Regulatory Focus: Pulang Modal Itu Sukses atau Gagal?

Ini pertanyaan yang sulit dijawab karena berada pada batas untung dan rugi. Kalau untung kita cenderung menyatakannya sukses dan rugi sebagai gagal. Jadi, apa jawaban kita pada pertanyaan itu?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita mulai dari perilaku yang diarahkan tujuan (goal-directed behavior). Menurut teori ini, seseorang akan mempersiapkan diri untuk menghadapi konsekuensi keputusan di masa depan. Pada intinya, pencapaian maksud sasaran akan menghasilkan salah satu di antara kedua kemungkinan ini: gembira atau kecewa. Gembira kalau tujuan tercapai dan kecewa kalau tujuan tidak tercapai (Bagozzi et al., 2016; Kotabe et al., 2019; Pelsmaeker et al., 2017; Perugini & Bagozzi, 2001).

Menurut pengetahuan umum, sukses atau gagal tergantung pada pencapaian tujuan. Sukses adalah mencapai tujuan  dan gagal bila tujuan tidak tercapai. Masalahnya, bagaimana tujuan dimaksud?

Higgins (1998, 2018) menyatakan bahwa tujuan ada dua, yaitu memperoleh sesuatu (to get gain) dan mencegah kehilangan sesuatu (no loss). Karena itu, sukses bisa berupa memperole sesuatu atau terhindar dari kerugian. Bagaimana dengan gagal?

Higgins (1998) menggagas teori self-regulatory focus. Menurutnya, setiap orang memiliki keterbatasan sumber daya yang digunakan dalam berpikir. Karena itu, dalam mendefinisikan tujuan, seseorang hanya dapat fokus satu di antara dua kemungkinan, yaitu fokus promosi (promotion focus) dan fokus pencegahan (prevention focus).

Tujuan fokus promosi adalah memperoleh sesuatu. Karena itu, sukses bagi orientasi ini adalah memperoleh sesuatu (get gain) dan gagal adalah tidak memperoleh sesuatu (no gain). Seseorang yang menginvestasikan uangnya di bursa saham, misalnya, akan merasa sukses kalau harga sahamnya naik dan gagal kalau harga sahamnya tidak naik, apalagi kalau turun.

Tujuan fokus pencegahan adalah mencegah atau menghindari terjadinya kerugian. Karena itu, sukses bagi mereka adalah tidak terjadi kerugian (no loss) dan gagal adalah terjadi kerugian (loss). Bagaimana kalau malah untung? Tentu orangnya tidak hanya sukses, tetapi merasa surprise. Misalnya, seorang penjaga gudang akan merasa sukses kalau tidak ada barang yang hilang atau rusak (no loss) dan gagal kalau ada barang hilang atau rusak (loss).

Dalam perkembangannya, regulatory focus theory tidak lagi terbatas sebagai orientasi dalam memandang sukses atau gagal, akan tetapi mencakup ciri (traits) kepribadian, seperti ditunjukkkan pada Tabel 1. Namun, para ahli sepakat, bahwa faktor situasi juga dapat berpengaruh pada orientasi individu. Misalnya, dalam keadaan pesimis, mungkin sekali orientasi pencegahan yang muncul, dalam keadaan optimis, orientasi promosi yang aktif (Cui & Ye, 2017).

Tabel 1. Invididu Orientasi Promosi vs Pencegahan

No.Individu Fokus PromosiIndividu Fokus Pencegahan
1Individu diatur oleh prinsip idealnya bagaimanaPerilaku diatur untuk memenuhi apa yang seharusnya dilakukan (tugas, tanggung jawab)
2Menggunakan strategi pendekatan (strategi untuk memperoleh sesuatu)Menggunakan strategi penghindaran (strategi untuk mencegah kerugian)
3Memiliki motivasi yang lebih tinggiMemiliki motivasi lebih rendah
4Dalam menghadapi tugas yang sulit, individu yang fokus pada promosi akan berkata: “Tugas ini sulit tetapi mungkin dilakukan” dan berusaha menemukan cara untuk memecahkan masalah yang dihadapiKetika memperoleh tugas yang sulit, orang yang fokus pada pencegahan akan berkata: “Tugas ini mungkin dilakukan tetapi sulit” dan ia mungkin mundur dari tugas
5Mencari alternatif untuk mencapai hasil terbaikMengurangi kemungkinan ia melakukan kesalahan-kesalahan
6Biasanya dimiliki oleh orang-orang dengan keyakinan diri tinggi atas kemampuannya dan/atau yang berani  risiko yang tinggiBiasanya dimiliki oleh orang-orang dengan keyakian kemampuan diri rendah dan/atau cenderung takut menghadapi risiko

Konsep Berpadanan

Sebenarnya, fokus promosi dan fokus pencegahan memiliki konsep lain yang serupa, yaitu approach dan avoidance motivation serta achievement goals theory. Yang membedakan, cakupan regulatory focus theory lebih luas (dari pada sekedar motivasi) dan dapat mencerminkan ciri kepribadian seseorang. Berikut ini kedua teori yang serupa dijelaskan.

