendiri, tidak sesuai dengan tujuan dan penting bagi subjek, akan menimbulkan penyesalan, baik peristiwa itu pasti atau tidak pasti.

Table 2. Roseman’s (1981) Types of Emotion

Dari Table 2, beberapa tambahan yang bisa kita berikan adalah:

  1. Surprise tidak dikategorikan berdasarkan arah (valence). Dengan demikian, surprise dapat menjadi emosi positif (misalnya suprise karena pemain tidak diunggulkan sukses mengalahkan juara bertahan) atau negatif (terkejut karena seseorang yang kemarin kelihatan segar bugar diberitakan hari ini meninggal).
  2. Hope, liking dan hope selalu motive-consistent, namun tidak dapat dikategorikan apakah appetitive (sesuai prediksi atau antisipasi) ataukah aversive (berlawanan dengan prediksi atau antisipasi).
  3. Fear, frustation, dislike, shame dan guilt, selalu ‘motive-inconsistent‘, namun namun tidak dapat dikategorikan apakah appetitive (sesuai prediksi atau antisipasi) ataukah aversive (berlawanan dengan prediksi atau antisipasi).

Perlu diketahui bahwa satu kejadian yang sama dapat menghasilkan emosi yang berbeda bagi orang berbeda berdasarkan motive. Nassem Hamed, seorang petinju Inggris sengaja bertindak angkuh di ring. Dia katakan, dengan cara ini pertandingannya akan ditonton oleh lebih banyak penonton, yaitu fans yang mengharapkan dia menang dan haters yang mengharapkan dia kalah. Saat menang, pendukungnya akan merasa suka (liking) dan haters-nya merasa tidak suka (dislike). Demikian pula sebaliknya.

Emosi Dihasilkan atau Menghasilkan Penilaian Kognitif?

Seperti telah dijelaskan, emosi adalah hasil penilaian kognitif (cognitive appraisal) atas suatu situasi (Bagozzi et al., 1999). Cognitive appraisal adalah sebuah proses, dengan mana individu memeriksa suatu even, yang dapat menimbulkan emosi (Bagozzi et al., 1999; Watson & Spence, 2007). Namun, banyak juga penelitian yang menunjukkan bahwa emosi mempengaruhi penilaian kognitif.

Emosi Menghasilkan Perilaku atau Perilaku Menghasilkan Emosi?

Pertanyaan yang selalu bikin penasaran adalah: Bagaimana hubungan emosi dengan perilaku? Gagasan yang diajukan dan hampir tak terbantahkan adalah: ’emosi membentuk perilaku’ atau ‘perilaku membentuk emosi’.

Baumeister, Vosh, DeWall, dan Zhang (2007) menyatakan bahwa kedua premis tersebut belum sepenuhnya menjelaskan hubungan emosi dan perilaku. Mereka mengatakan bahwa premis ‘emosi membentuk perilaku’ hanya bekerja untuk perilaku dasar atau naluriah. Misalnya, orang mungkin mencium bahaya saat bertemu harimau di hutan dan merasa takut. Rasa takut ini dapat langsung memicu orang lari menyelamatkan diri (Baumeister et al., 2007).

Untuk tingkat perilaku yang lebih tinggi, seperti juga dikemukakan oleh Nyer (1997) dan Watson dan Spence (2007), orang belajar terlebih dahulu apakah perlu atau tidak menanggapi emosi yang dialami dengan sebuah tindakan. Jika jawabannya ya, orang juga belajar tindakan apa paling tepat untuk menanggapinya.

Baumeister et al. (2007) menyatakan bahwa teori terbaik untuk menjelaskan asosiasi emosi dan perilaku adalah ‘sistem umpan balik’. Menurut Brown, Cron, dan Slocum (1997), sistem ini didasarkan pada premis bahwa emosi antisipatif (yang diarahkan pada tujuan) memengaruhi niat perilaku dan selanjutnya perilaku yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Orang dianggap dapat memprediksi konsekuensi emosional dari keberhasilan atau kegagalan mereka untuk mencapai tujuan di masa depan. Antisipasi ini memberi energi pada usaha saat ini untuk memperoleh keberhasilan atau menghindari kegagalan yang akan datang.

