Konsep kepuasan telah lama dikenal. Awalnya, kepuasan dibahas sebagai bagian  kehidupan manusia dan menjadi pembahasan para filsuf. Pada tahun 1940-an kepuasan mulai dibahas dalam ilmu ekonomi dan dianggap sebagai karakteristik penawaran dan permintaan. Pada saat yang sama para ilmuwan pemasaran mulai mengukurnya. Pada tahun 1950-an, kepuasan konsumen diadopsi oleh ilmu perilaku konsumen karena dianggap sebagai bagian vital pengambilan keputusan pembelian kembali.

Berbagai penelitian membuktikan bahwa kepuasan berpengaruh positif pada kepercayaan dan sikap yang menjadi pembentuk loyalitas konsumen. Dengan kata lain, kepuasan berpengaruh positif pada loyalitas konsumen melalui kepercayaan dan sikap. Loyalitas konsumen ditandai oleh pembelian kembali, pemakaian pembelian yang lebih banyak (more usage and more buying), cross buying, up-grading buying, positif word-of-mouth dan referral marketing), dan masa berlangganan yang lebih lama. Dampaknya adalah peningkatan penerimaan dan retensi pelanggan, yang bepengaruh positif terhadap customer lifetime value.

Banyak teori yang menjelaskan kepuasan konsumen dan cara mengukurnya melalui survei, seperti Dissonance Theory, Contrast Theory, Expectancy Disconfirmation Paradigm, Comparison Level Theory, Value Percept Theory, Important-Performance Model, Attribution Theory, Equity Theory, Evaluative Congruity Theory, dan The Person-Situation-Fit Concept. Teori yang paling terkenal adalah Expectancy Disconfirmation Paradigm (Yuksel & Yuksel, 2008).

Expectancy Disconfirmation Theory (EDT)

Model ini menyatakan bahwa bahwa melakukan pembelian, konsumen sudah memiliki harapan tentang  kinerja produk. Harapan dimaksud bukan hanya prediksi (predicted performance), melainkan antisipasi (anticipated performance). Dalam ‘harapan sebagai antisipasi’, seseorang melakukan prediksi kinerja produk, kemudian menyiapkan diri untuk menerimanya. Misalnya, seseorang memprediksi bahwa truk yang baru ia beli tidak kuat mendaki. Sebagai bentuk antisipasi, ia mengurangi beban dan menyiapkan ganjal.

Tingkat harapan kemudian menjadi standar yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja produk. Setelah produk digunakan,  hasilnya dibandingkan dengan ekspektasi. Jika hasilnya sesuai dengan ekspektasi, maka terjadi konfirmasi (confirmation). Diskonfirmasi terjadi ketika ada perbedaan antara harapan dan hasil. Kalau kinerja prosuk lebih baik daripada yang diharapkan pelanggan, terjadi diskonfirmasi positif. Sebaliknya, ketika kinerja produk tidak sebaik yang diharapkan, terjadi diskonfirmasi negatif antara harapan dan persepsi kinerja. Oliver (1997) menyatakan bahwa konfirmasi dan diskonfirmasi positif menghasilkan kepuasan, sedangkan diskonfirmasi negatif menghasilkan ketidakpuasan.

Gambar 2. Model EDP Oliver (1997)

Dalam kerangka Expectancy Disconfirmation Taradigm, Oliver (1997) mendefinisikan kepuasan sebagai pemenuhan yang menyenangkan. Artinya, konsumen merasa senang bahwa konsumsi memenuhi beberapa kebutuhan, keinginan, tujuan, dan sebagainya. Menurutnya, kepuasan didasarkan pada penilaian bahwa fitur produk atau layanan, atau produk atau layanan itu sendiri, memenuhi kebutuhan konsumsi, yang memberikan perasaan menyenangkan. Tingkat pemenuhan yang kurang menghasilkan ketidakpuasan, sedangkan pemenuhan yang lebih membuat konsumen sangat terpuaskan (delighted). Selengkapnya dia katakana:

“Satisfaction is a pleasurable fulfillment. That is, the consumer senses that consumption fulfills some need, desire, goal, or so forth and that this fulfillment is pleasurable. Thus, satisfaction is the consumer’s sense that consumption provides outcomes against a standard of pleasure versus displeasure.”

