Sesungguhnya, Apa Itu Konteks Penelitian?

Pendahuluan

Peneliti sering menyebut ‘konteks’ namun tidak memberikan penjelasan tentang apa maksudnya. Seolah-olah makna kata konteks sudah jelas dengan sendirinya (taken for granted) (Dohn et al., 2018). Pada sisi lain, peneliti juga sering mengabaikan konteks tertentu yang sebenarnya perlu, gagal memperhitungkan perbedaan yang jelas berdasarkan konteks penelitian, dan sering memperlakukan fitur kontekstual hanya sebagai informasi terkait penelitian tanpa menjelaskan hasil spesifik apa yang diperoleh dari kontekstualisasi tersebut (Michailova, 2011). Artikel ini memberikan pengertian konteks dengan harapan peneliti dapat menggunakan konteks yang tepat.

Konteks Membedakan Makna

Penggunaan ‘konteks’ dalam komunikasi adalah praktek yang sangat umum. Makna satu kata dapat dapat berbeda pada konteks berbeda. Contoh: “Polri adalah ‘tangan kanan’ presiden dalam menjaga keamanan dan ketertiban sipil”. Pada kalimat ini makna tangan kanan adalah andalan. “Tangan kanan atlit itu cedera pada saat bertanding”. Tangan kanan pada kalimat ini adalah tangan yang berada pada tubuh sebelah kanan.

Tradisi juga berbeda makna. Di sebuah daerah pulau Jawa, apabila kita bertamu dan tuan rumah menyuguhi minuman (misalnya air putih),  menyisakan sedikit minuman (tidak menghabiskannya sampai gelas kering) adalah bagian dari sopan santun. Di  Sumatera Utara pedalaman, justru yang sopan itu adalah menghabiskan air sampai tak tersisa. Jadi, kalau ditanya apakah menghabiskan minuman sampai tak tersisa di gelas sopan? Jawabannya adalah tergantung daerahnya. Pada contoh ini ‘daerah’ adalah konteks.

Tidak ada makna tanpa konteks (Michailova, 2011). Sesuatu pada mana jawaban atau makna “tergantung” adalah konteks. Misalnya ada pertanyaan, mana teknik promosi yang lebih efektif, iklan ataukah penjualan perorangan (personal selling)? Kita menjawab: Tergantung tujuan promosi, jenis produk, dan karakteristik audien. Faktor-faktor yang kita sebutkan itu adalah konteks.

Asal Kata dan Arti

Context berasal dari bahasa Latin cum (dengan atau bersama) dan texere (merangkai) (Nilsen & Bernhardsson, 2019), yang dapat diartikan sebagai merajut bersama (to knit together), membuat hubungan (to make a connection) atau mempertautkan (to link) (Shehadeh, 2020). Sebuah konsep bisa memiliki manifestasi yang berbeda-beda berdasarkan aspek-aspek spesifik yang terkait dengan konsep itu. Pertanyaan, sepatu apa paling bagus? Jawabannya tergantung pada konteks: (1) menurut siapa? (pria vs. wanita, kaya vs. miskin, tua vs. muda dan seterusnya), (2) untuk keperluan apa (sekolah, olah raga, pesta, santai, naik gunung, naik motor?), (3) pada selang harga berapa? dan seterusnya.

Para ahli mengembangkan teori konteks dpada bidang ilmu masing-masing (Michailova, 2011). Konteks belum banyak dibahas pada riset pemasaran. Namun, praktek-praktek pemasaran sudah memanfaatkan konsep konteks dan melahirkan contextual advertising dan contextual marketing (CM). Häglund dan Björklund (2024) menyatakan bahwa contextual advertising didasarkan pada keyakinan bahwa keefektifan iklan tergantung konteks dan konteks dimaksud sangat kompleks.  Menurut Deacon dan Harris (2011), usaha kecil berbeda dari perusahaan besar dan teori pemasaran standar tidak bisa diterapkan bulat-bulat (harus disesuaikan) usaha kecil karena setiap usaha kecil  memiliki sifat spesifik. Segmentasi adalah pendekatan berbasis konteks. Apabila sebuah perusahaan mengidentifikasi pasarnya sebagai: wanita, berusia muda, berprofesi sebagai mahasiswa dan tinggal di kota, maka variabel-variabel tersebut adalah konteks. Jadi, segmentasi adalah kontekstualisasi.

