Branding Strategy

Pendahuluan | Pengertian Merek | Manfaat Merek yang Kuat | Memilih Elemen-elemen Merek | Mendesain Pemasaran Holistik | Menciptakan Asosiasi Sekunder | Strategi Pemberian Merek | Brand Extension

Pendahuluan

Selama ini hubungan antara segmentasi, targeting dan positioning dan marketing mix adalah hubungan linier langsung. Artinya, setelah positioning dirumuskan, maka perusahaan merancang produk, harga, saluran distribusi dan promosi berdasarkan positioning tersebut. El-Ansary (2006) memberikan pandangan berbeda. Ia menyatakan bahwa penjabaran brand position ke dalam program pemasaran (marketing mix) perlu dimediasi oleh branding strategy.

Untuk keperluan ini El-Ansary (2006) mengartikan branding strategy sebagai pemberian nama pada produk untuk memperoleh identitas, mengembangkan makna dan memproyeksikan citra yang kondusif untuk membangun ekuitas merek (naming the offer to gain an identity, evolve meaning, and project a conducive image conducive to building brand equity).  Misalnya, sebuah majalah yang diposisikan sebagai majalah wanita, memerlukan nama merek berbau wanita untuk memperkuat posisi tersebut.

Logika pendukung lain berasal dari Kates dan Goh (2003) serta Merilles dan Miller (2010). Kenapa branding strategy dikaitkan dengan segmentasi, menurut mereka,  makna merek dapat berbeda bagi segmen yang berbeda.  Oleh karena itu, apabila dimaksudkan untuk menciptakan citra dan bukan sekedar member nama merek (Stern, 2005), branding strategy harus diarahkan pada pasar sasaran tertentu dalam mana citra itu terbentuk.

Ingat kembali uraian di depan bahwa brand position adalah sebentuk citra, yakni citra yang berbeda, jelas dan unggul dibanding pesaing. Konsep brand congruence juga dapat digunakan untuk menjelaskan hal ini. Menurut teori ini, agar citra produk (merek) dapat  mengomunikasikan (mengekspresikan) diri konsumen, maka antara citra merek dan citra diri konsumen mesti terdapat kongruensi (congruence).  Keyakinan ini telah ada sejak tahun 1960-an (antara lain Grubb dan Grathwohl 1967 dan Birdwell 1968), namun diformalkan sebagai sebuah teori oleh Sirgy (1982) dengan menamakannya teori kongruitas diri (self-congruity theory). Teori ini menyatakan bahwa perilaku konsumen ditentukan sebagian oleh kongruensi yang dihasilkan dari perbandingan psikologi antara citra produk dan citra diri konsumen.

Perbandingan ini menghasilkan kategori kongruitas rendah maupun tinggi. Kongruitas tinggi terjadi pada saat konsumen merasa citra produk klop dengan citra dirinya.  Kongruitas diri mempengaruhi konsumen melalui motif konsep diri (self-concept motives), seperti kebutuhan akan konsistensi (need for consistency) dan kebanggaan diri (self-esteem) (Sirgy et al. 1997).

Proses STP membantu perusahaan menciptakan brand congruence. Melalui STP, produsen mengetahui citra diri konsumen dan melalui branding produsen dapat menciptakan identitas merek, yang diharapkan menjadi citra merek.  Dengan demikian, peluang terjadinya brand congruence lebih besar. Menurut Urde (1999), brand position berisikan nilai inti (core value) yang ditawarkan perusahaan.  Selanjutnya, Urde menyatakan bahwa nilai inti tersebut berisikan dimensi emosional dan rasional.

Dimensi rasional dibangun melalui produk, sedangkan dimensi emosional dibangun melalui brand strategy. Menurut Keller (2003), dimensi rasional dan emosional tersebutlah yang membentuk brand image, sehingga pada akhirnya merek adalah image (Keller, 2003; Stern, 2005), bukan sekedar nama. Menurut Kotler dan Keller (2016), sebagai image, merek  mencakup dimensi produk (scope, attributes, quality, use) serta asosiasi-asosiasi  di luar produk. 

Holmes (2021) menyatakan bahwa:

A brand association is a mental connection a customer makes between your brand and a concept, image, emotion, experience, person, interest, or activity. This association can be immediately positive or negative and it heavily influences purchase decisions

Artinya, asosiasi merek adalah dengan apa saja sebuah merek dapat diasosiasikan dalam pikiran konsumen. Apa saja tersebut adalah concept, image, emotion, experience, person, interest, atau activity menurut Holmes (2021). Bisa juga berupa organizational association, self-expression benefits, emotional benefits, country of origin, symbols, users, brand-customer relationships, personality, seperti dikatakan Aaker (1996).