Perbandingan harapan dan persepsi kinerja dapat dilakukan secara langsung (direct comparison method) dan tidak langsung (indirect comparison method). Dengan metoda perbandingan tidak langsung, ini peneliti membandingkan kinerja dan `harapan, kemudian mengambil kesimpulan tentang kepuasan berdasarkan model EDT. Dalam metoda perbandingan langsung, responden membandingkan apakah kinerja produk memenuhi harapan.

Pengukuran harapan dan persepsi kinerja dapat dilihat pada Google form ini. Urutan pertanyaan dan pilihan jawaban diacak untuk menghindari bias posisi, sehingga urutannya tidak sama persis dengan daftar berikut ini.

  1. Universitas idaman memiliki kampus yang keren
  2. Universitas idaman memiliki fasilitas modern
  3. Para pegawai non-akademik universitas idaman memiliki penampilan yang meyakinkan
  4. Para dosen universitas idaman memiliki penampilan yang meyakinkan
  5. Universitas idaman memiliki koleksi buku baru yang lengkap
  6. Materi kuliah di universitas idaman tersedia online
  7. Apa yang pernah dijanjikan ditepati oleh universitas idaman
  8. Universitas idaman memberikan konsultasi bagi mahasiswa yang menghadapi masalah
  9. Kuliah di Universitas idaman dilakukan tepat waktu
  10. Penentuan nilai di universitas idaman dapat dipertanggungjawabkan
  11. Universitas idaman membiayai sepenuhnya unit kegiatan mahasiswa kuliah

Pengukuran Persepsi Kinerja Universitas X menggunakan pernyataan-pernyataan berikut ini.

  1. Universitas X memiliki kampus yang keren
  2. Universitas X memiliki fasilitas modern
  3. Para pegawai non-akademik Universitas X memiliki penampilan yang meyakinkan
  4. Para dosen universitas X memiliki penampilan yang meyakinkan
  5. Perpustakaan Universitas X memiliki koleksi buku baru yang lengkap
  6. Materi kuliah di Universitas X tersedia online
  7. Apa yang pernah dijanjikan ditepati oleh Universitas X
  8. Universitas X memberikan konsultasi bagi mahasiswa yang menghadapi masalah
  9. Kuliah di Universitas X dilakukan tepat waktu
  10. Penentuan nilai di Universitas X dapat dipertanggungjawabkan
  11. Universitas X membiayai sepenuhnya unit kegiatan mahasiswa kuliah

Seorang dosen melakukan pengumpulan data tentang universitas X, yang adalah kampus tempat mahasiwa belajar, menggunakan atribut-atribut di atas. Sebanyak 24 orang mahasiswa memberikan respon. Datanya ada di sini. Hasil analisis disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kepuasan terhadap Universitas X

AtributHarapanKinerjaPerbandinganKepuasan
1.   Universitas X memiliki kampus yang keren5.585.4297.01%Tidak puas
2.   Universitas X memiliki fasilitas modern5.835.5895.71%Tidak puas
3.   Para pegawai non-akademik Universitas X memiliki penampilan yang meyakinkan5.795.2189.93%Tidak puas
4.   Para dosen universitas X memiliki penampilan yang meyakinkan5.335.33100.00%Puas
5.   Perpustakaan Universitas X memiliki koleksi buku baru yang lengkap5.794.7181.29%Tidak puas
6.   Materi kuliah di Universitas X tersedia online5.755.5095.65%Tidak puas
7.   Apa yang pernah dijanjikan ditepati oleh Universitas X6.045.0082.76%Tidak puas
8.   Universitas X memberikan konsultasi bagi mahasiswa yang menghadapi masalah6.045.1384.83%Tidak puas
9.   Kuliah di Universitas X dilakukan tepat waktu5.635.3394.81%Tidak puas
10.Penentuan nilai di Universitas X dapat dipertanggungjawabkan6.005.4690.97%Tidak puas
11.Universitas X membiayai sepenuhnya unit kegiatan mahasiswa kuliah5.674.6782.35%Tidak puas
Grand Average5.775.2190.35%Tidak puas