Perugini dan Bagozzi (2001) mengadaptasi pendekatan ini, menamakan emosi masa depan sebagai antisipasi emosi (anticipated emotions) dan memodelkan pengaruhnya pada perilaku dengan model-of-goal-directed behavior (MGB). Dalam model ini, emosi antisipasi positif (positive anticipated emotion) dan emosi antisipasi negatif (negative anticipated emotion), antara lain, adalah penentu keinginan. Keinginan mempengaruhi niat perilaku dan perilaku selanjutnya.

Afeksi

Bagozzi et al. (1999) mendefinisikan emosi sebagai perasaan yang relatif singkat, terjadinya tidak berkesinambungan (discontinued) dan disertai dengan ekspresi fisiologis (seperti gerakan tubuh, postur, ekspresi wajah dan lain-lain), yang bisa diikuti oleh tindakan khusus untuk menunjukkan atau mengatasinya. Namun, ada juga emosi yang berlangsung lama atau muncul berulang-ulang, seperti kesedihan, rasa bersalah, kegelisahan dan rasa benci. Bahkan, emosi jangka panjang ini lebih berdampak dibanding emosi jangka pendek (Elis, 2014).

Afeksi adalah konsep yang memayungi (umbrealla concept) emosi (Oliver, 1993), suasana hati atau mood (Hornik, 1993) atau emosi dan suasana hati atau mood secara bersamaan (Bagozzi et al., 1999; George, 1996).

Kita bisa mengerti afeksi dengan memahami sifat diskrit item-item emosi. Maksudnya, emosi adalah item terpisah-pisah. Seseorang dapat mengalami berbagai jenis emosi pada saat yang sama. Misalnya, hari ini Agus lulus ke universitas impiannya. Agus merasa senang. Namun, pada hari pengumuman kelulusannya, dia dapat berita bahwa pacarnya menikah dan agus sedih. Jadi, pada saat yang sama, pada contoh ini, Agus mengalami dua item emosi sekaligus, yaitu senang dan sedih.

Item-item emosi bisa saling menguatkan ataupun meniadakan. Item-item emosi yang valensinya berbeda saling meniadakan dan yang valensinya sama saling menguatkan. Pada kasus Agus, kedua item yang dialami berbeda valensi, yaitu positif (rasa senang) dan negatif (rasa sedih). Apabila rasa senang lebih kuat, maka keadaan akhir perasaan Agus adalah senang, walaupun rasa senang itu berkurang karena kesedihan. Hasil sebaliknya juga bisa terjadi.

Sampai di sini kita dapat mengerti bahwa afeksi keadaan akhir perasaan yang dihasilkan oleh sinergi emosi-emosi bervalensi sama (misalnya sama-sama positif atau sama-sama negatif) dan interaksi atrisional (interaksi saling mendiakan) emosi bervalensi berbeda (emosi positif dan negatif), dan kalau ada, ditambah mood yang sedang dialami. Afeksi bukan item perasaan spesifik, melainkan konsep besar yang mencakup emosi dan mood (Bagozzi et al., 1999).

Emosi mana yang menang tergantung pada kekuatannya dan kemampuan seseorang mengendalikannya. Pada video ini diceritakan rasa sedih dan kecewa yang sangat kuat dapat membuat seseorang mengalami gangguan jiwa.

Afeksi umumnya digunakan untuk menggambarkan hubungan seseorang dengan sesuatu, misalnya merek, binatang peliharaan, teman anggota keluarga dan lain-lain. Karena itulah, dapat dimengerti kenapa teori sikap tiga komponen (the component theory of attitude) menyatakan afeksi (affection) sebagai salah satu komponen sikap selain kognisi (cognition) dan konasi (conation).

Rasa suka pada teman adalah afeksi, demikian pula rasa cinta pada anak, orang tua, istri, pacar dan saudara. Rasa yang menjadi dasar hubungan itu adalah hasil interaksi  berbagai emosi. Misalnya, cinta  adalah emosi positif (misalnya suka, sayang, rindu dan lain-lain) dan negatif (misalnya bosan, kesal, merasa bersalah dan lain-lain), yang mewarnai hubungan seseorang dengan orang-orang yang dicintainya.

Walaupun afeksi merupakan  konsep yang memayungi emosi dan mood (suasana hati), penelitian tentang afeksi dilakukan dengan mengukur perasaan. Pendekatan ini dapat dipahami karena afeksi memang berasal dari emosi dan mood.