Dalam branding strategy, asosiasi-asosiasi tersebut perlu disesuaikan dengan produk (Urde, 1999), sehingga tercapai situasi yang baik menurut Schifman dan Kanuk (2007), di mana manfaat merek tidak kontradiktif dengan atribut produknya (Schifman & Kanuk, 2007). Dimensional tersebut bisa sangat kuat, sehingga nilai produk meningkat drastis.

Simak cerita di bawah ini. Di Inggris, Toyota iQ dijual dengan harga setara Rp 142 juta. Mobil yang sama diberi merek Ashton Martin dan dengan sedikit sentuhan interior dan eksterior harganya menjadi setara Rp 421 juta. Kok bisa? Bisa karena adanya  kekuatan merek. Sentuhan emosional pada merek kuat dapat meningkatkan harga produk (Aaker, 1996). Merek-merek yang kuat menikmati keungungan finansial dari manfaat emosional yang ditawarkannya.

Cygnet Edisi Terbatas, Dibanderol Rp 421 juta
WARKWICKSHIRE KOMPAS.com — Inilah strategi hebat yang dilakukan oleh Aston Martin untuk mobil ultrakompak-nya yang diberi nama Cygnet. Produk awal ditawarkan dalam paket Edisi Terbatas (Limited Edition) dengan nama “White and Black” dan sudah bisa dikirim ke pemesannya pada April mendatang.
Mobil berdimensi panjang 2.895, lebar 1.680, dan tinggi 1.500 mm itu untuk Edisi Terbatas dengan dua warna pilihan, yaitu putih dan hitam, harga termurahnya 30.995 poundsterling, ya… setara dengan Rp 421 juta. Padahal, mobil dengan mesin yang sama, bila menggunakan merek Toyota iQ, di Inggris dijual dengan harga termurah 10.390 poundsterling atau Rp 142 juta.
Hebat! Hanya dengan ganti merek, lantas mengubah beberapa bagian eksterior, pelek alloy khusus (16 inci) dan menata ulang interior dan melapisi dengan kulit berkualitas tinggi (dikerjakan dengan tangan), harganya langsung menjulang hampir tiga kali lipat. Itulah harga dari image merek premium!
Mobil kota
Cygnet, menurut Aston Martin, dirancang untuk membawa kaum metropolitan dengan sebagian besar kegiatan di jantung kota. Karena lalu lintas kota makin macet, Aston Martin menilai, mobil seukuran Cygnet atau Toyota iQ paling pas.
Dengan merek Aston Martin dan kemewahan interior yang dikerjakan dengan tangan, pemakai mobil ini tetap bangga menggunakannya. Satu hal lagi, dengan ukurannya yang ultrakompak, Cygnet akan mudah bermanuver atau menerobos bagian jalan atau gang antara bangunan di pusat kota di Eropa!
Kendati demikian, standarnya, mobil ini masih ditawarkan dengan transmisi manual 6-percepatan. Sedangkan transmisi otomatik—tipe CVT—hanya opsional.
Mobil mungil bermesin 1,33 liter yang menghasilkan tenaga 98PS ini mampu melakukan sprint 0–100 km/jam dalam 11,6 detik. Tak kalah menarik—apalagi harga bahan bakar makin mahal—konsumsi bensinnya 20 km/jam.
Putih dan hitam
Edisi Putih tampil dengan cat “Putih Salju” dengan aksentuasi perak, krom, dan berlian putih pada roda. Joknya dan interior kulit Alcantara dengan kombinasi krom satin.
Untuk Edisi Hitam, eksterior dilabur dengan cat metalik “Magic Black” plus efek hijau laut. Jok dibungkus kulit dengan motif bintik-bintik dan berlian plus aksentuasi krom.
Keduanya dilengkapi dengan tempat bawaan barang hasil rancangan. Fitur lain, ABS, 9-katung pengaman (airbag), electronic brake assit (EBS), keyless entry, jok dengan penghangat dan cukup menarik, serta navigasi satelit. Ya, itulah gambaran mobil metropolitan masa kini dan mendatang makin praktis, tetapi tetap dengan identitas premium! (Sumber: www.kompas.com, diakses pada 21/01/2011. Dimuat dengan ijin)

Kartu prabayar XL termasuk kreatif memilih nama merek. Dengan mudah XL “diplesetkan” untuk memperoleh brand mantra.  Sekarang brand mantra yang digunakan adalah “Xelangkah di depan”. Dulu sempat memakai “Xelalu lebih baik”.  Brand mantra lain mudah diciptakan karena banyak kata yang berawalan “X” dan suku kedua mengandung “L”. Metro TV juga nama merek yang baik, yang dapat digunakan untuk acara-acaranya, misalnya: MetroSport, MetroNews, MetroXinchuan dan seterusnya.