Terlihat pada Tabel 1 bahwa dari 11 atribut, yang memuaskan responden hanya satu atribut, yaitu “Para dosen universitas X memiliki penampilan yang meyakinkan” (kinerja/harapan=100%). Sepuluh atribut yang lain tidak memuaskan responden (kinerja/harapan<100%). Dengan menggunakan grand average kita bisa simpulkan bahwa secara global para responden tidak puas terhadap universitas X (kinerja/harapan=90.35%)

Kelemahan Expectancy Disconfirmation Theory

EDT adalah model multiattribute, yang mensyaratkan sebuah produk dirinci terlebih dahulu ke dalam atribut-atribut, dengan mana peneliti mengukur kinerja yang diharapkan (expectation) dan dialami konsumen (performance). Teknik ini mendominasi riset kepuasan konsumen  di berbagai bidang. Ada beberapa kekurangan teknik ini.

Pertama, pendekatan ini mungkin dapat dilakukan pada produk nyata (tangible products) atau barang, namun sulit diterapkan pada produk yang menawakan pengalaman, seperti turisme, konser, rumah sakit, penerbangan dan lain-lain.

Kedua, EDT mengasumsikan bahwa sebelum pembelian, konsumen sudah memiliki harapan tentang kinerja produk. Kemudian, setelah digunakan, konsumen menilai kinerja produk. Kepuasan disimpulkan oleh konsumen dengan membendingkan kinerja produk dengan harapan. Asumsi ini memiliki dua keterbatasan. Pertama, tidak semua konsumen memiliki pengetahuan lengkap atas produk yang akan dibelinya, sehingga tidak bisa memprediksi kinerjanya. Kasus demikian umumnya terjadi pada pembelian produk baru dan produk yang rumit (kompleks).

Ketiga, EDT adalah evaluasi setelah pembelian (post-purchase behavior) mungkin tidak didasarkan pada harapan yang sama, yang dibentuk sebelum pembelian (Yuksel & Yuksel, 2008). Artinya, atribut dievaluasi setelah produk dipakai tidak sama dengan yang disusun dalam harapan kinerja.

Keempat, pada saat disurvei, interpretasi perbandingan kinerja dan harapan dapat menimbulkan bias. Lihat pertanyaan di bawah ini:

Mengukur harapan: “Kampus sebuah universitas sebaiknya memiliki aksesibilitas tinggi (mudah dijangkau)”

Mengukur Kinerja: “Kampus Universitas X memiliki aksesibilitas tinggi (mudah dijangkau)”

Mari kita bandingkan jawaban dua responden atas kedua pertanyaan ini. Responden A menjawab “Sangat Setuju” (skor 7) untuk “Sangat setuju” (skor 7) untuk kinerja atau kenyataan. Dengan demikian, responden A kita nyatakan puas karena kinerja=harapan atau harapan terpenuhi 100%. Responden B menjawab “Netral” (skor 4) untuk harapan dan “Agak Setuju” (skor 5) untuk kinerja. Dengan kedua nilai kita menyatakan untuk responden B, kinerja > harapan atau kinerja/harapan=125%. Kesimpulan: Dalam hal aksesibilitas, B lebih puas dari A. Pertanyaannya, bisakah kita menerima kesimpulan demikian? Mengingat dampak utama kepuasan yang diharapkan adalah loyalitas, dapatkah kita terima bahwa  B akan lebih loyal dibanding A terhadap universitas itu? Coba bayangkan, siapa yang lebih berpotensi menyebarkan word-of-mouth positif tentang aksesbilitas Universitas X, apakah B yang memiliki skor 5 (agak setuju) atau A yang memiliki skor 7 (sangat setuju)? Kemungkinan paling masuk akal adalah A karena menilai jalur transportasi menuju dan dari universitas X dengan skor lebih tinggi.

Kelima, tidak ada jaminan bahwa item-item yang disodorkan itu sama dengan yang dipakai responden untuk mengevaluasi produk dan menyimpulkan kepuasannya. Survei kepuasan konsumen umumnya menggunakan pertanyaan yang disusun berdasarkan sudut pandang peneliti. Sebelum mengumpulkan data, peneliti menyusun terlebih dahulu item-item pertanyaan yang akan disodorkan pada responden untuk direspon. Pertanyaannya, bagaimana kalau item-item yang disodorkan peneliti berbeda dari yang dipertimbangkan responden? Tentu hasilnya tidak valid. Apa solusinya? Simak penjelasan di bawah ini.