Dalam bidang perillaku organisasi, John (2006) mendefinisikan konteks sebagai sebagai peluang dan kendala situasional yang memengaruhi terjadinya dan makna perilaku organisasi serta hubungan fungsional antara  variabel. Selengkapnya ia katakan:

“I define context as situational opportunities and constraints that affect the occurrence and meaning of organizational behavior as well as functional relationships between variables.”

Pada bidang hubungan internasional, Michailova (2011) mengartikan konteks sebagai serangkaian faktor, fitur, proses, atau peristiwa yang dinamis yang memiliki pengaruh terhadap fenomena yang diteliti (“A dynamic array of factors, features, processes or events which have an influence on a phenomenon that is examined”).

Karena perilaku yang bersifat situasional, penggunaan konteks paling intensif adalah dalam bidang psikologi dan bidang lain menyangkut manusia (seperti perilaku konsumen, sumberdaya manusia dan antropologi) (Michailova, 2011). Karena sifat spesifik tersebut, penggunaan konteks lebih intensif pada penelitian kualitatif dari pada penelitian kuantitatif  (Poulis et al., 2013). Sebagaimana kita ketahui, riset kualitatif lebih mementingkan informasi spesifik setiap individu, sedangkan penelitian kuantitatif menggeneralisasi informasi dari sampel pada populasi.

Kontekstualisasi: Upaya Menghubungkan Penelitian dengan Konteks yang Tepat

Kontekstualisasi  dalam riset adalah sebuah usaha untuk menghubungkan riset dengan teori dan research setting yang relevan. Artinya, kontekstualisasi dilakukan dengan dua cara, yaitu kontekstualisasi teori dan kontekstualisasi research setting (Shehadeh, 2020). Kontekstualisasi teori adalah proses mengadaptasi, menyempurnakan, atau menempatkan kerangka teoritis dalam konteks penelitian tertentu. Dalam proses ini, peneliti mengadaptasi teori standar relevan ke dunia nyata agar teori tersebut selaras dengan kondisi, latar belakang budaya, atau perspektif disiplin ilmu yang digunakan. Contoh, teori loyalitas. Jacoby dan Kyner (1973) menyatakan loyalitas konsumen sebagai perilaku pembelian merek berulang (repeat purchase) yang teratur atau tidak acak (nonrandom) dari waktu ke waktu terhadap satu atau beberapa merek dari sejumlah pilihan yang tersedia. Lengkapnya:

“The nonbiased (nonrandom) berhavioral response (i.e purchase) expressed overtime by some decision-making unit with respect to one or more alternative brands out of a set of such brands and is a function of psychological process.”

Kalau meneliti loyalitas terhadap aplikasi Gojek, tentu kita tidak bisa menggunakan definisi di atas bulat-bulat. Yang dapat kita lakukan adalah:

  1. Menggunakan teori yang lebih sesuai, misalnya Model CTA Oliver (1997). Setiap pilihan teori perlu didukung argumen.
  2. Tetap menggunakan teori Jacoby dan Kinnear (1973) dengan penyesuaian, misalnya “pembelian berulang” diganti menjadi “penggunaan terus”.

Teori yang diadaptasi sesuai konteks dinamakan applied theory (Welch et al., 2022). Berdasarkan aplied teori itulah dilakukan operasionalisasi variabel penelitian untuk menghasilkan variabel pengamatan atau item-item pertanyaan.

Teori yang digunakan menentukan variabel pengamatan dan selanjutnya menentukan hasil penelitian dan implementasinya. Untuk meneliti loyalitas misalnya, penelitian yang mengaplikasi teori Jacoby dan Kinnear (1973) akan menggunakan variabel berbeda dari yang menggunakan Model CTA Oliver (1997). Karena itu, seperti dikatakan Poulis et al. (2013), konteks penelitian menentukan latarbelakang,  masalah penelitian, landasan teori, metode, analisis data,  hasil penelitian dan implementasinya.

Research setting adalah ruang fisik, sosial, dan budaya, pada mana penelitian dilakukan. (“Research Setting,” 2008).  Research setting menggambarkan ‘ruang’, dalam mana peneliti mengumpulkan data dan mengamati atau mengukur variabel yang terkait dengan penelitian mereka, yang dapat memengaruhi latar belakang, masalah riset, teori yang digunakan, metoda penelitian, yang membedakan secara signifikan hasil penelitian dari penelitian lain dengan topik yang sama dan setting berbeda.