Penelitian tentang emosi dilakukan pada emosi yang dialami (experienced emotion). emosi yang akan dialami di masa depan (future emotion).  Suasana hati (mood) adalah konsep masa kini. Orang-orang tidak dapat menggambarkan mood di masa depan karena mereka tidak tahu penyebabnya.

Walaupun perasaan yang sedang dan akan dialami seseorang dapat ditanyakan, penelitian lengkap tentang emosi sulit dilakukan karena sebagian emosi tidak didasari (unconscious).

Referensi

  1. Bagozzi, R. P., & Gopinath, M., & Nyer, P. U. (1999). The Role of Emotions in Marketing. Journal of the Academy of Marketing Science, 27(2), 184-206.
  2. Bagozzi, R. P., & Dholakia, U. M. (1999). Goal setting and goal striving in consumer behavior. Journal of Marketing, 63, 19-32.
  3. Baumeister, R. F., Vosh, K. D., DeWall, C. N., & Zhang, L. (2007). How emotions shapes behavior. Personality and Social Psychology Review, 11, 167-203.
  4. Chamberlain, L., & Broderick, A. J. (2007). The application of physiological observation methods to emotion research. Qualitative Market Research: An International Journal, 10(2), 199-216. doi: 10.1108/13522750710740853
  5. Collins Dictionary. (n.d.). Emotion (def. 1). HarperCollins Publishers. Retrieved 21 November  2023 from https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/emotion
  6. Damasio, A.R. (1998). Emotion in the perspective of an integrated nervous system. Brain Research Review. Brain Research Review, 26 (2-3), 83-36. https://doi.org/10.1016/S0165-0173(97)00064-7
  7. Elis, M. (2014, October 31). Study investigates why sadness is the longest-lasting emotion. Medical News Today [Healt website]. Retrieved November 14, 2023, from  https://www.medicalnewstoday.com/articles/284741
  8. J. M. George, J.M. (1996). Trait and State Affect. In K. R. Murphy (ed.): Individual  Differences and Behavior in Organizations (p. 145). San Francisco: Jossey-Bass.
  9. Hornik, J. (1993). The role of affect in consumers’ temporal judgment. Psychology & Marketing, 10(3), 239-255.
  10. Laros, F. J. M., & Steenkamp, J. B. E. M. (2005). Emotions in consumer behavior: A hierarchical approach. Journal of Business Research, 58, 1435-1445. doi:10.1016/j.jbusres.2003.09.013
  11. Merriam-Webster Dictionary. (n.d.). Mental (def. 1a). Retrieved November 14, 2023, from https://www.merriam-webster.com/dictionary/mental
  12. Nyer, P. U. (1997). A study of the relationships between cognitive appraisals and consumption emotions. Academy of Marketing Science Journal, 25(4), 296-305.
  13. Oliver, R. L. (1993). Cognitive, affective, and attribute bases of the satisfaction response. The Journal of Consumer Research, 20(3), 418-430. Retrieved from http://www.uta. edu/faculty/richarme/MARK%205342/ Articles/Oliver%201993.pdf
  14. Perugini, M., & Bagozzi, R. P. (2001). The role of desires and anticipated emotions in goal-directed behaviours: Broadening and deepening the theory of planned behavior. The British Journal of Social Psychology, 40, 79-98.
  15. Roseman, I. (1991). Appraisal determinant of discrete emotions. Cognition and Emotion, 5(3), 161-200. Retrieved from http://dtserv2.compsy.uni-jena.de
  16. Stephenson, A. (n.d.). How emotions affect shopper behavior. Explorer Research [Educational Website]. Retrieved February 09, 2023, from https://explorerresearch.com/how-emotions-affect-shopper-behavior/
  17. Watson, L., & Spence, M.T. (2007). Causes and consequences of emotions on consumer behaviour: A review and integrative cognitive appraisal theory. European Journal of Marketing, 41(5/6),  487-511.
  18. Watson, D., & Tellegen, A. (1985). Toward consensual structure of mood. In Watson, D., Wiese, D., Vaidya, J., & Tellegen, A. (1999). The two general activation systems of affect: structural findings evolution considerations, and psychological evidence. Journal of Personality and Social Psychology, 76(5), 820-838. Retrieved from http:// www-psych.stanford.edu/~knutson/aaa/ watson99.pdf