Approach dan Avoidance Motivation

Van Raaij dan Wandwossen (1977) mencatat bahwa salah satu konsep motivasi adalah kebutuhan untuk berprestasi. Mereka mengakui bahwa model mereka didasarkan pada model stratifikasi kebutuhan Kebutuhan berprestasi dari Raaij dan Wandwossen sepadan dengan kebutuhan aktualisasi diri Maslow Namun, Raaij dan Wandwossen  memasukkan probabilitas pencapaian tujuan dan probabilitas kegagalan sebagai tambahan dalam model mereka.

Probabilitas pencapaian tujuan dinyatakan dalam model yang sama dengan model Atkinson:

Ts = Ms x Ps x Is

dimana Ts= Kekuatan motivasi untuk meraih sukses, Ms = motif atau kebutuhan untuk mencapai kesuksesan, Ps = probabilitas sukses, dan Is = Nilai insentif dari kesuksesan.

Sementara itu, probabilitas kegagalan dinyatakan dalam model berikut:

Tf=Mf x Pf X If

Tf = kekuatan motivasi untuk menghindari kegagalan, Mf = motif untuk menghindari kegagalan, Pf = probabilitas kegagalan, dan If = Nilai insentif kegagalan.

Menurut Van Raaij dan Wandwossen (1977), keterlibatan (engagement) dalam suatu kegiatan ditentukan oleh tujuan yang diinginkan. Tujuan yang diinginkan tergantung pada perbandingan antara Ts dan Tf. Semakin tinggi perbedaan antara Tf dan Ts, semakin tinggi pula kecenderungan individu untuk terlibat (Ta) dalam suatu kegiatan. Ekspresi matematis untuk premis ini adalah sebagai berikut:

Ta = Ts-Tf

Dalam Raaij dan Wandwossen, approach motivation dan avoidance motivation berhubungan dengan dua kutub sikap yang berbeda. ‘Ta’ dapat dilihat sebagai besarnya sikap, di mana valensi positif atau negatif saling meniadakan, seperti dinyatakan dalam model kompensatori. Ta akan positif jika Ts (success oriented motivation or approah motivation) lebih tinggi dari Tf (failure oriented motivation atau avoidance motivation) dan sebaliknya.

Seorang bapak berumur 65 tahun mendapat wejangan dari dokter: “Bapak tidak punya penyakit. Satu-satunya penyakit bapak adalah merokok. Kalau mau sehat berhentilah merokok.”

Jawab bapak itu: “Saya tidak mampu lagi menghentikannya karena kebiasaan ini sudah saya lakukan sejak berumur 13 tahun.”

Akhirnya bapak itu gagal dimotivasi berhenti merokok untuk menghindari penyakit (avoidance motivation)  karena peluang gagal berhenti merokok (Tf) lebih besar dari peluang sukses (Ts).

Elliot (1999) mencatat bahwa approach motivation dan avoidance motivation menentukan perilaku secara berbeda. Dalam approach motivation, perilaku diarahkan untuk mendapatkan kejadian atau kemungkinan positif, sedangkan pada avoidance motivation, perilaku diarahkan untuk menghindari kejadian yang merugikan. Dengan kata lain, approach motivation dan avoidance motivation memberikan hasil dan melalui  proses yang berbeda. Konsekuensinya, setiap individu harus diperlakukan secara eksklusif secara independen terkait apakah mereka dimotivasi oleh motif pendekatan atau penghindaran.

Achievement Goals Theory

Pada awalnya, tujuan dipandang sebagai outcomesresults, atau konsekuensi pilihan perilaku[25]. Terkadang, hasilnya positif. Jika pilihan atau perilaku dikoordinasikan untuk mengejarnya, maka hasil tersebut disebut tujuan promosi (promotion goals).  Hasil juga bisa negatif. Ketika pilihan atau perilaku dikoordinasikan untuk menghindarinya, hasil perilaku yang menjadi fokus tersebut disebut tujuan pencegahan (avoidance goals) (Bagozzi & Dholakia, 1999).

Banyak perilaku dikoordinasikan oleh tujuan. Perilaku seperti itu dapat memiliki beragam tujuan. Namun, ada tujuan utama di antara tujuan-tujuan yang saling bersaing (Bagozzi & Dholakia, 1999).

Belajar di perguruan tinggi, misalnya, adalah perilaku yang  digerakkan oleh tujuan karena didorong oleh keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Merujuk pada konsep Bagozzi dan Dholakia (1999),, konsep achievement goals adalah yang menonjol dalam bidang pendidikan.