Pendahuluan | Manfaat Merek yang Kuat | Memilih Elemen-elemen Merek | Mendesain Pemasaran Holistik | Menciptakan Asosiasi Sekunder | Strategi Pemberian Merek | Brand Extension

Pengertian Merek

Pendapat para ahli tentang pengertian merek berbeda-beda (Stern 2006). Sebagai contoh, Keegan et al. (1995) mendefenisikan merek sebagai ‘kumpulan citra, janji, dan pengalaman yang rumit dalam benak konsumen yang mewakili janji yang diberikan sebuah perusahaan tentang produk’. Kotler dan Keller (2006) serta mengartikan merek sebagai ‘nama, istilah, tanda, simbol atau desain, atau kombinasinya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau layanan sebuah penjual atau kelompok penjual dan membedakannya dari barang atau layanan pesaing’.

Apabila ditelusuri, masih banyak definisi merek dari para ahli lain. Kedua pengertian ini dipakai untuk mewakili pandangan merek secara literal dan metaforik. Pandangan Kotler dan Keller (2006) menyatakan secara literal bahwa merek adalah penanda produk dan layanan. Pandangan demikian telah ada sejak abad keenam belas (Stern 2006).

Pengertian yang diberikan Keegan et al. (1995) berangkat dari pandangan yang mengumpamakan merek sebagai sesuatu atau seseorang. Dari pandangan demikianlah muncul konsep lain terkait, seperti: brand image, brand equity, brand personality, brand relationship, brand identity, brand harmony, dan lain-lain (Stern, 2006).

Pendahuluan | Pengertian Merek | Memilih Elemen-elemen Merek | Mendesain Pemasaran Holistik | Menciptakan Asosiasi Sekunder | Strategi Pemberian Merek | Brand Extension

Manfaat Merek yang Kuat

Sebenarnya keuntungan merek yang kuat tidak hanya secara finansial. Menurut Kotler dan Keller (2016), manfaat-manfaat merek yang kuat adalah:

  • Meningkatkan persepsi kinerja merek.
  • Menyebabkan loyalitas konsumen yang lebih tinggi.
  • Lebih kuat (less-vurnerable) terhadap serangan pesaing.
  • Lebih tahan terhadap krisis pemasaran.
  • Memberikan marjin yang lebih besar.
  • Respon konsumen terhadap kenaikan harga inelastis.
  • Respon konsumen terhadap penurunan harga lebih elastis.
  • Kerjasama dan dukungan perantara yang lebih kuat.
  • Komunitas pemasaran lebih efektif.
  • Adanya kesempatan untuk me-lisensi merek
  • Adanya kesempatan untuk menggunakan merek untuk produk lain berbeda (brand extension).

Secara finansial, merek menyebabkan nilai keseluruhan produk meningkat. Maksudnya, nilai produk lengkap dengan merek, lebih besar dibanding nilai produk tanpa merek. Inilah yang disebut ekuitas merek (brand equity), yakni selisih nilai produk lengkap dengan merek dengan nilai produk tanpa merek. Logikanya, apabila ekuitas merek positif, dengan adanya merek, konsumen bersedia membayar harga yang lebih tinggi.  Pengertian ini adalah dari sisi produsen.

Dari sisi konsumen, untuk ekuitas merek, Keller (2003) serta Kotler dan Keller (2016), memakai istilah consumer-based brand equity (CBBE), yang diartikan sebagai moderasi pengetahuan merek pada pengaruh kegiatan pemasaran terhadap respon konsumen (Gambar 1).  Pengetahuan dimaksud adalah dalam pengertian luas dan mencakup pemikiran, perasaan, citra, pengalaman, keyakinan dan lain-lain, yang diasosiakan dengan merek.

Kotler dan Keller (2016) menjelaskan bahwa dalam pengertian tersebut ada dua pokok pikiran. Pertama, ekuitas merek bersumber dari adanya perbedaan respon konsumen akibat merek. Apabila nama merek tidak berpengaruh maka konsumen hanya peduli terhadap produk dan berarti ekuitas merek tidak ada. Situasi demikian terjadi pada komoditas, yakni produk-produk di mana peran merek rendah atau hampir tidak ada.

Kedua, perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan pengetahuan konsumen. Konsumen yang memiliki pengetahuan tinggi memberikan respon lebih tinggi pada aktivitas pemasaran dibanding mereka yang memiliki pengetahuan rendah.  Dengan pemikiran ini bisa pula dikatakan bahwa ekuitas merek tinggi mempengaruhi efektifitas program pemasaran. Karena itulah, mengacu pada El-Ansary (2006), branding strategy memediasi hubungan antara STP dengan marketing mix.