Keenam, kepuasan memiliki komponen kognitif dan afektif (Liljander & Strandvik, 1997; Sukhu et al., 2019; White & Yu, 2005), namun EDP hanya mengukur dan menganalisis respon kognitif (Sukhla et al., 2023). Respon kognitif dan afektif adalah dua komponen terpisah dalam membentuk kepuasan (Oliver, 1993). Komponen afektif lebih kuat mempengaruhi word-of-mouth (Sukhu et al., 2019).

Meneliti Respon Afektif

Menurut Giese dan Cote (2002), kepuasan adalah respon afektif konsumen setelah mereka mengevaluasi kinerja produk. Evaluasi kinerja produk menghasilkan kesimpulan kognitif, kemudian respon afektif muncul sebagai lanjutan kesimpulan kognitif. Jadi, emosi adalah gambaran kepuasan itu sendiri … read more

Referensi

  1. Giese, J. L., & Cote, J. A. (2002). Defining Consumer Satisfaction. Academy of Marketing Science Review, 1.
  2. Izard, C. E. (1993). Four systems for emotion activation: Cognitive and noncognitive processes. Psychological Review, 100(1), 68–90. https://doi.org/10.1037/0033-295X.100.1.68
  3. Liljander, V., & Strandvik, T. (1997). Emotions in service satisfaction. International Journal of Service Industry Management, 8(2), 148–169. https://doi.org/10.1108/09564239710166272
  4. Oliver, R. L. (1993). Cognitive, Affective, and Attribute Bases of the Satisfaction Response. Journal of Consumer Research, 20(3), 418. https://doi.org/10.1086/209358
  5. Oliver, R. L. (1997). Satisfaction: A Behavioral Perspective on the Customer. McGraw-Hill Companies.
  6. Parkinson, B., & Manstead, A. S. R. (2015). Current Emotion Research in Social Psychology: Thinking About Emotions and Other People. Emotion Review, 7(4), 371–380. https://doi.org/10.1177/1754073915590624
  7. Roseman, I. J. (1991). Appraisal determinant of discrete emotions. Cognition and Emotion, 5(3), 161–200. https://doi.org/10.1080/02699939108411034.
  8. Roseman, I. J., Antoniou, A. A., & Jose, P. E. (1996). Appraisal Determinants of Emotions: Constructing a More Accurate and Comprehensive Theory. Cognition & Emotion, 10(3), 241–278. https://doi.org/10.1080/026999396380240
  9. Solomon, M. R. (2018). Consumer Behavior: Buying, Having, and Being (12th ed.). Pearson.
  10. Sukhla, A., Mishra, A., & Dwivedi, Y. K. (2023). Expectation Confirmation Theory: A review (In S. Papagiannidis (Ed)). TheoryHub Book. https://open.ncl.ac.uk /
  11. Sukhu, A., Choi, H., Bujisic, M., & Bilgihan, A. (2019). Satisfaction and positive emotions: A comparison of the influence of hotel guests’ beliefs and attitudes on their satisfaction and emotions. International Journal of Hospitality Management, 77, 51–63. https://doi.org/10.1016/j.ijhm.2018.06.013
  12. Tsiros, M., Mittal, V., & Ross, W. T. (2004). The Role of Attributions in Customer Satisfaction: A Reexamination. Journal of Consumer Research, 31(2), 476–483. https://doi.org/10.1086/422124
  13. White, C., & Yu, Y. (2005). Satisfaction emotions and consumer behavioral intentions. Journal of Services Marketing, 19(6), 411–420. https://doi.org/10.1108/08876040510620184
  14. Yuksel, A., & Yuksel, F. (2008). Consumer Satisfaction Theories: Critical Review. In Tourist Satisfaction and Complaining Behavior: Measurement and Management Issues in the Tourism and Hospitality Industr (Yuksel A. (Eds)). Nova Science Publisher.