Dalam tahap awal perkembangannya, achievement goals mengacu pada hasil yang terjadi karena kemampuan, yang dimiliki individu dengan efikasi diri yang tinggi  (Ames, 1992; Nicholls, 1984). Selanjutnya, para ilmuwan memahami bahwa konsep ini juga mencakup pengerahan usaha untuk menghindari kegagalan. Dengan cara ini,  muncullah konsep dengan tiga tujuan utama yang disebut model trikotomi (Elliot, 1999). Ini terdiri dari tujuan penguasaan yang dikoordinasikan untuk menciptakanberhubungan dengan tugas bakat atau kompetensi yang, tujuan pendekatan kinerja yang bertujuan untuk mewujudkan eksekusi relatif untuk memenuhi tujuan citra diri, dan tujuan penghindaran eksekusi yang berpusat pada menghindari dilihat sebagai yang tidak kompeten. Individu dengan efikasi diri yang tinggi secara konseptual memiliki dua tujuan utama, meskipun kategori ketiga adalah untuk individu dengan efikasi diri yang rendah.

Elliot dan McGregor (2001) memasukkan dimensi keempat, yang disebut tujuan penguasaan-penghindaran. Dimensi ini mengacu pada upaya individu untuk menghindari kegagalan dalam menguasai tugas atau memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Dengan dimensi ini, model memiliki dua fokus (penguasaan dan kinerja) dan dua valensi (valensi: pendekatan dan penghindaran). Dengan demikian, saat ini disebut sebagai model 2X2 yang terdiri dari: (1) pendekatan penguasaan materi (mastery approach), penghindaran penguasaan (mastery avoidance), pendekatan kinerja (performance approach), dan tujuan penghindaran kinerja (performance avoidance).

Referensi

Ames, C. (1992). Classrooms: Goals, structures, and student motivation. Journal of Educational Psychology. Journal of Educational Psychology, 84(3), 261–271. https://doi.org/10.1037/0022-0663.84.3.261.

Bagozzi, R. P., Belanche, L. V., Casalo, L. V., & Flavian, C. (2016). The Role of anticipated emotions in purchase intentions. Psychology & Marketing, 33(8), 629–645. https://doi.org/10.1002/mar.20905.

Bagozzi, R. P., & Dholakia, U. (1999). Goal Setting and Goal Striving in Consumer Behavior. Journal of Marketing, 63, 19. https://doi.org/10.2307/1252098

Cui, W., & Ye, M. (2017). An Introduction of Regulatory Focus Theory and Its Recently Related Researches. Psychology, 08(06), 837–847. https://doi.org/10.4236/psych.2017.86054

Elliot, A. J. (1999). Approach and avoidance motivation and achievement goals. Educational Psychologist, 34(3), 169–189. https://doi.org/10.1207/s15326985ep3403_3

Elliot, A. J., & McGregor, H. A. (2001). A 2 × 2 achievement goal framework. Journal of Personality and Social Psychology, 80(3), 501–519. https://doi.org/10.1037/0022-3514.80.3.501

Higgins, E. T. (1998). Promotion and prevention: Regulatory focus as a motivational principle. Advances in Experimental Social Psychology, 30, 1–46. https://doi.org/10.1016/S0065-2601(08)60381-0

Higgins, E. T. (2018). What distinguishes promotion and prevention? Attaining “+1” from “0” as non‐gain versus maintaining “0” as non‐loss. Psychological Bulletin, 49(1), 40–49. https://doi.org/10.24425/119470 .

Kotabe, H., Righetti, F., & Hofmann, W. (2019). How Anticipated Emotions Guide Self-Control. Frontiers in Psychology, 10(1614). https://www.frontiersin.org/article/10.3389/fpsyg.2019.01614.

Nicholls, J. G. (1984). Achievement motivation: Conceptions of ability, subjective experience, task choice, and performance. 91(3), 328–346. https://doi.org/10.1037/0033-295X.91.3.328.

Pelsmaeker, S. D., Schouten, J. J., Gellynck, X., Delbaere, C., De Clerk, N., Heggy, A., Kuti, T., Depypere, T., & Dewettink, K. (2017). Do anticipated emotions influence behavioural intention and behaviour to consume filled chocolates? British Journal of Food, 119(9), 1983–1998. https://doi.org/10.1108/BFJ-01-2016-0006

Perugini, M., & Bagozzi, R. P. (2001). The role of desires and anticipated emotions in goal‐directed behaviours: Broadening and deepening the theory of planned behaviour. 40(1), 79–98. https://doi.org/10.1348/014466601164704

van Raaij, W. F., & Wandwossen, K. (1977). Motivation-need theories and cnsumer behavior. College of Commerce and Business Administration University of Illinois.