Pertanyaannya, bagaimana membangun ekuitas merek? Menurut Kotler dan Keller (2016), ada tiga faktor utama yang perlu diperhatikan untuk membangun ekuitas merek, yaitu:

  • Pilihan awal atas elemen-elemen merek (brand elements) atau identitas merek (brand identities) yang membentuk merek (seperti nama merek, logo, simbol, karakter, jurubicara merek, slogan, jingle, kemasan dan signage).
  • Produk dan layanan dan semua aktivitas pemasaran yang menyertai beserta program pemasaran.
  • Asosiasi-asosiasi lain yang ditransfer secara tidak langsung pada merek dengan mengaitkannya dengan entitas lain (seseorang, tempat atau sesuatu).

Pendahuluan | Pengertian Merek | Manfaat Merek yang Kuat | Mendesain Pemasaran Holistik | Menciptakan Asosiasi Sekunder | Strategi Pemberian Merek | Brand Extension

Memilih Elemen-elemen Merek

Elemen merek adalah tanda-tanda dagang (trademark) yang berfungsi mengidentifikasi dan mendiferensiasi merek.  Merek-merek yang kuat umumnya memiliki lebih dari satu elemen merek.  Nike, misalnya memiliki slogan (just do it), nama merek (Nike) dan logo check list (√). McDonald memilili nama merek (McDonald), logo (Gambar 2), simbol (Ronald McDonald).

Kotler dan Keller (2016) memberikan enam kriteria dalam memilih elemen merek. Menurut mereka, tiga syarat pertama dapat dikelompokkan sebagai pembangunan merek (brand building), sedangkan tiga syarat terakhir bersifat “defensif” dan berkaitan dengan bagaimana ekuitas merek, yang terkandung dalam elemen merek, dimanfaatkan dan dipertahankan. Syarat-syarat tersebut adalah:

  1. Mudah diingat (memorable): seberapa mudah merek diingat? Merek-merek terkenal umumnya memenuhi kriteria ini, seperti ditampilkan pada Gambar 2.
  2. Mengandung arti (meaningful): Apakah elemen merek kredibel sebagai anggota kategori? Apakah merek menyatakan isi produk atau kalangan mana yang menggunakan merek itu? Coba perhatikan makna dalam elemen-elemen merek berikut:  Dalam Nestle digambarkan induk burung yang memberi makan anak-anaknya, lengkap dengan slogan: Good Food, Good Life (Gambar 2), Mie Sedap (menyatakan rasa)..
  3. Disukai (likeability): Seberapa menarik elemen-elemen merek dari sisi estetika? Apakah secara mendasar elemen-elemen merek memiliki daya tarik visual, verbal atau dari sisi lain? Pada Gambar 2 terlihat bahwa elemen-elemen merek didesain sedemikian, sehingga menjadi satu kesatuan dan menarik secara estetika.
  4. Transferable. Dapatkah elemen merek digunakan untuk produk baru pada kategori yang sama atau berbeda? HP memenuhi syarat ini, sehingga selain pada printer, merek ini juga digunakan untuk laptop, kamera digital dan ponsel.
  5. Dapat dilindungi (protectible). Apakah merek dapat dilindungi hukum? Apakah mudah ditiru? Sosro termasuk merek yang sulit ditiru. Teh Sisri yang hanya mengganti vokal ‘o’ menjadi ‘i’ terasa berbeda dan tidak setara dengan teh Sosro.

 

Pendahuluan | Pengertian Merek | Manfaat Merek yang Kuat | Memilih Elemen-elemen Merek | Menciptakan Asosiasi Sekunder | Strategi Pemberian Merek | Brand Extension

Mendesain Pemasaran Holistik

Dengan elemen-elemen merek beserta asosiasi sekunder (secondary asscotiation) perusahaan dapat mengonsep identitas merek ‘di atas kertas’. Namun, apakah identitas merek tersebut benar-benar terwujud menjadi citra merek, yang menentukan adalah pembelajaran (learning) yang dilakukan oleh konsumen. Learning pada dasarnya terjadi melalui pengalaman, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain. 

Pengalaman dengan merek tidak dapat dibatasi. Untuk menyederhanakannya, Kotler dan Keller (2016) menggunakan istilah kontak merek (brand contact), yakni segala pengalaman, dengan mana konsumen atau prospek memperoleh informasi tentang merek. Menurut Keller (2003) pengalaman tersebut dapat didesain untuk menciptakan pengetahuan konsumen yang diinginkan tentang merek. Bauran pemasaran adalah alat yang digunakan untuk mendesain pengalaman dimaksud.