Kategori Konteks

Berangkat dari bidang perilaku organisasi (organizational behavior), Johns (2006) membagi konteks ke dalam dua kategori, yaitu konteks omnibus (omnibus context) dan konteks diskrit (discrete context). Omnibus adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan dan menggerakkan individu  berperilaku khas. Konteks ini mencakup aspek-aspek siapa (who), di mana (where), kapan (when) dan mengapa (why).

  • Aspek siapa (who) berkaitan dengan karakteristik personal (pekerjaan, pendidikan, pendapatan) dan demografis (umur, jenis kelamin).
  • Aspek di mana (where) berkaitan dengan tempat penelitian dilakukan (wilayah, budaya, industry).
  • Aspek kapan (when) berkaitan dengan kapan riset dilakukan atau even riset terjadi.
  • Aspek mengapa (why) berkaitan dengan alasan (rationale) mengadakan riset atau mengumpulkan data riset.

Konteks diskrit adalah variabel-variabel situasi spesifik yang memengaruhi perilaku secara langsung atau memoderasi hubungan antar variabel. John (2006) menyatakan pengaruh konteks bisa tak kentara, bisa pula sangat kuat, bahkan menjadi faktor utama yang memengaruhi perilaku organisasi.

Referensi

  1. Creusen, M. E. H., & Schoormans, J. P. L. (2005). The Different Roles of Product Appearance in Consumer Choice*. Journal of Product Innovation Management, 22(1), 63–81. https://doi.org/10.1111/j.0737-6782.2005.00103.x
  2. Deacon, J. H., & Harris, J. (2011). Contextual marketing: A conceptualisation of the meaning and operation of a language for marketing in context. Journal of Research in Marketing and Entrepreneurship, 13(2), 146–160. https://doi.org/10.1108/14715201111176435
  3. Häglund, E., & Björklund, J. (2024). AI-Driven Contextual Advertising: Toward Relevant Messaging Without Personal Data. Journal of Current Issues & Research in Advertising, 45(3), 301–319. https://doi.org/10.1080/10641734.2024.2334939
  4. Dohn, N. B., Hansen, S. B., & Klausen, S. H. (2018). On the Concept of Context. Education Sciences, 8(3), 111. https://doi.org/10.3390/educsci8030111
  5. Jacoby, J., Kyner, D.B. (1973). Brand Loyalty vs. Repeat Purchasing Behavior. Journal of Marketing Research, 10, 1-9. https://doi.org/10.2307/3149402
  6. Johns, G. (2006). The Essential Impact of Context on Organizational Behavior. Academy of Management Review, 31(2), 386–408. https://doi.org/10.5465/amr.2006.20208687
  7. Michailova, S. (2011). Contextualizing in International Business research: Why do we need more of it and how can we be better at it? Scandinavian Journal of Management, 27(1), 129–139. https://doi.org/10.1016/j.scaman.2010.11.003
  8. Nilsen, P., & Bernhardsson, S. (2019). Context matters in implementation science: A scoping review of determinant frameworks that describe contextual determinants for implementation outcomes. BMC Health Services Research, 19(1), 189. https://doi.org/10.1186/s12913-019-4015-3
  9. Oliver, R. L. (1997). Satisfaction: A Behavioral Perspective on the Customer. McGraw-Hill Companies.
  10. Poulis, K., Poulis, E., & Plakoyiannaki, E. (2013). The role of context in case study selection: An international business perspective. International Business Review, 22(1), 304–314. https://doi.org/10.1016/j.ibusrev.2012.04.003
  11. Research Setting. (2008). In L. Given, The SAGE Encyclopedia of Qualitative Research Methods. SAGE Publications, Inc. https://doi.org/10.4135/9781412963909.n398
  12. Shehadeh, A. (2020). Contextualizing Your Research Project. In C. Coombe, N. J. Anderson, & L. Stephenson (Eds.), Professionalizing Your English Language Teaching (pp. 327–335). Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-030-34762-8_27
  13. Welch, C., Paavilainen-Mäntymäki, E., Piekkari, R., & Plakoyiannaki, E. (2022). Reconciling theory and context: How the case study can set a new agenda for international business research. Journal of International Business Studies, 53(1), 4–26. https://doi.org/10.1057/s41267-021-00484-5