Pendahuluan | Pengertian Merek | Manfaat Merek yang Kuat | Memilih Elemen-elemen Merek | Mendesain Pemasaran Holistik | Strategi Pemberian Merek | Brand Extension

Menciptakan Asosiasi-asosiasi Sekunder

Selain melalui diferensiasi yang dijelaskan di depan, asosiasi merek juga dapat dikembangkan melalui sumber-sumber asosiasi di luar produk, yang dinamakan Kotler dan Keller (2016) sebagai sumber-sumber asosiasi sekunder.  Pengembangan melalui sumber-sumber internal merek dinamakan menciptakan ekuitas merek. Sedangkan dari sumber-sumber eksternal, perusahaan bukan menciptakan, melainkan “meminjam” ekuitas merek.  Ada 11 sumber asosiasi sekunder (Gambar 2), yaitu:

  • Aliansi (alliances): Minerva mengasosiasikan teknologi mesin dengan Sach Jerman dan desain motornya dengan Megelli Italia.
  • Isi (ingredient): Banyak komputer personal menuliskan label “Intel Inside” untuk menunjukkan bahwa prosesor dalam computer tersebut adalah buatan Intel.
  • Perusahaan (company): Perusahaan-perusahaan makanan banyak yang memberitahukan diri sebagai produsen produk-produknya. Misalnya, Chocolatos diasosiasikan dengan Garuda Food.
  • Brand extension: Perluasan merek dapat member kesan bahwa merek yang diperluas kuat. Pemakaian nama Trans Studio dapat memperkuat nama merek televise Trans.
  • Karyawan (employees): Sebuah merek dapat diasosiasikan dengan kualifikasi para karyawannya (misalnya dosen-dosen Universitas X semua Phd lulusan Amerika) atau seorang atau beberapa karyawan yang memiliki reputasi terpuji (misalnya Universitas X dipimpin oleh Yohanes Surya, ahli fisika bereputasi internasional).
  • Endorsers: Pantene menggunakan Anggun C. Sasmi sebagai endorser.
  • Negara asal (country of origin): keramik Essenza mempromosikan Italia sebagai negara asal produk.
  • Saluran (channels): Mengasosiasikan merek dengan saluran distribusi tertentu, terutama yang citranya dapat mendukung. Misalnya: susu fermentasi Cimory dapat diperoleh di mall of Indonesia dan mall Taman Anggrek.
  • Even-even (events): RCTI menyatakan diri sebagai penyiar televise lokal yang memegang hak siaran pertandingan sepakbola piala dunia.
  • Causes: Kosmetik The Body Shop mempromosikan partisipasinya dalam pengentasan masayarakat miskin di Afrika.
  • Third-party endorsement: Misalnya, detik.com menggunakan penghargaan ‘Most Popular Online News Provider Brand’ MarkPlus Insight dan Marketers, untuk meningkatkan reputasi situs tersebut. Menggunakan penghargaan dari pihak ketiga untuk mendongkrak reputasi merek adalah lazim.

 

 

Pendahuluan | Pengertian Merek | Manfaat Merek yang Kuat | Memilih Elemen-elemen Merek | Mendesain Pemasaran Holistik | Menciptakan Asosiasi SekunderBrand Extension

Strategi Pemberian Merek

Belakangan ini hampir semua produk diberi merek.  Produk-produk yang sebelumnya dianggap komoditas, sekarang sudah banyak menggunakan merek, misalnya kopi (Kapal Api, Indocafe, Ayam Merak), teh (Sosro, Sari Wangi, Gentong), air (Aqua, Prima, Vit), gula (Gulaku), beras (Setra, Ramos, Dennis), pisang (Sunpride).  Sebagaimana diketahui, komoditi adalah produk dasar yang tidak dapat didiferensiasi dalam pikiran konsumen. Dalam pembeliannya, konsumen lebih mengutamakan pengamatan langsung atas kualitas produk. Sebagai contoh, sampai saat ini  bawang merah, sayur hijau, ikan segar, biji kelapa dan cabe merah, masih merupakan komoditas.

Beranjak dari kenyataan tersebut, pertanyaannya adalah: kenapa merek diperlukan? Jawabannya tentu adalah: karena merek tersebut bermanfaat. Bagi pembeli, manfaat merek adalah: (1) menceritakan mutu produk, (2) membantu perhatian pembeli terhadap produk-produk baru yang mungkin bermanfaat bagi mereka, dan (3) memberikan nilai emosional dan ekspresi diri. Bagi penjual manfaat merek adalah: (1) memudahkan pengolahan pesanan dan penelusuran masalah-masalah yang timbul, (2) memberikan perlindungan khusus atas ciri khusus ataupun keistimewaan produk, (3) memungkinkan penarikan sekelompok pembeli yang setia dan menguntungkan, dan (4) membantu penjual melakukan segmentasi pasar. Sedangkan bagi masyarakat, manfaat merek adalah: (1) dengan pemberian merek mutu lebih terjamin dan konsisten, (2) meningkatkan efisiensi pembelian karena merek menyediakan informasi tentang produk dan tempat pembeliannya, dan (3) meningkatnya inovasi produk baru karena produsen terdorong menciptakan keunikan-keunikan baru untuk mencegah peniruan pesaing.

Sekalipun merek penting, ada pula produk yang tidak memerlukan merek, yaitu produk generik dan produk industri.  Produk generik, seperti kantongan plastik, sedotan, karet gelang, peniti, dan seterusnya, tidak memerlukan merek.  Karena kualitas sudah standar dan antara satu produk dan produk lain tidak berbeda nyata, maka kunci keberhasilan produk-produk demikian adalah harga murah dan distribusi yang merata.  Dengan tidak memberikan merek harga lebih murah sebab biaya kemasan dan iklan dapat dikurangi.

Produk-produk industri seperti bahan baku dan komponen tidak memerlukan merek.   Pada pasar industri, identifikasi produk melalui merek tidak sepenting pada pasar konsumen. Yang diperlukan adalah kredibilitas pemasok.  Jadi, pembeli perlu mengidentifikasi pemasok sebelum mengambil keputusan.  Jadi, dalam branding strategy, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah apakah perusahaan perlu membangun merek produknya.

Andaikan dianggap perlu, pertanyaan selanjutnya adalah elemen-elemen merek mana yang digunakan?  Syarat-syarat elemen merek telah dipaparkan di depan.  Namun, karena umumnya perusahaan memasarkan lebih dari satu merek, terkait penentuan elemen merek yang digunakan untuk setiap produk, menghasilkan branding strategy.  Dengan menggunakan dimensi kategori produk (lama, baru) dan dimensi merek (lama, baru), Kotler dan Keller (2016) merumuskan  empat strategi merek, seperti ditampilkan pada Gambar 4.

 

  • Strategi merek baru. Strategi ini dilakukan dengan memberikan merek baru untuk kategori produk baru.  Produsen Sosro sudah memiliki teh botol Sosro yang terkenal. Pada saat membuat kategori baru, yaitu teh rasa buah, perusahaan ini menggunakan merek baru Fruit Tea.  Perusahaan ini tentu memiliki pertimbangan kenapa tidak menggunakan merek Sosro Rasa Buah untuk produk tersebut.
  • Strategi ekstensi lini. Strategi ini dilakukan dengan menggunakan merek yang lama untuk kategori produk yang sudah ada.  Bayer Indonesia menggunakan pendekatan ini. Untuk semua produk obat nyamuk, yang tersedia dalam bentuk  aerosol dan bakar, perusahaan itu menggunakan merek Baygon. 
  • Strategi ekstensi merek (brand extension). Dalam strategi ini digunakan merek yang sudah ada untuk kategori produk baru. Misalnya, waktu membuat sampho, Unilever menggunakan merek Lifebuoy yang sudah dikenal sebagai merek sabun, sehingga muncullah sampho Lifebuoy.  Keuntungan dan kerugian strategi ekstensi merek dijelaskan di belakang.
  • Strategi multimerek. Apabila menggunakan strategi ini, perusahaan memberikan merek baru untuk kategori produk yang sudah ada.  Hasilnya, sebuah perusahaan bisa memiliki berberapa merek sekaligus untuk kategori produk yang sama.  Misalnya, Indofood menggunakan merek-merek Indomie, Supermie, Sarimie, Pop Mie, dan Top Mie, untuk kategori produk yang sama, yaitu mie instan.

Berdasarkan hirarki merek, Kotler dan Keller (2016) merumuskan empat strategi umum merek, yaitu:

  • Nama individu (individual names), yaitu sebuah pendekatan di mana setiap produk diberi nama berbeda. Pada akhirnya semua produk akan memiliki merek sendiri-sendiri. Pendekatan ini digunakan oleh Garuda Food, dimana produk-produk yang dipasarkan merek-merek yang digunakan perusahaan ini adalah Kacang Garuda (kacang kulit), Kacang Atom (kacang lapis), Chocolatos (snack coklat), Gery Salut (adonan coklat) dan seterusnya. Keuntungan pendekatan ini adalah: kegagalan sebuah produk tidak merusak nama perusahaan.
  • Selimut merek keluarga (blanket family names). Dalam pendekatan ini semua produk menggunakan satu merek. Guess menggunakan pendekatan ini. Semua produknya, yaitu ikat pinggang, jam tangan, dan T-Shirt menggunakan merek yang sama yaitu Guess. Toshiba juga menggunakannya. Merek ini digunakan untuk televisi, AC, kulkas, dan laptop.
  • Merek keluarga berbeda untuk untuk kategori produk berbeda.
  • Merek korporasi dikombinasikan dengan nama individu produk. Sangat mudah menemukan contoh pendekatan ini. Toyota menggunakannya, makanya kita kenal Toyota Alphard, Toyota Avanza, Toyota Rush, Toyota Yaris, Toyota Land Cruiser, Toyota Kijang Innova dan seterusnya. Honda, Nissan, Suzuki, Polytron juga menggunakan pendekatan ini. Nama korporasi melegitimasi dan nama individu menciptakan posisi merek berbeda.

Pendahuluan | Pengertian Merek | Manfaat Merek yang Kuat | Memilih Elemen-elemen Merek | Mendesain Pemasaran Holistik | Menciptakan Asosiasi Sekunder | Strategi Pemberian Merek |

Brand Extension

Strategi brand extension banyak digunakan saat ini.  Penggunaan strategi ini disebabkan oleh keuntungan-keuntungan yang diberikan. Pada sisi lain strategi ini juga memiliki kerugian (disadvantage), seperti dijelaskan berikut ini.

Keuntungan Ekstensi Merek

Ekstensi merek meningkatkan peluang keberhasilan merek baru karena beberapa alasan. Pertama, dengan ekstensi merek, produk baru lebih mudah dikenal, sehingga perusahaan tidak perlu lagi bersusah payah untuk memperkenalkan merek.  Kedua, konsumen mengambil kesimpulan, sekaligus harapan tentang produk baru berdasarkan citra merek induk (parent brand) yang ada pada benak mereka. Misalnya, pada saat Unilever membuat sikat gigi Pepsodent, yang diharapkan perusahaan adalah citra positif yang dimiliki merek induk Pepsodent, yang berawal dari pasta gigi,  “menular” ke sikat gigi, sehingga potensi permintaan lebih tinggi. Dengan potensi permintaan yang lebih tinggi, perantara juga lebih tertarik untuk menjual produk.

Kerugian Ekstensi Merek

Sebuah merek yang fokus pada satu kategori produk, memiliki asosiasi lebih kuat dibanding merek yang mewakili dua atau lebih kategori produk.  Para pemasar menyatakan bahwa dengan ekstensi, merek dapat terjebak pada pengeroposan merek (brand dilution), yakni sebuah situasi di mana konsumen sudah tidak mengasosiasikan merek dengan produk tertentu atau sudah mulai melupakan merek. Inilah salah satu kerugian ekstensi merek.

Kerugian lainnya terjadi apabila konsumen tidak menyukai perluasan merek. Patut diingat bahwa konsumen, khususnya para loyalis, juga merasa memiliki merek (Aaker, 1996; Keller, 2003). Bagi mereka, produsen tidak boleh semuanya memperluas pemakaian merek. Apabila produsen tetap memaksakan ekstensi merek, para loyalis merek dapat memberikan respon negatif.

Yang paling merugikan adalah apabila produk baru gagal, sehingga merusak reputasi merek induk. Untungnya menurut Kotler dan Keller (2016), kejadian seperti ini jarang terjadi.

Ringkasan

Penjabaran positioning ke dalam komponen-komponen marketing mix memerlukan mediasi branding strategy, yang diartikan sebagai sebagai pemberian nama pada produk untuk memperoleh identitas, mengembangkan makna dan memproyeksikan citra yang kondusif untuk membangun ekuitas merek.  Ekuitas merek selisih nilai produk lengkap dengan merek dengan nilai produk tanpa merek. Apabila ekuitas merek positif, dengan adanya merek, konsumen bersedia membayar harga yang lebih tinggi.  Ekuitas merek juga dapat diartikan sebagai moderasi pengetahuan konsumen pada pengaruh kegiatan pemasaran terhadap respon konsumen. Pengetahuan dimaksud adalah pemikiran, perasaan, citra, pengalaman, keyakinan dan lain-lain, tentang merek.

Manfaat merek yang kuat adalah: (1) meningkatkan persepsi kinerja merek, (2) menyebabkan loyalitas konsumen yang lebih tinggi, (3) lebih kuat (less-vurnerable) terhadap serangan pesaing, (4) lebih tahan terhadap krisis pemasaran, (5) memberikan marjin yang lebih besar, (6) respon konsumen terhadap kenaikan harga inelastik, (7) respon konsumen terhadap penurunan harga lebih elastic, (8) kerjasama dan dukungan perantara yang lebih kuat, (9) komunitas pemasaran lebih efektif, (10) adanya kesempatan untuk me-lisensi merek dan (10) adanya kesempatan untuk menggunakan merek untuk produk lain berbeda (brand extension).

Pembangunan  ekuitas merek memerlukan langkah-langkah: (1) pilihan awal atas elemen-elemen merek (brand elements) atau identitas merek (brand identities) yang membentuk merek (seperti nama merek, logo, simbol, karakter, jurubicara merek, slogan, jingle, kemasan dan signage), (2) produk dan layanan dan semua aktivitas pemasaran yang menyertai beserta program pemasaran dan (3) asosiasi-asosiasi lain yang ditransfer secara tidak langsung pada merek dengan mengaitkannya dengan entitas lain (seseorang, tempat atau sesuatu).

Elemen merek adalah tanda-tanda dagang (trademark) yang berfungsi mengidentifikasi dan mendiferensiasi merek.  Syarat-syarat elemen merek yang baik adalah: mudah diingat, mengandung arti, disukai, transferable, dapat dilindungi, mudah diingat, mengandung arti dan disukai.

Bagi pembeli, manfaat merek adalah: (1) menceritakan mutu produk, (2) membantu perhatian pembeli terhadap produk-produk baru yang mungkin bermanfaat bagi mereka, dan (3) memberikan nilai emosional dan ekspresi diri. Bagi penjual manfaat merek adalah: (1) memudahkan pengolahan pesanan dan penelusuran masalah-masalah yang timbul, (2) memberikan perlindungan khusus atas ciri khusus ataupun keistimewaan produk, (3) memungkinkan penarikan sekelompok pembeli yang setia dan menguntungkan, dan (4) membantu penjual melakukan segmentasi pasar. Sedangkan bagi masyarakat, manfaat merek adalah: (1) dengan pemberian merek mutu lebih terjamin dan konsisten, (2) meningkatkan efisiensi pembelian karena merek menyediakan informasi tentang produk dan tempat pembeliannya, dan (3) meningkatnya inovasi produk baru karena produsen terdorong menciptakan keunikan-keunikan baru untuk mencegah peniruan pesaing.

Strategi merek ada empat, yaitu: (1) strategi merek baru, strategi ekstensi lini, strategi ekstensi merek dan strategi multimerek.  Berdasarkan hirarki merek, ada empat strategi umum merek, yaitu nama individu, merek keluarga untuk semua produk, merek keluarga untuk kategori produk yang berbeda dan kombinasi merek korporasi dan merek individu.

Ekstensi merek adalah penggunaan merek yang sudah ada pada produk lain yang berbeda. Ekstensi merek meningkatkan peluang keberhasilan merek baru karena beberapa alasan. Pertama, dengan ekstensi merek, produk baru lebih mudah dikenal, sehingga perusahaan tidak perlu lagi bersusah payah untuk memperkenalkan merek.  Kedua, konsumen mengambil kesimpulan, sekaligus harapan tentang produk baru berdasarkan citra merek induk (parent brand) yang ada pada benak mereka. Resiko esktensi merek adalah: terjadinya pengeroposan merek (brand dilution), tidak disukainya praktek tersebut oleh konsumen dan produk lain yang memakai merek tersebut  gagal.


Referensi

Aaker, D. A. (1996). Building Strong Brand. New York: Thee Free Press.

Birdwell, Al. E. (1968). Study of the influence of image congruence on consumer behavior.  The Journal of Business, 41, 41, 76-88. https://doi.org/10.1086/295047

El-Ansary, A.I. (2006). Marketing strategy: Taxonomy and framework. European Business Review, 18(4), 266-293. DOI. 10.1108/09555340610677499.

Grubb, E. & Gratwohl, H.L. (1967). Consumer self-concept, symbolism and market behavior: A theoretical approach. Journal of Marketing, 31(4), 22-27. DOI:10.1177/002224296703100405

Kates, S.M. & Goh, C. (2003). Brand morphing: Implications for advertising theory and practice.  Journal of Advertising, 32(1), 59-68. 

Keegan, et al. (1995). Marketing. Prentice-Hall, Inc.

Keller, K.L. (2003). Strategic Brand Management Building, Managing and Measuring Brand Equity. Prentice-Hall., Inc.

Merrilees, B. & Miller, D. (2010). Brand morphing across Walmart customer segments. Journal of Business Research 63,  1129–1134. doi:10.1016/j.jbusres.2009.10.008.

Sirgy, M. J. (1982). Self-concept in consumer behavior: A critical review. The Journal of Consumer Research, 9(3), 287-300.

Stern, B.B. (2005). What does brand mean? Historical-analysis method and construct definition. Journal of the Academy of Marketing Science, 34(2), 216-223. DOI: 10.1177/0092070305284991. 

Urde, M. (1999). Brand orientation: A mindset for building brands into strategic resources. Journal of Marketing Management, 15(1-3), 117-133.